socio
echo
techno
preneurship

Perubahan Biaya Haji, Kontekstualisasi Istitha’ah (?)

Perubahan Biaya Haji, Kontekstualisasi Istitha’ah (?)

oleh Dr. Siti Nurjanah, M.Ag. (Rektor IAIN Metro)

Kementerian Agama terus mengundang perhatian masyarakat luas. Mulai dari hasil survey kepuasan jemaah haji (IKJH) 1443 H/2022 M yang dirangkum secara khusus oleh Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tawaran kebijakan untuk menaikkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji tahun 2023.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, mewakili pemerintah, mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2023 menjadi sebesar Rp 98.893.909,11 per jemaah.

Dalam rencana tersebut, menurutnya 30 persen atau sejumlah Rp 29.700.175,11-nya akan berasal dari komponen nilai manfaat optimalisasi dana haji. Sementara itu, Rp 69 juta lainnya akan diambil dari pembiayaan yang dibayarkan oleh jamaah haji. 

BPIH 2023 itu kontras bila dibandingkan BPIH 2022 lalu yang sebesar Rp 98.379.021,09. Saat itu, komposisi BPIH  yang dikenakan kepada calon haji sebesar Rp 39.886.009,00 atau 40,54 persen.

***

Seturut dengan rencana kebijakan Kemenag tersebut, respon pro dan kontra mulai bermunculan di masyarakat. Sebagian menganggap bahwa tawaran kebijakan yang diintrodusir oleh Menag itu tampaknya dalam rangka melakukan rasionalisasi keberlangsungan dan kesehatan keuangan. Di sisi lain, ada pula yang menilai tawaran tersebut dirasa mendadak dan berpotensi merugikan jamaah yang akan berangkat tahun ini.

Meminjam pendapat Imam Syafi’i, dalam ibadah haji terdapat syarat istitha’ah yakni kemampuan fisik/badan, harta, dan kendaraan. Syarat istitha’ah ini yang sering menjadi rujukan seorang muslim memenuhi kriteria dapat beribadah haji ataukah belum.

Adapun, menurut Wahbah Zuḥailī dan al-Rāzī, orang yang terhalang atau tidak berkewajiban haji dalam menyikapi istitha’ah yaitu mereka yang menghadapi halangan dari segi kesehatan, keamanan dalam perjalanan dan juga sesuatu yang menghalangi dari istitha’ah itu sendiri seperti seorang gharīm yang tercegah atas hutangnya, seorang wanita yang tidak ditemani oleh mahrohmnya, seorang istri yang tidak mendapatkan izin dari suaminya atau orang yang memiliki harta akan tetapi habis dipergunakan untuk menafkahi keluarganya.

Menariknya, banyak masyarakat yang tidak menaruh perhatian dengan syarat istitha’ah. Dampak praktiknya ialah masyarakat melakukan segala cara untuk dapat melaksanakan rukun Islam kelima ini, seperti dengan menabung, menjual atau menggadaikan harta berharga, sampai arisan haji. Bahkan sebagian rela berhutang ke orang lain, atau mengambil kredit di bank demi mencapai keinginannya untuk berhaji ke Baitullah.

Perilaku sosial di atas yang menurut penulis perlu juga diperhatikan oleh Kementerian Agama. Sebab temuan data antrian jemaah ibadah haji yang melambung sejauh ini semakin menguatkan hipotesis bahwa masyarakat belum memahami syarat istitha’ah secara komprehensif. Terlebih, penulis merasa terperanjat, jika mengaitkannya dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Khatib al Baghdādī dalam kitabnya Tarīkh Baghdād, disebutkan:

یأتي على الناس زمان یحج أغنیاء أمتي للنزھة و أوساطھم للتجارة و قراؤھم للرباء والسمعة و فقراؤھم للمسألة (رواه الإمام الخطیب البغدادي و الدیلمي)

“Akan datang suatu masa bagi manusia, orang yang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, yang kelas menengah pergi haji untuk berdagang, yang ulama pergi haji untuk riya dan popularitas, dan yang faqir pergi haji untuk minta-minta”. (Hadis Riwayat Imam al-Khatib al Baghdādī dan al-Dailamī).

Hadist di atas seperti telah memprediksi kondisi masyarakat era saat ini, tidak bermaksud memberikan justifikasi, namun penulis merasa publik perlu menengahkan kajian istitha’ah sebagai arus utama dalam menilik tawaran perubahan biaya ibadah haji.

***

Syarat istitha’ah seharusnya menjadi syarat diferensiasi calon jemaah haji, sehingga bagi mereka yang benar-benar mampu menunaikan ibadah haji menjadi lebih tegas kriterianya. Lebih bagus lagi, jika syarat istitha’ah oleh Kementerian Agama diejawantahkan menjadi rincian kategorisasi masyarakat berdasarkan kemampuannya dalam melaksanakan ibadah haji.

Menurut penulis, penafsiran kontekstual syarat istitha’ah dapat menjadi penghantar kebijakan baru soal kategorisasi porsi subsidi bayaran calon ibadah haji berdasarkan kemampuan finansialnya. Sementara ini, tawaran kebijakan masih dalam kategori disubsidi  dan tidak disubsidi.

Jika porsi subsidi biaya calon ibadah haji dirincikan menjadi setidaknya 2 sampai 3 kategori, maka perubahan kebijakan menjadi lebih maslahah dan diterima oleh umat Islam di Indonesia. Berkaca pada negara Malaysia yang telah membuat kategori menjadi 2 kategori subsidi dan 1 tanpa subsidi yakni sebagai berikut: Biaya haji Kelompok B40 sejumlah Rp 38,74 juta (disubsidi Rp 62,13 juta), Biaya haji non-Kelompok B40 sejumlah Rp 45,80 juta (disubsidi Rp 55,07 juta) dan Biaya haji penetapan pemerintah tanpa subsidi sejumlah Rp 100,87 juta.

Penulis berharap usulan kebijakan kenaikan biaya haji ini menjadi permulaan Kementerian Agama melakukan kajian mendalam terkait kontekstualisasi istitha’ah serta menjadi pemicu masyarakat muslim Indonesia untuk memahami syarat istitha’ah secara komprehensif.***

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.