PERAN AGAMA DALAM KONFLIK MASYARAKAT
Oleh : Abdul Mujib
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Mahasiswa Doktoral IAIN Radin Intan Lampung
Dalam masyarakat meneruskan sebuah kebudayaanya dengan beberapa perubahan kepada generasi muda melalui pendidikan melalui interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya kegiatan sosial, dalam konteks interaksi teori sosial dapat merangsang wawasan baru dalam menginterpretasikan peristiwa serta pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam tatanan keragaman beragama, budaya, etnis di Indonesia merupakan salah satu pokok terjadinya konflik dalam masyarakat. Konflik dan kerusuhan disebabkan oleh berbagai hal, tetapi dalam kenyataannya melibatkan simbol-simbol dan sentimen-sentimen agama. Seperti peristiwa Sampang (Jawa Timur), Kasus Tolikara di papua, kasus aceh singki dan yang terbaru bom bunuh diri di kawasan Thamrin dan Gafatar masih banyak lainnya, adalah karena faktor terjadinya konflik sosial, politik dan ekonomi yang merupakan infrastruktur, sedangkan etnisitas dan agama sebagai faktor komplementar yang menambah semakin mengeraskan kelompok maupun aktor yang terlibat konflik. Namun konflik secara konseptual dalam human science tidak selalu berkonotasi negatif, sedang dalam parameter lain sebuah masyarakat adalah konflik dan kompetisi yang terorganisasi baik individu maupun kelompok, yang hasilnya ditunjukan oleh berbagai bentuk kekuasaan atau paksaan ekonomis, politis atau spiritual.
Secara umum dan sederhana bahwa berbagai persoalan konflik dan keresahan sosial merupakan bagian dinamika dari sebuah sistem dan proses reintegrasi yang berlangsung dalam masyarakat. Karena tidak semua konflik harus diikuti dengan kekerasan atau kerusuhan. Namun setidaknya bagaimana memahami perbedaan, menyikapi secara tepat dan perhatian apa yang harus diberikan atas perbedaan dalan keragaman tersebut khususnya menyelesaikan konflik-konflik sosial yang bernuansa agama.
Jika agama dalam perspektif sosiologi dapat difahami sebagai makhluk yang berhubungan dengan Tuhannya melalui tindakan yang bernilai keyakinan, serta agama dalam parameter lain yakni sebagai perekat solidaritas sosial dan salah satu faktor integrasi.
Mengikuti pemikiran ahli sosiologi agama seperti Max Weber, mendeskripsikan alasan adanya agama yakni perasaan ketiadaan hubungan dengan realitas mutlak sebagai problem makna. Dimaksudkan sebagai perluasan dan generalisasi dari apa yang dalam teologi barat dikenal sebagai problem kejahatan, yakni fakta adanya kejahatan/konflik dan penderitaan di dunia ini dapat dipadukan dengan keyakinan pada suatu kebaikan. Jadi pada intinya esensi agama itu adalah rangkaian solusi untuk meremukkan problema-problema manusia, namun pada dasarnya konflik antar agama lebih disebabkan oleh ambiguitas sikap dan keserakahan manusia.
Dalam literatur ilmu sosial banyak ditemukan konsep mengenai konflik dan tindak kekerasan. Dalam hal ini salah satu khususnya entry point penyebab terjadinya konflik yang bernuansa agama adalah sara, dan akibat dari konflik itu sendiri adalah membawa dampak negatif. Padahal konflik tidak semuanya membawa pada hal-hal yang negatif. Dalam hal ini konsep Coser lah yang dapat memberikan pendekatan konflik melalui positif dan fungsi konflik.
Lewis A Coser mengemukakan teori sosiaf mengenai konflik yakni, konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntuian berkenaan dengan status, kuasa dan sumber kekuasaan yang persediannya tidak mencukupi, dimana pihak yang sedang berselislh tidak harnya memperoleh barang yang diinginkan malainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. Dan konflik dalam batas tertentu adalah unsur esensial bagi pembentukan kelompok dan bagi kelangsungan kehidupan kelompok. Perhatian Coser pada umumnya adalah memperlihatkan bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional untuk sistem dimana konflik itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekwensi-konsekwensi positif atau menguntungkan sistem itu.
Fungsi konflik yang positif adalah konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Dan konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali indentitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial.
Konflik antar agama yang terjadi di daerah-daerah yang berada di Indonesia sebenarnya menunjukan kesamaan-kesamaan meskipun pelakunya berbeda, kata kuncinya adalah SARA yang membawa persoalan hingga pada batas konflik yang memprihatinkan. Dan akar dari konflik tersebut ternyata tidak hanya pertentangan agama dan etnis tetapi melibatkan pertentangan akumulasi dan komplikasi berbagai penyebab yang kompleks, dengan entry point yakni ekonomi, pofitik dan budaya.
Maka tentang konflik dalam sosiologi agama berperan sebagai fenomena prilaku dalam masyarakat diimplementasikan pada acuan bahwa masyarakat terdapat bentuk-bentuk interaksi, interelfasi dan integrasi sosial, baik dalam wujud co-operation, campetition dan conflict, juga berbentuk kontervension.
Oleh karena itu penyelesaian masalah yang dapat diangap relatif permanen dan berjangka panjang adalah menciptakan keadilan sosiai bagi seluruh warga terutama oleh kebijakan dan tindakan aparat birokrasi pemerintahan setempat. ini berarti pendekatan teori fungsional, karena menggunakan pendekatan tersebut bahwa masyarakat suatu organisasi yang harus melalui struktur dan fungsinya.
Kemudian agama dianggap juga dapat meredam konflik atau direpresed yakni dengan konsekwensinya mengelakkan permusuhan itu dan sumber yang sebenarnya. Dan altematif seperti ini adalah sejenis safety valae atau katup pengaman, dengan cara tidak mengancam atau merusak salidaritas, teori ini yang digunakan oleh Coser yang dapat diaplikasikan dalam keberagaman budaya, etnis dan agama di dalam masyarakat kita.
Selain itu fungsi positif dari konflik itu sendiri menurut Coser dengan pihak kelompok luar dapat meningkatkan solidaritas kelompok dalam dan memperbesar moral kelompok. Karena tidak terelakkannya ketegangan dan perasaan-perasaan negatif merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial atau penghargaan-penghargaan lainnya. Karena suatu tingkat kompetisi tertentu tidak dapat terelakkan. Karena pokok yang paling penting adalah bukan apakah konflik itu menyangkut ada dalam kelompok atau tidak melainkan apa bentuk konflik itu.