metrouniv.ac.id– 18/11/2025 – 27 Jumadil Awal 1447 H
Umara Hasmarani Rizqiyah, S,Ars., M.Si (Dosen Arsitektur, Universitas Negeri Makassar)
Dalam dua tahun terakhir, lingkungan akademisi, terutama lingkungan kampus, di Indonesia mengalami perubahan besar yang hampir tidak pernah terjadi dalam dunia pendidikan, yaitu trend: “Tanya ChatGPT coba.” Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sudah berubah menjadi “teman baru” untuk bagi mahasiswa kita dalam belajar. Tiba-tiba saja tugas menulis jadi lebih rapi, tugas analisis jadi lebih kritis, bahkan proposal yang biasanya diekerjakan dalam hitungan bulan, selesai dalam beberapa jam. Pada satu sisi, ini adalah kemajuan besar, namun di sisi lain muncul pertanyaan:”Aapakah AI benar-benar membuat mahasiswa lebih kompeten, atau hanya lebih cepat?” Pertanyaan ini juga memicu refleksi bagi para dosen: “Apakah pola pengajaran kita masih relevan di era digital ini?” Artikel ini mencoba mengkaji dua hal krusial: mengapa dosen perlu adaptif terhadap perkembangan AI, dan mengapa mahasiswa harus tetap kritis di tengah gempuran kemudahan teknologi.
Mahasiswa Kini Belajar dengan Cara Baru
Perubahan paling besar adalah cara mahasiswa mencari informasi. Jika dulu banyak mahasiswa menghabiskan waktu di perpustakaan atau observasi langsung, atau bahkan sebelum ada AI kita mencari dengan bantuan Google, dimana harus mengkalsifikasikan informasi mana yang harus dibaca dari hasil pencarian, tapi sekarang hanya dengan prompt singkat sudah bisa mendapatakan jawaban instan, mulai dari rangkuman teori, skrip presentasi, bahkan slide presentasinya. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut generasi prompt, generasi yang aktif meminta jawaban, namun kurang terlatih memeriksa keabsahan jawaban. Mahasiswa semakin jarang bertanya pada dosen, semakin sedikit berdiskusi, dan semakin cepat puas dengan output instan yang diperoleh yang “tampak benar.”
Peran Dosen yang Tidak Bisa Digantikan AI
AI memang bisa langsung menyajikan data, atau bahkan gambar, tetapi ada beberapa hal fundamental yang tidak dikuasai: konteks, intuisi, dan pengalaman lapangan. Disinilah peran dosen tetap tak tergantikan. Dosen memahami karakter lokal, sesuatu yang mustahil dipelajari oleh AI. Dosen Arsitektur misalnya, tahu mengapa orientasi massa bangunan di Pekanbaru tidak bisa disamakan dengan Bandung atau Batu. Dosen juga mengerti bagaimana budaya lokal memengaruhi ruang, bagaimana etika profesi bekerja, dan mengapa suatu desain tidak hanya masalah estetika, tetapi juga regulasi, keamanan, dan keberlanjutan.
Selain itu, dosen bukan hanya pemberi materi, mereka adalah pembentuk cara berpikir. Dalam proses belajar mengajar, dosen melatih mahasiswa bertanya, megkritik, menganalisis, dan menyimpulkan, sehingga ada banyak cara yang kemudian dilakukan, baik metode, Case Methode, Project Based Learning, dan Problem Based Learning. Semua kemampuan kognitif tingkat tinggi yang tidak bisa digantikan oleh jawaban instant dari AI.
Dosen juga berfungsi sebagai penjaga standar akademik, ada etika-etika akdemik yang harus dipatuhi. Ketika mahasiswa teralu mengandalkan AI, dosenlah yang memastikan bahwa integrasi akademik tetap terjaga, bahwa karya mahasiswa harus mencerminkan proses mereka berpikir, bukan sekedar hasil copy-paste teknologi.
Mengapa Dosen Perlu Adaptif?
Meskipun peran dosen tetap penting, bukan berarti dosen harus menolak AI. Menolak perkembangan teknologi justru membuat proses belajar menjadi stagnan. Dosen perlu adaptif, bukan hanya untuk memahami bagaimana mahasiswa bekerja, tetapi juga agar dapat memanfaatkan AI sebagai alat pengajaran yang efektif.
Adaptasi dapat dilakukan dalam beberapa bentuk:
- Mengintegrasikan AI dalam pembelajaran Misalnya menggunakan AI untuk membuat simulasi awal, peta vegetasi, atau skenario desain alternatif yang kemudian didiskusikan secara kritis di kelas.
- Mengubah format tugas Tugas yang hanya meminta narasi atau diagram mudah sekali dikerjakan oleh AI. Maka, dosen bisa lebih menekankan tugas yang berbasis observasi lapangan, wawancara pengguna, pengukuran manual, atau studi kasus lokal.
- Memperkuat literasi digital dan etika penggunaan AI Mahasiswa harus tahu batasan dan risiko AI, termasuk potensi plagiat, bias, atau kesalahan data.
- Mengoptimalkan metode pembelajaran aktif Seperti project-based learning, case method, ataupun diskusi reflektif untuk melatih kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Dengan adaptasi seperti ini, AI bukan lagi ancaman, tetapi justru menjadi pendukung proses belajar yang lebih relevan dan kontekstual.
Mengapa Mahasiswa Harus Lebih Kritis?
Jika dosennya adaptif, maka mahasiswanya perlu satu kemampuan penting: Kritis. Dalam banyak kasus, AI memberikan jawaban yang tampak meyakinkan, tetapi kadang tidak akurat dan faktual. Dalam dunia akdemik ini disebut hallucination. Jika mahasiwa menerima semua jawaban AI tanpa memeriksa lebih lanjut, maka kemapuan analitiknya tidak akan berkembang, hal ini bukan hanya berdampak dengan sikap kiritis mereka saat menjadi mahasiswa, tapi juga akan mempengaruhi performa berpikir mereka saat bekerja. Sejatinya, AI hanyalah alat bantu, bukan penentu keputusan. Mahasiswa harus sering ditekankan bahwa mereka jauh lebih hebat dari AI untuk problem solving.
Membangun Keseimbangan Baru
Perkembangan AI adalah realitas yang tidak dapat dihindari, baik doesen maupun mahasiswa, sama-sama harus menempatkan diri dalam posisi yang tepat. Dosen perlu adapatif agar metode mengajar tetap relevan, mahasiswa perlu kritis agar tidak mudah ditipu oleh jawaban instan. Pada akhirnya, kecerdasan buatan adalah alat, bukan pengganti kemampuan berpikir manusia, di masa depan, kemampuan menilai informasi akan punya nilai lebih tinggi dibanding informasi. Karena informasi sudah disediakan oleh AI. Selama manusia masih membutuhkan empati, intusis, pemahaman, dan kedalaman berpikir, pendidikan tetap menjadi arena dimana dosen melatih mahasiswa berpikir secara struktural dan mengajarkan cara mencari pemecahan masalah dari akarnya.