metrouniv.ac.id – 30/09/2025 – 7 Rabiul Akhir 1447 H
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Ketua Senat/Dosen UIN Jurai Siwo Lampung)
Perkembangan dan penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) belakangan ini begitu sangat marak, baik untuk kepentingan seperti pembelajaran, bisnis dan ekonomi maupun untuk kepentingan komunikasi melalui sosial media. Penggunaan teknologi AI untuk hal-hal tersebut tentu memberi dampak positif dalam berbagai aspek bidang kehidupan. Namun sebagaimana lazimnya, setiap perkembangan teknologi selalu memiliki dua sisi yang bertolak belakang, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Seperti pedang yang bermata dua, jika digunakan yang baik akan membawa kepada kebaikan, tetapi jika digunakan untuk hal-hal yang tidak baik akan berdampak kepada yang tidak baik pula.
Salah satu perkembangan dari dampak teknologi digital adalah Deepfake (secara bahasa berarti kepalsuan yang sangat dalam). Deepfake merupakan sebuah teknologi yang menggunakan kecerdasan buatan untuk memanipulasi video dan audio untuk menciptakan konten yang membuat orang terlihat atau terdengar melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dilakukan (www.cloudcomputing.id) . Sejarah perkembangan deepfake sendiri dimulai dari penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan algoritma pemrosesan citra untuk menggabungkan wajah seseorang ke video lainnya. Teknologi ini semakin bekembang dengan kemampuan yang semakin canggih dalam mengubah wajah dan suara seseorang. Deepfake telah menjadi masalah utama dalam persoalan keamanan dan privasi seseorang mengingat potensinya yang menyebarkan informasi palsu atau merusak reputasi seseorang.
Peristiwa demontrasi besar di Jakarta dan diikuti oleh beberapa daerah yang terjadi antara tanggal 25 – 30 Agutus 2025 yang lalu dipicu salah satunya lewat konten yang bias dan palsu dengan teknologi deepfake yang beredar luas. Demonstrasi yang merupakan penyampaian aspirasi yang sah dalam undang-undang ternyata diiringi dengan pengrusakan fasilitas umum, pembakaran gedung pemerintah dan penjarahan rumah-rumah pribadi pejabat negara. Salah satu korban dari deepfake ini adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia, Srimulyani. Penjarahan yang dilakukan massa di rumah menteri keuangan saat demontrasi tersebut disinyalir karena sebelumnya beredar video pendek menteri keuangan yang menyatakan bahwa guru adalah beban negara.
Video singkat menteri keuangan yang beredar tersebut sebenarnya hasil pengeditan dari video ceramah yang cukup panjang yang jika dicermati secara keseluruhan tidak dimaksudkan seperti itu. Meskipun sudah diklarifikasi oleh kementerian keuangan bahwa video itu hoak, tidak benar dan konten yang dipelintir, tetapi banyak netizen atau publik yang tetap menganggap bahwa itu benar. Beberapa media menilai bahwa Ibu Srimulyani adalah korban deepfake. Begitu sangat berbahaya dan merusak citra dan reputasi seseorang yang selama ini sangat berprestasi.
Tujuan pembuat deepfake itu sebenarnya memang demikian yaitu dalam rangka menghasut, mendorong dan menggerakkan orang untuk tidak percaya kepada pemerintah, pejabat negara atau menghancurkan reputasi seseorang. Sayangnya masyarakat awam pengguna sosial media juga menelan mentah-mentah informasi tersebut. Sebagian besar tidak menyadari atau memang tidak tahu bahwa hal-hal seperti itu adalah konten yang palsu. Banyak diantara mereka yang kemudian justru ikut menyebarkan konten-konten palsu tersebut ke berbagai platform sosial media. Tanpa sikap kritis dan tabayyun (klarifkasi, crosscheck), konten deepfake tadi menyebar begitu cepat dan massif.
Dahulu, dalam sebuah riwayat, peristiwa fitnah yang sepadan dengan fitnah deepfake di era digital ini pernah menimpa Sayyidah Aisyah Rodiallahu ‘anha, istri Nabi Sallallahu ‘alaihi Wassallam. Seorang munafiqun yang hidup di zaman Nabi bernama Abdullah bin Ubay menyebarkan berita fitnah dikalangan umat Islam bahwa Aisyah istri Nabi telah berselingkuh dengan seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’aththal. Gara-garanya Aisyah tertinggal dari rombongan Nabi karena hajat tertentu dan kebetulan di belakang ada Shafwan bin Mu’aththal yang kemudian membantu Aisyah menyusul rombongan Nabi yang sudah sampai ke Madinah. Abdullah bin Ubay memproduksi berita fitnah itu dan menyebarkan ke kalangan umat Islam bahwa mereka berdua telah berselingkuh dan berzina. Tujuannya untuk merusak reputasi Aisyah dan sekaligus reputasi Nabi Muhammad sebagai suami dari Sayyidah Aisyah.
Begitu luasnya informasi itu berkembang keseluruh kota Madinah sampai-sampai Nabi mendiamkan Aisyah untuk beberapa lama. Hingga akhirnya Allah SWT yang mengklarifikasinya dengan diturunkannya surat An-Nur ayat 11:
اِنَّ الَّذِيْنَ جَاۤءُوْ بِالْاِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْۗ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْۗ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْاِثْمِۚ وَالَّذِيْ تَوَلّٰى كِبْرَهٗ مِنْهُمْ لَهٗ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).” (QS. An-Nur: 11).
Setelahnya, delapan ayat berikutnya dalam surat An-Nur berisi penjelasan tentang persoalan berita bohong dan fitnah terhadap Aisyah. Allah menjelaskan kepada Nabi dan kaum muslimin bahwa berita yang beredar tentang perselingkuhan Aisyah adalah tidak benar dan bohong serta mengandung fitnah. Berita itu disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memecah belah umat Islam dan menghancurkan reputasi Nabi SAW. Karena itu Allah SWT mengecam keras orang-orang yang memproduksi berita fitnah semacam ini dan juga mengancam orang-orang yang ikut menyebarluaskannya dengan azab yang sangat pedih.
Al-Qur’an surat An-Nur ayat 19 mengkonfirmasi dan menjelaskan hal tersebut:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nuir: 19).
Jika ditarik benang merah antara peristiwa fitnah kepada Aisyah dahulu di zaman Nabi dan konten-konten deepfake sebagai yang terjadi di era digital sekarang ini, maka kita melihat ada esensi yang sama. Sama-sama berita bohong dan fitnah yang disebarluaskan dengan maksud tertentu yang tidak baik. Perbedaanya hanya pada media yang digunakan untuk menyebarluaskan berita tersebut. Dapat dimaklumi karena dahulu belum ada teknologi digital seperti sekarang ini.
Pesan uatamanya adalah bahwa teknologi deepfake akan sangat berbahaya jika disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Baik yang memproduksi maupun yang menyebarluaskannya sama-sama berdosa dan akan mendapatkan azab yang sangat pedih di dunia maupun kelak di akhirat. Mengambil hikmah dari peristiwa ini maka hendaknya kita semua berhati-hati dalam menggunakan sosial media di era teknologi artificial intelligence seperti sekarang ini. Melakukan penyaringan terhadap semua berita dan konten dengan penuh kearifan sebelum menyebarluaskannya kepada orang lain. Jika perlu tidak ikut menyebarluaskannya kalau sekiranya memang tidak mengerti dan memahami. (mh).