HARI PAHLAWAN, KTT DUNIA DAN AKSI KECIL KITA

IMG-20251110-WA0000

Oleh : 

Suhendi

 

Pagi di Belém datang seperti doa yang lembut. Kabut turun perlahan di atas Sungai Guajará, menutup separuh wajah Amazon yang menyimpan sejarah luka dan pengharapan. Di kejauhan, suara mesin perahu berpadu dengan siulan burung membuka hari. Di kota yang
hidup di antara air dan akar ini, dunia kembali berkumpul untuk berbincang tentang bumi – rumah kita yang menua, terengah, namun tetap mencoba bertahan.

Dunia kembali menghelat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim Perserikatan BangsaBangsa, COP30, di Brasil, pada 10–21 November 2025. Persis ketika Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Sebuah kebetulan tapi penuh gema: barangkali waktu memang pandai berputar, disaat kita mengenang keberanian masa lalu, di tempat lain dunia tengah berembuk mencari cara menyembuhkan luka yang tak kasatmata—luka oleh krisis iklim yang kini mengalir di udara yang kita hirup bersama.

Di tengah hiruk-pikuk diplomasi global itu, kita seperti diajak waktu untuk memahami makna lain dari perjuangan—yang tak lagi bersuara keras, tetapi berdenyut pelan dalam kesediaan menjaga kehidupan. Di masa lalu, keberanian berarti mengangkat senjata; kini, menjelma dalam kesetiaan yang senyap—kesediaan menanam harapan di tanah yang mulai tandus, menyalakan kesadaran di dunia yang kian panas. Juga ketulusan tangan-tangan kecil
yang saling mengulurkan air, pohon, dan napas kehidupan.

Perang 10 November 1945 adalah peristiwa kolektif yang begitu heroik dan lahir dari keberanian bersama. Tak ada pahlawan tunggal di sana, sebab keberanian hanya punya daya
ketika dilakukan bersama. Perjuangan membela tanah air pada masa itu, barangkali, adalah wajah paling nyata dari gotong royong: kesediaan untuk menanggung derita bersama demi
kehidupan yang lebih besar dari diri sendiri.

Ia adalah DNA sosial yang membuat masyarakat Nusantara mampu bertahan dari perang, bencana, dan kelangkaan. Sebuah kearifan lama yang terus berulang dalam sejarah: bahwa
keselamatan seseorang takkan pernah utuh tanpa keselamatan yang lain.

Nilai itu sejatinya hidup dalam banyak kearifan ekologis. Subak di Bali, repong damar di Krui Lampung, atau sasi di Maluku—semuanya bentuk gotong royong ekologis yang menjaga keseimbangan alam sambil menjaga manusia di dalamnya. Penelitian World
Resources Institute menunjukkan, sistem seperti ini terbukti lestari selama berabad-abad, bahkan berfungsi sebagai penyerap karbon alami.

Kearifan itu lahir dari pengalaman hidup bersama alam, bukan dari kalkulasi pasar. Sementara dunia modern mencoba menakar keseimbangan bumi dengan angka dan izin karbon. Mekanisme global seperti pasar karbon, perdagangan emisi, dan kompensasi hijau terdengar rasional di atas kertas. Namun sering kali yang lahir justru paradoks. Data dari Carbon Brief menunjukkan, komitmen iklim negara-negara G20 masih jauh dari cukup
untuk menahan pemanasan global di bawah 1,5°C. Dunia tampak sepakat, tapi tak sungguhsungguh bergerak.

KTT iklim adalah panggung ironi yang berulang. Semua pihak berbicara atas nama bumi, tapi dengan bahasa kepentingan masing-masing. Negara industri yang membakar karbon
selama dua abad bicara tentang tanggung jawab, tapi enggan memikul bebannya. Negara berkembang menuntut keadilan, tapi tetap menggenggam pertumbuhan ekonomi yang melukai alam.

Laporan Oxfam dan Stockholm Environment Institute menunjukkan ketimpangan yang telanjang: satu persen populasi terkaya di dunia menghasilkan enam belas persen emisi global—lebih banyak dari gabungan enam puluh enam persen populasi termiskin. Janji pendanaan iklim sebesar seratus miliar dolar per tahun yang diucapkan di Kopenhagen pada 2009 pun belum benar-benar terpenuhi. Sebagian besar berbentuk pinjaman, bukan hibah.
Dunia menagih moralitas, tapi kita membayarnya dengan bunga.

Namun keadilan yang kita tuntut di forum internasional kerap memudar di rumah sendiri. Mungkin gotong royong sejati justru bermula dari dalam diri—dari kesediaan kita menata ulang hubungan dengan alam dan sesama. Indonesia barangkali sudah saatnya berhenti melihat dirinya sebagai korban, dan mulai menyadari kekuatan yang dimilikinya untuk menyembuhkan bumi yang sama.

Kita menyebut hutan sebagai paru-paru dunia, tapi izin tambang masih keluar seperti tiket undian. Kita bicara tentang “keadilan iklim,” tapi sering lupa bahwa masyarakat adat dan petani kecil sudah lama mempraktikkan keadilan itu—tanpa konferensi, tanpa jargon.

Pemerintah memang berhasil menekan deforestasi hingga 75 persen pada 2020. Komitmen FoLU Net Sink 2030 adalah langkah penting menuju keseimbangan karbon. Dalam forum COP30 nanti, Indonesia membawa dua janji besar: mengejar potensi transaksi karbon senilai Rp16 triliun dan memperluas pengakuan atas 1,4 juta hektar hutan adat.

Namun janji selalu diuji oleh perbuatan. Laporan Global Forest Watch masih mencatat kehilangan hutan primer yang signifikan, dan JATAM menulis daftar panjang konflik agraria akibat tambang. Di satu sisi kita menanam, di sisi lain menebang—sebuah paradoks
nasional yang terus menggerus kredibilitas diplomasi hijau kita.

Sepuluh tahun sudah sejak Perjanjian Paris disepakati—perjanjian yang lahir dari harapan besar, kini berhadapan dengan kenyataan keras. Dunia tahu apa yang harus dilakukan, tapi tak benar-benar ingin melakukannya. Kebijakan iklim sering lebih mirip pernyataan moral ketimbang rencana kerja. Ia indah di teks, tapi rapuh di kenyataan.

Brasil kini menjadi tuan rumah COP30 dengan semangat tinggi. Presiden Brasil Lula da Silva berbicara tentang tanggung jawab dunia terhadap Amazon. Namun di balik panggung diplomasi itu, hutan di negerinya tetap menunggu nasib. Deforestasi belum berhenti; eksplorasi minyak masih berjalan. Ironinya: ekonomi yang ingin menyelamatkan hutan masih bergantung pada hasil bumi yang menebangnya.

Di panggung lain, dunia menyiapkan pidatonya; sementara di pesisir utara Jawa, rakyat kecil sedang berjuang menahan luapan airnya.

Dan kini, krisis iklim bukan lagi ancaman di horizon yang jauh. Ia sudah nyata, mengetuk persis di depan pintu saudara-saudara kita di pesisir utara Jawa. Di Pekalongan, lapangan tempat anak-anak berlari kini menjadi kolam yang memantulkan langit kelabu. Di Semarang, masjid-masjid tua berdiri di atas air; lantainya sejajar dengan pasang laut. Di Demak, surau tempat anak-anak mengaji kini tenggelam hingga hanya kubahnya tampak saat surut.

Senda gurau yang dulu terdengar di halaman sekolah hilang bersama air yang terus naik. Banjir rob tak hanya menenggelamkan rumah, tapi juga ingatan—tentang pohon mangga di
tepi lapangan, tentang azan dari surau yang kini hanya bayangan di bawah permukaan air.

Krisis iklim bukan lagi wacana ilmiah, melainkan kenyataan yang menelan masa kecil banyak orang. Krisis ini kini hidup di dua wajah: satu di ruang konferensi yang sejuk, satu lagi di ruang
hidup yang basah. Dan keduanya jarang bertemu. Kita berbicara tentang “transisi energi”, tapi listrik di rumah nelayan di Sayung sering padam sebelum malam selesai. Kita mendengar tentang “keadilan iklim”, tapi anak-anak yang kehilangan sekolahnya di Tambak
Lorok tak tahu apa arti kata itu.

Namun di tengah kehilangan, manusia masih belajar bertahan. Warga menanam bakau, meninggikan rumah, membangun tanggul seadanya. Ada kesadaran pelan tapi dalam: bahwa
bertahan bukan hanya urusan teknologi, melainkan keteguhan hati.

Saya percaya, perubahan tidak hanya lahir dari keputusan besar seperti COP30, tapi dari miliaran keputusan kecil. Dari cara kita menyalakan lampu, menghemat air, menolak plastik
sekali pakai. Di Kamikatsu, Jepang, warga memilah sampah dalam 45 kategori dan mendaur ulang 80 persen limbahnya. Di Ladakh, Himalaya, petani membuat gletser buatan agar sawah mereka tetap hidup. Semua itu kecil, tapi nyata.

Mungkin inilah makna gotong royong di abad baru: kolaborasi kecil yang menahan bencana besar. Sebuah empati yang berjalan tanpa seremoni.

Tentu tanggung jawab ini tak bisa diletakkan sepenuhnya di tangan warga. Pemerintah mesti menciptakan ekosistem yang memungkinkan kehidupan hijau berkembang—energi bersih yang terjangkau, transportasi publik yang nyaman, insentif bagi ekonomi hijau. Tapi masyarakat juga perlu mengubah cara berpikir: bahwa menjaga bumi bukan pekerjaan orang
lain.

Kita tidak boleh terus menunggu: pemerintah menunggu rakyat sadar, rakyat menunggu pemerintah bertindak, negara berkembang menunggu negara maju membantu—sementara waktu terus berjalan tanpa menunggu siapa pun.

Krisis iklim, pada akhirnya, bukan hanya soal alam yang rusak, tapi tentang nurani manusia yang menumpul. Ia adalah cermin moral yang memantulkan wajah kita sendiri: pandai berbicara tentang tanggung jawab, tapi gagap ketika harus menanggungnya. Barangkali itusebabnya dunia suka menggelar konferensi besar—karena berbicara terasa lebih mudah
daripada berubah.

Ketika mikrofon nanti dimatikan dan para pemimpin pulang, bumi tetap di tempat yang sama: menua, panas, dan lelah. Namun di tempat-tempat kecil—di kebun, di sekolah, di rumah—perubahan mungkin sedang tumbuh diam-diam. Seseorang menanam pohon. Seseorang mematikan lampu. Seseorang menolak plastik. Dan di sanalah, mungkin, harapan sesungguhnya bersemayam.
Pagi di Belém perlahan beranjak terang. Kabut menipis, dan cahaya jatuh di atas sungai yang
tenang. Mungkin inilah saatnya dunia berhenti sejenak—menundukkan kepala, mendengar
napas air, dan bertanya dalam diam: sudahkah kita berlaku lembut kepada rumah yang
memberi kita kehidupan?
Sepuluh tahun setelah Paris, COP30 bukan sekadar konferensi. Ia adalah ruang hening bagi
kesadaran. Kesempatan untuk menepati janji, bukan karena diwajibkan, tapi karena rasa
sayang kepada bumi yang sama-sama kita diami.
Dan mungkin, jika manusia kembali belajar setia pada keseimbangan itu, sungai-sungai akan kembali jernih, dan hutan-hutan akan bernapas lagi—seperti pagi di Amazon: pelan, jernih, dan penuh harapan (Hdy).

"Ayo Kuliah di UIN Jurai Siwo Lampung"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di UIN Jurai Siwo Lampung"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
🔴 LIVE
🔊

Cek koneksi...

"Ayo Kuliah di UIN Jurai Siwo Lampung"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.