Menakar Metode, Medium, dan Materi Dakwah Kontemporer

18. Menerka Metode 2102025 Ahmad Supardi Cover Artikel 2025

metrouniv.ac.id – 3/10/2025 – 11 Rabiul Akhir 1447 H
Dr. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A. (Kepala Biro AUAK IAIN Metro)

Islam adalah agama dakwah.Melalaui dakwah Islam pun berkembang. Karenanya, wajar jika topik ini menjadi problem paling serius dalam peta dakwah, membuat para ahli mengajukan berbagai teori untuk memecahkannya. Di sini, kita ingin ikut membicarakan sejenak sebagai tanggung jawab moral bersama untuk menguırai percepatan misi ini, baik hari ini maupun masa depan. Agaknya, masa depan umat Islam akan ditentukan dari seberapa jauh metode, medium, dan materi dakwah dirancang secara baik dan benar, sejalan dengan kebutuhan umatdalam konteks kekinian. Hal ini bisa dilihat dalam catatan sejarah perkembangan Islam ke berbagai penjuru dunia, ternyata dipasarkan oleh para juru dakwah sesuai dengan psikososial masyarakat yang didatangi. Oleh sebab itu, Toynbee benar ketika mengajukan teori respons andIchallenge (tantangan dan jawaban). Teori ini mengisyaratkan bahwa tatkala tantangan zaman berbeda maka jawaban yang diberikan pun berbeda. Hal inilah seharusnya dilakukan umat Islam terkait dengan masalah dakwah mereka dalam konteks di sini dan kedisinian maupun di sana dan kedinasaan.

Ketika seorang da`i (penyaji) menggunakan metode (cara) dan medium(mimbar) yang tepat, dengan mâdda (materi) dan mad`u (pendengar) yang tepat pula, niscaya seorang da’i sedang dalam posisi yang benar untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahi ini. Sinergi dakwah dapat dengan mudah ditangkap dalam pergumulan seorang da’i di atas panggung dakwah. Jika dia berperilaku sebaliknya, niscaya dakwah akan kehilangan kekuatan dan relevansinya dengan psikososial umat.

Metode dan Medium

Penyampaian dakwah Islam pada masa dahulu tentu akan sangat berbeda dengan pada masa sekarang, sebab kondisi dan situasi yang dihadapi pada masa lalu berbeda dengan situasi yang dihadapi pada masa kini. Untuk itu perlu dilakukan semacam evaluasi kritis dan radikal terhadap penggunaan metode dan me-dium dakwah sehingga dapat mengatasi persoalan-persoalan serius yang dihadapi umat Islam.

Secara riil kita mengakui bahwa ceramah-ceramah agama yang disampaikan melalui majelis taklim dan pengajian-pengajian rutin sangat semarak dan dihadiri secara antusias oleh para jama’ahnya. Namun, seberapa besar dampak positif dari majelis taklim dan pengajian-pengajian itu terhadap pembentukan kepribadian seorang Muslim sejati, saya kira perlu dipertanyakan. Ceramah-ceramah agama tetap dilaksanakan tetapi kualitas umat tidak mengalami peningkatan. Malahan, banyaknya pengajian-pengajian tetapi tidak sebanding dengan peningkatan kualitas kerohanian umat Islam itu sendiri.

Persoalan ini,menurut hemat penulis, bukan hanya dilema para muballigh tetapi juga dilema bersama,bahkan tanggung jawab terbesar berada di pundak para pengurus masjid dan mushalla. Sebab, para pengurus masjid dan mushalla inilah yang menyiapkan sarana dan prasarana dalam pengajian-pengajian tersebut, dan mereka inilah sejatinya ditugaskan oleh jama’ah untuk mencari para penceramah untuk mengisi pengajian.

Kita terkadang terpaku pada satu kesan usang bahwa penceramah yang baik adalah penceramah yang pandai melawak dan pandai membuat jama’ah tertawa terbahak-bahak. Padahal terkadang justru lawakan dan tertawaan itulah yang menyebabkan hilangnya substansi pesan yang hendak disampaikan oleh sang muballigh. Ada pula muballigh yang memberikan ceramah tanpa metode yang jelas membuat penyajian materinya berjalan sangat monoton, sehingga jama’ah yang mendengarkannya tertidur lelap dan tidak tertarik mengikuti ceramah yang disampaikannya, setelah bangun tahu-tahu acaranya sudah bubar.

Lebih parah lagi, para mubaligh pun tidak cerdas memilih dan memilah medium yang relevan untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada masyarakat. Di sini, para muballigh juga harus tahu diri kemudian menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa bila metode ceramah yang disampaikan melalui mimbar tidak diminati masyarakat, seharusnya dia bisa memanfaatkan media cetak untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat. Pilihan media sangat bergantung pada kepandaian seorang muballigh memanfaat media yang tersedia, di samping penggunaan metode sebagai kekuatan utama seorang muballigh.

Memang hal ini merupakan salah satu tanggung jawab para muballigh, sehingga bila perlu seorang muballigh dituntut untuk mendalami berbagai metode ilmiah untuk menyampaikan materi, sehingga memudahkan dia untuk memilah dan memetakkan jama’ah yang dihadapinya. Dengan demikian dapat menentukan metode yang tepat untuk menyampaikan materi dakwah kepada jama’ahnya. Hal inilah sebenarnya secara gamblang telah dijelaskan Allah SWT dalam al-Qur’an:

اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ​ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ​ؕ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ​ وَهُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُهۡتَدِيۡنَ‏ ١٢٥

Ud‘u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmati wal-mau‘iẓatil-ḥasanati wa jādilhum bil-latī hiya aḥsan(u), inna rabbaka huwa a‘lamu biman ḍalla ‘an sabīlihī wa huwa a‘lamu bil-muhtadīn(a).

“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasihatnasihat yang baik, dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih baik;sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang mengetahui siapa yang tercerahkan.”(Qs. An-Nahl:125).

Syekh Muhammad Abduh dalamn tafsir al-Manarnya menyatakan bahwa seruan yang termaktub dalam surat an-Nahl ayat 125 itu mengandung tiga metode yang harus dilakukan oleh seorang juru dakwah kepada tiga golongan masyarakat dalam mengembangkan dan mengajarkan agama Islam, yaitu:

Pertama, ada golongan cendekiawan yang cinta kebenaran,dan dapat berpikir secara kritis, cepat menangkap arti dari ber-bagai persoalan.Mereka ini harus dipanggil dengan hikmah,yakni dengan alasan-alasan, dengan dalil dan hujjah yang diterima oleh kekuatan akalmereka.

Kedua, ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’izhatun hasanah, dengan anjuran dan didikan yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami, sehingga mudah pula mereka melaksanakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Ketiga, ada golongan yang tingkat kecerdasan akalnya di antara kedua golongan tersebut belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak akan sesuai pula bila dilayani seperti orang awam, mereka suka membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas yang tertentu, tidak sanggup sampai mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan mujâdalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat antara satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.

Selain perlunya perubahan dan penentuan secara tepat akan metode dakwah sesuai dengan media yang tersedia, diperlukan pula ikhtiar yang serius untuk mendalami materi dakwahyang cocok dengan masyarakat pendengarnya. Pemahaman yang tepat dalam penggunan metode dan medium, memudahkan seorang da’i menyajikan materi kepada pendengarnya.

Dewasa ini telah tumbuh berbagai medium dakwah di tengah masyarakat, malah mediumnya kian canggih dari hari ke hari.Jika Anda tidak siap berdiri di depan mimbar, atau Anda tidak laku di depan kamera televisi, Anda bisa duduk manis di depan komputer untuk menyampaikan pesan Tuhan ini ke seluruh masyarakat, dengan mengirimkan hasil-hasil tulisan Anda melalui koran, majalah, buku, atau bahkan media sosial yang kian merebak dewasa ini. Dengan sekali klik, tulisan Anda sudah bisa mendunia dan Anda tinggal menunggu respons balik:kira-kira apa tanggapan pembaca atau masyarakat yang meminati berbagai pesan moral yang Anda sampaikan.

Jika Anda tak pandai menulis, Anda bisa menyampaikan pesanpesan Tuhan ini melalui diskusi terbatas bersama teman-teman terpilih, dari mana Anda dapat menjadikan forum kecil itu sebagai langkah penting untuk berbagi kebajikan. Berdakwah dari hal yang sederhana sampai hal yang paling sulit, dari me-dium yang paling murah semacam menyunggingkan senyum menyapa sesama, sampai membagi kebahagiaan melalui berderma harta kepada sesama, dari sekedar mengangkat pena menegakkan kebenaran, sampai mengangkatsenjata melawan kepalsuan, dari sekedar mengajarkan sebuah huruf di serambi masjid, sampai mengajarkan semesta ilmu di ruang seminar.

Nilai dakwah bukan ditentukan oleh kehebatan seseorang memerankan diri di atas mimbar tetapi seberapa jauh pembuktian dakwah itu di tubir kenyataan. Itu berarti, dakwah bil hal (dakwah melalui tindakan) adalah wujud paling asasi dari metode sekaligus medium dalam berdakwah.

Materi dan Masyarakat

Rupa-rupanya, para muballigh dituntut untuk menyempaikan materi dakwah yang tepat sehingga umat Islam mengalami peningkatan kualitas secara bertahap. Kalau kita perhatikan materimateri dakwah yang disampaikan oleh para muballigh sebagian besar di antaranya adalah membicarakan ibadah mahdhah seperti salat, puasa, dan lain sebagainya. Padahal ke depan sesungguhnya umat (jama’ah) sudah harus dibekali yang lebih daripada itu sehingga umat (jama’ah) dapat hidup lebih berkualitas dibanding sebelumnya.

Disinilah, penulis berpendapat bahwa, materi dakwah kita ke depan perlu diarahkan kepada tiga hal pokok jika kita ingin umat ini berubah, sebagai berikut:

Pertama, mempertebal dan memperkukuh iman kaum muslimin, sehingga tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau paham-paham yang membahayakan negara, bangsa, dan agama. Juga berusaha agar ummat Islam terpanggil uintuk meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan mereka terhadap ajaran Islam yang mereka peluk itu.

Kedua, meningkatkan tata kehidupan ummat dalam arti yang luas, dengan menggugah dan mendorong mereka untuk menyadari bahwa agama mewajibkan mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih baik dari hari ini. Ini tidak dapat dicapai kecuali dengan kerja keras serta kesadaran akan keseimbangan hidup dunia dan akhirat.

Ketiga, meningkatkan pembinaan akhlak umat Islam,sehingga memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara. Dengan itu dapat terwujud etos kerja dan ukhuwah islamiyah dalam rangka mewujudkan kerukunan umat beragama.

Untuk mewujudkan metode dan materi dakwah seperti yang tersebut di atas, maka peranan pengurus masjid/mushalla pun sangat dominan khususnya dalam memberikan penghargaan terhadap muballigh. Memang betul bahwa menyampaikan syi’ar Islam itu adalah sebuah kewajiban, tetapi para muballigh ini kan bukanlah malaikat. Mereka adalah manusia biasa yang sama dengan kita semua, sehingga mereka pun perlu makan, minum,hidup yang layak dan transportasi yang memadai.

Sepintas memang ada yang menyatakan bahwa hal ini adalah sebagian dari upaya “menjual agama dengan harga murah,”atau dalam ungkapan yang lebih kasar“ memperjual belikan agama”. Akan tetapi, jika direnungkan secara seksama sebenarnya tidak sama sekali. Sebab hal ini tidak lebih dari “ungkapan terima kasih” dari kita atas kehadiran dan kesediaannya mengajari kita dalam hal agama. Kalau bukan kita sebagai umatnya yang menghargai dia lantas siapa lagi? Jika orang lain kita undang datang untuk mengajari kita ilmu-ilmu tertentu, kita pun bersedia membayarnya dengan harga mahal dan bahkan jutaan rupiah. Lalu, mengapa untuk urusan agamna kita malah menganggapnya sebagai hal yang aneh?

Kita perlu bersikap adil kepada para juru dakwah. Karena,kalau untuk urusan dunia yang cuma sebentar kita tinggali ini kita begitu ngotot mengeluarkan berapa pun besarnya uang di saku untuk membayarnya, mengapa untuk urusan akhirat yang kekal tanpa batas itu kita malah ogah mengeluarkan apa pun yang kita punyai untuk mendapatkannya? Lebih aneh lagi,dengan mudah kita mencap orang yang mengajarkan ilmu agama sebagai “menjual agama” untuk kebutuhan pribadinya.

Jika logika ini kita ikuti secara benar, maka seharusnya mereka yang mengajarkan ilmu dunia pun biar adil begitu kita juga harus memberi cap setara: “upaya menjual dunia untuk kebutuhan pribadinya. “Padahal menjual dunia, dalam perspektif al-Qur’an, justru menjual barangbarang rongsokan, hina dan berkelas rendahan, sedangkan menjual akhirat justru menjual barang-barang mewah, berkelas dan berkualitas tinggi. Dengan jalan pikiran seperti inilah, banyak orang merasa yakin untuk bersikap: apa salahnya orang yang mengajari kita ilmuilmu agama itu, kita bayar hasil keringatnya itu dengan harga setimpal?

Sekali lagi, menurut hemat saya, pemberian ucapan terima kasih atau secara tegas dikatakan sebagai “honor” atas kinerja para da`i adalah sah dan legal menurutagama.Bukankah Umar bin Khaththab membayar gaji para pejuang yang bertaruh nyawa di medan laga? Berdakwah adalah berjuang melalui “pena”, sedangkan berperang adalah berjuang melalui “pedang”. Bukankah dengan memberi honor justru meningkatkan kualitas dakwah itu sendiri? Sebab, para juru dakwah itu pun perlu membeli kitab-kitab untuk dipelajari, selanjutnya telaah kitab itu disampaikan kepada jama’ah. Bukankah tinta para ulama itu nilainya sejajar dengan darah para syuhada? Wallahu a’lam.

"Ayo Kuliah di UIN Jurai Siwo Lampung"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di UIN Jurai Siwo Lampung"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
🔴 LIVE
🔊

Cek koneksi...

"Ayo Kuliah di UIN Jurai Siwo Lampung"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.