Oleh: Suhendi
22 Oktober, keluarga besar UIN Jurai Siwo Lampung baru saja memperingati Hari Santri Nasional dengan penuh khidmat dan rasa syukur. Upacara puncak berlangsung dalam suasana yang sahdu—diwarnai doa, refleksi, dan kesadaran akan panggilan sejarah santri bagi umat dan bangsanya.
Dalam rangkaian peringatan itu, kampus turut menggelar istighosah, donor darah, periksa mata, serta makan takiran bersama seluruh unsur akademika. Rangkaian kegiatan tersebut juga disemarakkan dengan bedah buku dan talkshow, dan ditutup dengan penanaman pohon; sebuah
simbol komitmen nyata UIN Jurai Siwo Lampung terhadap pelestarian lingkungan, sejalan dengan visi socio eco-techno-preneurship yang menjadi semangatnya.
Namun di balik setiap perayaan, selalu muncul satu tanya yang pelan-pelan menggema di hati:
siapa sejatinya santri itu? Apakah hanya mereka yang menimba ilmu di pesantren, atau juga kita—insan akademika yang meniti jalan ilmu dan pengabdian—yang tanpa disadari tengah menapaki jalan kesantrian dengan cara yang lain?
Pertanyaan itu membawa kita menelusuri kembali akar sejarah dan makna kesantrian dalam pandangan para pemikir. Sebab, istilah santri bukan sekadar sebutan kultural, tetapi juga cerminan cara suatu masyarakat menafsirkan religiositasnya.
Clifford Geertz, dalam The Religion of Java (1960), membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga wajah kebudayaan: abangan, priyayi, dan santri—tiga istilah untuk tiga cara hidup yang mewakili pandangan keagamaan dan sosial yang berbeda Bagi Geertz, santri adalah mereka yang taat pada ajaran Islam. Yang berakar di pesantren, yang menjaga disiplin syariat, dan hidup di bawah bimbingan kiai. Sementara abangan hidup dalam harmoni antara Islam dan kejawen, dan priyayi tenggelam dalam tata krama keraton dan logika birokrasi.
Pandangan Geertz tentu sah dalam konteks zamannya. Namun, seiring perubahan sosial, banyak pemikir kemudian memandang bahwa kategorisasi itu mulai kehilangan relevansi.
Robert W. Hefner, dalam Civil Islam (2000), dan Niels Mulder, dalam Inside Indonesian Society (1996), menunjukkan bahwa batas-batas tersebut kini kian kabur. Modernitas melahirkan bentuk kesalehan baru—lebih cair, lebih terbuka, dan lebih terlibat dengan dunia modern. Santri tak lagi hanya hidup di balik dinding pesantren, melainkan hadir di berbagai ruang kehidupan: sosial, profesional, dan intelektual.
Dalam konteks itu, Azyumardi Azra (2002) memandang santri sebagai kelas menengah intelektual—mereka yang membawa tanggung jawab moral di ruang publik modern. Kesantrian tidak berhenti pada ritual keagamaan, tetapi berkembang menjadi kesadaran etis untuk mengawal kehidupan sosial.
Sejalan dengan Azra, Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) memperkenalkan istilah santri kultural—yakni mereka yang tidak selalu berpendidikan formal di pesantren, tetapi menjadikan nilai-nilai pesantren sebagai cara berpikir dan bertindak. Bagi Kunto, kesantrian adalah etos, bukan seragam; cara memahami dunia, bukan sekadar cara berpakaian.
Dari jejak pemikiran itu, Gus Dur kemudian memberi simpul yang lebih jernih. Dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (1999), ia menulis bahwa santri bukan soal di mana seseorang belajar, tetapi bagaimana ia memaknai hidup. Santri adalah cara hidup—yang bisa hadir di pesantren, di laboratorium, di ruang kuliah, atau di tengah hiruk pikuk kota. Selama di sana ada kejujuran, kesederhanaan, dan kasih pada sesama, di sanalah santri berdiam.
Pandangan-pandangan itu menegaskan bahwa kesantrian bukan hanya soal tradisi keagamaan, tetapi juga cara menanggapi perubahan zaman. Dan zaman itu kini berubah terlalu cepat. Ilmu tumbuh, tetapi kebijaksanaan sering tertinggal. Kekayaan menumpuk, tetapi empati menipis. Di tengah gemuruh itu, santri masih menyimpan sesuatu yang sederhana: keheningan.
Santri adalah penjaga nurani yang membawa etika spiritual ke dalam nalar modernitas, menghadirkan kehangatan di tengah dunia yang kian mekanis. Santri, seperti akar di tanah, menahan pohon agar tidak tumbang oleh badai.
Sejarah telah mencatat peran santri dalam berbagai babak kehidupan bangsa—dari perjuangan melawan kolonialisme, revolusi nasional, hingga era reformasi. Namun kini, muncul pertanyaan baru: peran kesejarahan apa yang seharusnya diambil santri pada masa ini?
Dunia tengah kehilangan keseimbangannya. Krisis iklim perlahan merapuhkan daya bumi untuk menopang kehidupan. Hutan menipis, laut terkuras, udara kehilangan napasnya.
Bumi yang dulu ramah kini letih di bawah nafsu manusia yang tak pernah tahu cukup. Kita menggali terlalu dalam, membakar terlalu banyak, dan mengambil lebih dari yang semestinya disyukuri.
Dari kerakusan itu, lahir keletihan. Bukan hanya pada tanah dan udara, tetapi juga pada batin manusia sendiri. Kita kehilangan jeda untuk bersyukur, kehilangan rasa takzim terhadap ciptaan. Dalam keadaan seperti inilah, kesantrian menemukan makna barunya. Santri tak hanya memelihara akhlak, tetapi juga menjaga kehidupan. Ia tak hanya belajar tentang Tuhan, tapi juga tentang ciptaan-Nya yang perlahan kehilangan keseimbangan.
Santri masa kini membaca dua kitab. Kitabullah yang menuntun iman. Dan kitabul kaun—kitab alam—yang menuntun tanggung jawab ekologis. Dari keduanya tumbuh bentuk kesalehan baru: kesalehan ekologis.
Sebuah iman yang berbuah kasih; pada air yang menetes lembut saat berwudhu, pada daun yang gugur di halaman masjid, dan pada langit yang menunggu doa manusia setiap pagi.
Menjadi santri di zaman ini mungkin tak lagi semata ditandai oleh sarung atau sorban. Melainkan oleh kesadaran. Bahwa ilmu tanpa kasih hanyalah kesombongan, dan ibadah tanpa kepedulian hanyalah ritual tanpa ruh.
Menjadi santri berarti terus belajar—tentang Tuhan, tentang manusia, tentang bumi. Menjadi santri berarti menundukkan kepala di hadapan ilmu, sambil menengadahkan tangan untuk menjaga kehidupan.
Dunia boleh berubah. Namun nilai kesantrian harus tetap bersemayam: ketulusan, kejujuran, dan kasih yang tak lekang. Selama masih ada manusia yang memilih jujur di tengah tipu daya, yang menebar teduh di tengah panasnya ambisi, dan yang mencintai bumi sebagaimana mencintai Tuhannya—maka di sanalah santri itu hidup. Dan mungkin, dari santri-santri seperti itu, kelak tumbuh sebuah peradaban yang lebih teduh — peradaban yang beriman, berakal, dan berwelas asih bagi seluruh alam.
Sebab kesantrian sejatinya bukan sekadar jejak masa lalu, melainkan kesadaran yang terus hidup di setiap zaman. Kesadaran yang berbisik lembut, mengingatkan kita bahwa bumi sedang memanggil mengajak manusia kembali menyemai iman lewat kasih pada alam; beriman dengan menjaga, mencinta, dan memelihara kehidupan.
