socio
eco-techno
preneurship

AKU BARU BISA JADI “MARKETING FORCEâ€? KAJIAN INDONESIA DI KAMPUS “HARRY POTTERâ€? (CATATAN TIGA HARI PERJALANAN KE UNIVERSSITY OF SYDNEY)

9mufliha

Sebuah keberuntungan,
PIES mengantarkan saya berkunjung ke University of Sydney (Usyd), perguruan tinggi
tertua di benua Australia yang dibangun tahun 1850. Jadi Usianya tahun ini sudah
lebih dari satu setengah abad, 168 tahun. Menjadi rumah bagi lebih dari 60 ribu
mahasiswa, USYD adalah salah satu campus terbesar dan berada pada ranking
kampus terbaik ketiga di Australia setelah ANU dan University of
Melbourne.  Di peringkat dunia, USYD
berada pada urutan ke 50 kampus terbaik versi QS World University Rangkings
2018. Melihat sejarah dan prestasinya, tentu USYD bukan kampus sembarangan,
sehingga PIES Manajemen memilihnya menjadi kampus yang dikunjungi dan dibersamai
proses akademiknya. Setelah sebelumnya, PIES berkolaborasi dengan UNSW-Canberra
menggelar Diskusi bersama kajian Indonesia (Agustus-2018), berkunjung ke Monash
University (September-2018), Bulan ini
(Oktober
2018), bertandang ke USYD, dan bulan depan giliran University of Melbourne akan
kita sambangi sekaligus mengambil panggung di forum Konferensi The Center for
Indonesian Law, Islam and Society (CILIS).

Host kunjungan PIES Students di USYD adalah Sydney South
East Asia Center (SSEAC), semacam pusat studi interdisipliner kajian Asia
Tenggara, yang dinahkodai Prof. Michele Ford. Tiga hari aktif, PIES Students
dikenalkan dengan lembaga SSEAC, membincang riset project kami bersama students
dan fellow research ers di USYD, berdiskusi dengan feminist Islam asal Italiano,
membersamai proses belajar senior student kajian Indonesia tentang keragaman
Indonesia, dan dipungkasi dengan ASEAN FORUM. Tentu selfie dan jalan-jalan ke
spot-spot iconic kota Sydney menjadi bagian tak terpisahkan, meski Sydney
menyambut kami dengan guyuran hujan (gerimisversi Indonesia) sepanjang hari,
dengan hembusan angin yang menggigit dan menusuk tulang yang berbungkus kulit
tipis. Tak menyurutkan semangat selfie ‘crazy Asia”. Sambil mikir, ini Spring
rasa winter, padahal hanya siap dengan costum Spring yang mirip summer. Vinnies
jadi sasaran berburu jacket, merrah lagi, merah lagi.

Dari SSEAC saya belajar bahwa pusat studi atau pusat kajian,
sejatinya bukan semata-mata even organizer yang menyelenggarakan
seminar-konferensi-workshop tahunan saja. Pusat studi harus memiliki ruh dan jantung
yang selalu berdenyut menggerakkan aliran ‘darah’ dan ‘nutrisi’ yang menjadi focus
kajian lembaga tersebut. Sebagai pusat studi Kawasan Asia Tenggara, SSEAC
melibatkan banyak scholars dari berbagai disiplin ilmu: Science, Kedokteran,
Hukum, Teknik, Ekonomi dan bisnis, Sosial humaniora, dan juga arsitektur. Jadi ada
keragaman pengetahuan yang berkolaborasi dalam mengkaji Asia Tenggara di SSEAC.

Berkenalan dan berbincang-bincang dengan teman baru, topik
yang lazim digosipkan adalah apa riset dan argument-mu? Bukan kerja apa,
jabatanmu apa, anak berapa, rumah berapa?? Jadi sepanjang perjalanan hidup di
benua ini, argument menjadi ‘mantra’ yang harus selalu dibatinkan atau bahkan dilatahkan.
Ibarat kata, kalau kita latah yang keluar adalah argument riset yang sedang kita
lakukan. Soal argument bergeser, berubah, atau bahkan berganti di setiap forum
obrolan itu bagian dari dinamika dan perjalanan penelitian, bukan soal plin-plan.

Berdiskusi dengan Ph.D students dan Fellow researchers
kajian Asia Tenggara, tentu semakin membukakan pandangan bahwa di luar substansi
dan metodologi, packaging menjadi hal yang sangat menentukan ‘marketing’
risetkita. Students dipaksa untuk mampu menjelaskan risetnya secara komprehensif
dalam waktu tiga menit dengan Bahasa sederhana. 
Seolah-olah seperti sedang menjawab pertanyaan nenek kita yang risau kenapa
cucunya ga selesai-selesai sekolahnya. “Jane kuliah s3 mu sui ki seng ditulis opo,
to cuuu, trus nggo ngopo?”. Kamukuliah s3 lama, sebenernya nulis tentang apa,
dan untukapa?? Tentu jawabannya bukan soal rumusan masalah dengan kerangka metodologis
dan teori yang rumit apalagi make excuse, proses lama karena beda aliran dengan
supervisor atau bahkan beasiswa sudah habis. Ya, pertanyaan “what are you doing
in your research?” Harus mampu dijawab seperti menjawab pertanyaan simbah di
atas. Dengan singkat, komprehensif, operasional, dan bahasa sederhana yang
dapat dicerna oleh orang dari berbagai disiplin ilmu, maksimal 3 menit.   

 

Di hari ke dua, berdiskusi intim dengan feminist
Italianos yang mengkaji gerakan feminist post-colonial di Egypt, “menamparku”
untuk semakin banyak membaca dan membincang feminist tidak sebatas produk perjuangannya.
Secara ontologis dan epistemologis harus dibaca, agar perjuangan tak tercerabut
dari tujuan. Ilmuan kelas duniaini, dengan sangat sabar dan antusias mendengarkan
sharing kami yang unyu-unyu ini tentang tokoh-tokoh feminist Muslim timur tengah
yang speak up di luar negaranya, dan mempengaruhi feminist Muslim Indonesia.
Diacatat dalamm acbooknya saat kami sebut, Riffat Hassan, Fatimah Mernissi,
An-Naim, Amina Wadud, Fazlur rahman, Nash Hamid Abu Zayd, dan member komentar panjang
saat kami sebut Irshad Manji. Tak lupa aku kenalkan beberapa scholar Indonesia
yang juga speak up soalisu-isu perempuan. Beberapa nama yang kusebut adalah buya
Husen Muhammad dengan fahmina institute dan jaringan KUPI; Faqih Abdul Qodir,
Badriyah Fayumi, Nur Rofi’ah. Juga nama-nama Musdah Mulia, Ruhaini Dzuhayatin,
Mansour Faqih sempat kami catatkan dalam macbook beliau atas permintaannya. Ini
bagian dari marketing pemikir dan aktifis feminist Muslim Indonesia kepada
dunia, karena diri ini sebagai pembelajar belum layak ‘jual’ baru layak sebagai
marketing force saja.

 

Siang hari, kami sit in di kelas Senior Indonesian
Studies. Kami mendengarkan presentasi 2 students tentang keragaman di
Indonesia. Isu etnis cina menjadi topik yang sangat menarik bagi mereka. Kami
seperti menjadi narasumber dalam kelas mereka, dikonfirmasi mengenai beberapa
data yang mereka review dari beberapa literature berdasarkan pengalaman atau bahkan
penghayatan. Menarik, di kelas ini ada 2 students yang tak lagi belia. Mereka berdua
adalah pensiunan, yang ntah apa motivasinya semangat belajar menjadi murid
bersama students muda yang kurasa lebih cocok jadi cucunya. Aku pun
sesungguhnya tak lagi muda untuk ukuran Ph. D students kelas internasional yang
usianyarata-rata 30 an atau bahkan kurang dari 30. Tapi tubuh mungil ini membuat
ku tampak takterlalu sepuh, apalagi kerut di ujung mata ini ditutup dengan kacamata.
Semangat belajar “minal mahdi ilallahdi” ternyata ada di benua ini, benua tanpa
Menara dan Toa penyeru ibadah.

 

Hari terakhir, kami hadir di ASEAN Forum 2018. Berbagai riset
tentang isu lingkungan di Kawasan Asia Tenggara dipresentasikan. Secara substansi
mungkin tak terlalu ‘menarik’ untuk saya, tapi baik untuk belajar bagaimana
‘menjual’ idea dan menyampaikan gagasan. Berbincang dan berjabat tangan dengan pejabat
konsulat jenderal negara-negara Asean juga menjadi kesempatan langka yang harus
dimanfaatkan denganbaik.    Tentu
selfie-selfienya juga menjadi penting.

 

Terimakasih ibu Michele, Ibu Natalie, Imogen, dan juga
pak Mulia warman yang telah mendampingi kami dengan kehangatan, meski hujan gerimis
mengguyur Sydney sepanjang hari, hingga jelang kami kembali ke Canberra.

Spring Aroma Winter di Sydney, 06 Oktober 2018

 

 

 

 

 

 

 

 

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.