socio
eco-techno
preneurship

DARI CINTA RASIONAL KE CINTA EMOSIONAL

IMG-20250614-WA0028(1)

Oleh : 

Mukhtar Hadi

 

Khazanah ilmu tasawuf mengenalkan kepada kita  seorang sufi besar perempuan bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Tidak ada seorang penulis pun yang sangat dekat dengan masa kehidupannya dan mengungkapkan kisah tentang awal kehidupannya. Margaret Smith (1997) menyatakan bahwa Rabiah kemungkinan lahir sekitar tahun 95-99 H (717 M) di Basrah.

Menurut ‘Athar dalam Tadzkiratul Aulia (Memoir of the Saints), menyatakan Rabi’ah dilahirkan di tengah keluarga miskin (walaupun dalam beberapa biografi disebutkan keluarganya termasuk bangsawan). Athar mengatakan di malam kelahirannya tidak terdapat minyak di dalam rumahnya, tidak juga penerangan lainnya bahkan juga tidak terdapat kain bedung untuk membungkus si bayi mungil yang baru lahir itu. Ayahnya telah memiliki tiga putri sebelumnya, dan oleh karena itulah ia diberi nama Rabi’ah (artinya putri keempat).

Ibunya meminta agar ayahnya mencari minyak kepada tetangganya untuk lampu penerangan, tetapi ia berucap janji atau sumpah bahwa tidak akan meminta bantuan kepada sesama manusia (yaitu seorang sufi hanya akan bergantung kepada Tuhan untuk memenuhi kebutuhannya), maka kembalilah ia tanpa membawa apa yang dibutuhkannya. Di saat ia tertidur malam itu dalam keadaan tertekan karena tidak memiliki sesuatupun di saat kelahiran putrinya, ia bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad SAW dan bersabda, “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu umatku”.

‘Athar menceritakan kemalangan yang terjadi dalam keluarga ini. Pada saat Rabi’ah menjelang dewasa, ayah dan ibunya meninggal dunia. Jadilah Rabi’ah seorang anak yatim piatu. Kelaparan melanda Basrah dan semua saudaranya terpencar berpisah. Suatu hari ketika ia sedang berjalan keluarg kota, ia berjumpa dengan laki-laki yang memiliki niat buruk, lalu menarik serta menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham dan laki-laki yang membelinya itu menjadikan Rabi’ah budak yang bekerja keras terus menerus.

Suatu saat ketika Rabi’ah sedang  asyik dalam kelelapan ibadahnya, tampak oleh tuannya sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “Sakinah”, artinya cahaya rahmat Tuhan dari seorang muslimah suci – seperti lingkaran keramat orang Kristen suci –  yang sering disebut dalam biografi orang-orang sufi. Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah merasa ketakutan, ia bangkit  lalu kembali ke tempat tidurnya semula dan duduk tercenung hingga fajar menyingsing. Kemudian ia memanggil Rabi’ah, ia berbicara secara baik-baik kemudian membebaskan budaknya itu.

Rabi’ah sebagaimana para sufi lainnya, menjalani hidup hingga usia lanjut, hampir mendekati usia sembilan puluh tahun pada saat beliau wafat. Beberapa ahli mengutip para penulis riwayat hidupnya dimana baru mengenal Rabi’ah di masa tuanya, pada saat tubuhnya telah lemah, tetapi pemikirannya masih cemerlang, dan hingga akhir hayat ia masih menjadi panutan bagi orang yang membutuhkannya. Rabi’ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M),  dan dimakamkan di Basrah.

Rabi’ah adalah seorang sufi besar yang masyhur dengan faham mahabbah (Cinta).  Mahabbah dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Termasuk di dalamnya Kepuasan hati (ridha), Kerinduan (syauq) dan Keintiman (uns). Ridha mewakili ketaatan tanpa disertai penyangkalan, dari seseorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah kerinduan sang pencinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap Cinta ini seorang sufi akan melangsung mencapai ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya – suatu penyatuan yang terjadi bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga kehidupan akhirat.

Menurut Rabi’ah rasa cinta yang mendalam kepada Yang Dicintai akan menimbulkan rasa rindu yang amat sangat, dan rindu itu hanya akan terobati jika sang pencinta bertemu dan melihat langsung Yang Dicintai. Pertemuan pencinta dengan Yang Dicintai yang diikuti dengan berasyik masyuk akan menimbulkan rasa intim, dan pada akhirnya akan melahirkan keyakinan  (yaqin), bahwa Yang Dicintai ini adalah benar-benar yang selama ini sang pencinta cari. Mahabbah (rasa cinta) yang dalam syariat dimaknai dengan cinta taat (cinta rasional), yakni seseorang yang mencintai Allah maka akan bertambah ketaatannya kepada Allah. Namun di tangan Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah itu menjadi cinta emosional, yaitu rasa cinta yang mendorong secara kuat untuk bertemu dengan yang dicinta, menimbulkan keintiman bahkan bersatu dengan yang dicintainya.

Suatu saat seseorang bertanya kepada Rabi’ah, apakah engkau sangat membenci setan sebagai musuhmu? Rabi’ah menjawab “Tidak”. Lalu sahabatnya bertanya lagi,  “ Bagaimana bisa begitu?” Rabi’ah menjawab, “Cintaku kepada Allah tidak menyisakan ruang di dalam hatiku untuk membenci setan”. “ Wahai Rabi’ah apakah engkau mencintai Rasulullah?” Rabi’ah menjawab, “Siapa yang tidak mencintai Rasulullah, tetapi cintaku kepada Allah begitu besar, sehingga  tidak menyisakan tempat untuk mencintai atau membenci kecuali Allah”.

Seseorang bertanya lagi kepada Rabi’ah, “ Apakah Cinta itu?” Lalu Rabi’ah menjawab, “Cinta berasal dari Keazalian dan menuju pada Keabadian, serta tiada seorangpun dalam tujuh puluh ribu dunia ini yang mampu meminum setetes pun dari Cinta itu hingga akhirnya menyatu dalam Allah, dan dari sanalah berlaku dalil ini ‘Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. Al-Imron: 31).

Demikianlah Rabi’ah al-Adawiyah, rasa cintanya kepada Allah telah menutup ruang dalam hatinya, biarpun itu hanya sedikit, untuk mencintai atau membenci yang selain Allah. Rabi’ah mengembangkan faham mahabbah dari mahabbah rasional (mahabbah dalam bingkai akal sehat) yaitu rasa cinta yang menimbulkan ketaatan kepada Allah menjadi mahabbah emosional, yaitu rasa cinta yang melahirkan keinginan untuk bersatu dan berasyik masyuk dengan yang dicintai. (mh.13.06.25).

 

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.