Ahmad Syarifudin, MH
Akademisi dan Pemerhati Pemilu
Diskursus publik sampai hari ini masih berputar pada persoalan
“Apakah Pilkada serentak 2020 tetap digelar atau ditunda saja sampai waktu
tertentu karena khawatir grafik penderita covid bergerak eksponensial?” Orang
kemudian mengartikulasikan kondisi hari ini dengan mempertentangkan antara
politik dan keselamatan rakyat. Bahkan seorang profesor yang sangat dihormati
di Indonesia juga sudah deklarasi bakal golput.
Transisi kekuasaan hari ini mengalami fase yang berat karena
dianggap tidak berpihak pada keselamatan rakyat. Padahal, tujuan sirkulasi
kepemimpinan hakikatnya—pada kondisi normal—juga merupakan usaha mulia karena
peralihan kekuasaan dilakukan dengan cara bermartabat (melalui Pilkada), dan
ditujukan untuk menyejahterakan rakyat.
Terlepas dari itu semua, yang mesti kita catat bahwa belum ada
sinyal pemerintah, KPU, dan Bawaslu akan kembali menunda Pilkada. Tulisan ini
berasumsi bahwa Pilkada akan tetap digelar pada 9 Desember 2020 mendatang. Untuk memprediksi efektivitas pelaksanaan kampanye,
tulisan ini mencoba menguji pengaturan kampanye yang diatur dalam Peraturan
KPU.
Esensi
Kampanye
Kampanye merupakan hak Pasangan calon (Paslon) sekaligus hak
pemilih. Bagi Paslon yang programatik kampanye menjadi sarana untuk menawarkan
program pasca terpilih dan dilantik. Sementara bagi pemilih, kampanye menjadi ring
pertarungan visi-misi antar Paslon. Mereka yang tidak mampu mengkonsep dan mengartikulasikannya
dengan baik akan terkapar pada 9 desember 2020 mendatang karena tidak
memperoleh simpatik. Sebaliknya Paslon yang piawai akan mengakumulasi dukungan
dan memperoleh legitimasi sebagai kepala daerah.
Oleh karena itu, kampanye tidak boleh dianggap sebagai
kepentingan calon. Tapi juga kepentingan pemilih. Keduanya mendapat jaminan
dalam konstitusi. Paslon adalah warga negara yang punya hak untuk dipilih (right to be elected), sedangkan pemilih
punya hak untuk memilih (right to vote)
yang dibaliknya juga terdapat hak untuk mengetahui siapa yang akan dipilihnya
melalui media kampanye.
Belakangan kampanye dipersepsikan negatif. Atau paling tidak
memperoleh sedikit simpatik. Tentu saja kondisi ini bukan kebetulan, melainkan
merupakan dosa dari calon-calon
bupati/walikota terdahulu yang terpilih namun abai dengan janji-janjinya, tidak
membuat perubahan yang berarti bagi daerah, malah cenderung koruptif.
Regulasi
Kampanye
Baik UU No.10 Tahun 2016 maupun pada regulasi turunannya yaitu
PKPU 4 Tahun 2017 mengatur bahwa kampanye dapat dilaksanakan dengan beberapa
metode seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog,.penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga
kampanye, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Kampanye yang melibatkan pengumpulan massa seperti pertemuan
terbatas, Paslon dapat mengumpulkan 1000 orang, sementara ketentuan pada
pertemuan tatap muka asalkan tidak melebihi kapasitas tetap dinyatakan patuh
pada peraturan. Paslon juga dapat melakukan pemasaran politik pada masyarakat
melalui serangkaian temu langsung pada rapat umum dalam jumlah terbatas,
kegiatan kebudayaan, kegiatan olahraga, kegiatan sosial (bazar, donor darah)
dan kampanye media sosial.
Metode kampanye konvensional tatap muka antara paslon dan
peserta selama ini masih merupakan metode yang sangat penting karena berbagai
alasan. Bagi Paslon, momen itu digunakan unjuk kekuatan, mereka ingin disclaimer kalau pendukungnya banyak
sekaligus menjalin kedekatan emosional. Tim kampanye memanfaatkan momen ini
untuk menunjukkan kalau mereka juga telah bekerja keras. Timbal balik atas
sejumlah finansial yang telah mereka peroleh dari Paslon.
Setelah PKPU 13 Tahun 2020 disahkan dan diundangkan, metode
kampanye konvensional yang dirumuskan dalam PKPU 4 Tahun 2017 masih bertahan
dengan perubahan yang signifikan pada jumlah peserta kampanye. Pertemuan
terbatas, tatap muka dan dialog hanya diperolehkan 50 orang. Sementara rapat
umum, kegiatan kebudayaan, olahraga, perlombaan, kegiatan sosial, dan
peringatan hari ulang tahun Parpol menjadi kegiatan yang dilarang.
Masalah
Persoalan kampanye di masa pandemi covid-19 secara umum
mengatur dua hal, mengurangi jumlah dan/atau meniadakan kerumunan serta
mengkonversi kampanye menjadi daring. Ketentuan ini di satu sisi ingin
mengakomodir kampanye di tengah Pandemi, namun pada sisi yang lain telah
mengkebiri hak-hak konstitusional calon.
Sebagai contoh, Kabupaten Lampung Tengah dengan jumlah Daftar
Pemilih Sementara (DPS) Pilkada 2020 yang mencapai 915.857, akan membuat Paslon
sulit melakukan pemasaran politik. Asumsinya
jika Paslon mendatangi kampanye pertemuan tatap muka dua kali dalam
sehari, maka selama masa kampanye 71 hari berdasarkan ketentuan Kampanye terbaru
Paslon hanya dapat menjumpai 7000 calon pemilih atau sekitar 0,007% dari total
pemilih.
Opsi kampanye daring juga mengalami beberapa kendala seperti
jangkauan jaringan internet pemilih yang belum stabil sampai ke pelosok-pelosok
desa/pekon, banyak yang tidak memiliki gawai, tidak mampu mengoperasikan ponsel
pintar dan mengakses kampanye, serta persoalan-persoalan teknis lainnya.
Kondisi ekonomi yang sedang sulit saat ini menambah daftar panjang masalah
karena secara rasional berat mengatakan pemilih akan mudah mengeluarkan uang
untuk membeli kuota internet dan mendengarkan visi misi calon dibandingkan
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Paslon berdasarkan PKPU 11 Tahun 2020 diperbolehkan melakukan
kampanye media sosial dari mulai masa kampanye sampai sebelum masa tenang,
dengan menggunakan 20 akun resmi untuk semua aplikasi. Namun PKPU itu melarang
calon untuk melakukan kampanye dengan memanfaatkan iklan di media sosial.
Absurditas yang harus disadari ialah akun medsos Paslon tidaklah sakti yang
dalam hitungan hari dapat mengakumulasi ratusan atau bahkan ribuan akun media
sosial Pemilih.
Paslon yang memiliki akun instagram, twitter, maupun facebook
untuk kampanye membutuhkan follower dan pertemanan. Jika tidak, tentu visi-misi
calon yang dibuat sekreatif mungkin misalnya hanya disukai, dikomentari, dan
dibagi oleh Paslon, tim kampanye, atau tim suksesnya saja. Berbeda halnya jika
paslon diberikan kebebasan untuk beriklan di media sosial. Pengguna media
sosial yang bukan merupakan follower calon dapat menjadi objek pemasaran
politik. Jangkauan ribuan pengguna media sosial setiap harinya akan membantu
dalam menyelesaikan persoalan calon yang sengaja diatur melalui regulasi ini
untuk melakukan social distancing
dengan pemilih—berkilometer jauhnya.
PKPU yang mengatur kampanye yang baru saja diundangkan harus
diakui tidak menempatkan paslon pada posisi yang menguntungkan. Kita wajib
khawatir regulasi pembatasan yang sedemikian ketat ini kontraproduktif dengan
usaha untuk melawan politik uang yang biasa dilakukan oknum untuk mendulang
popularitas. Beberapa poin yang harus diperhatikan oleh penyelenggara Pemilu
ialah perlunya memperbolehkan iklan media sosial dari mulai masa kampanye
sampai sebelum masa tenang. Dan sudah seharusnya Bawaslu, Kepolisian, dan KPU menyelesaikan
persoalan di lapangan dengan pendekatan yang humanis.