Oleh : Suhendi
Cobalah sesekali berjalan kaki di Taman Merdeka, Kota Metro, pada pagi atau sore hari terutama di akhir pekan, suasananya biasanya lebih ramai. Di sana, kita akan menjumpai begitu banyak orang dari berbagai usia, mulai dari anak-anak muda hingga para lansia. Ada yang berjalan pelan menikmati udara segar, ada pula yang melangkah cepat, bahkan beberapa berlari memutar mengelilingi taman hingga ke area Masjid Taqwa. Meski langkah mereka berbeda, frekuensinya terasa sama: semua ingin hidup lebih sehat, dengan durasi dan jumlah langkah yang menjadi target pribadi masing-masing. Getaran energi positif dari mereka yang hadir seolah menyebar ke seluruh penjuru jalan, menambah semangat bagi siapa saja yang bergabung dalam aktivitas yang sama di situ.
Salah satu komunitas jalan kaki yang hingga kini masih eksis adalah JASTAKO, singkatan dari Jalan Sehat Taman Kota. Di antara anggotanya terdapat tokoh-tokoh yang tak asing lagi bagi warga Metro: ada H. Lukman Hakim (mantan Wali Kota Metro), Ardi (Bawang Lanang), Uni Tis (BPH UM Metro), Hairudin Rustam (mantan Sekum PDM Kota Metro), juga Fauza; teman lama saat sama-sama aktif di Dekopin, serta banyak nama lain yang tak semuanya saya kenal secara pribadi. Mereka rutin berjalan kaki hampir setiap pagi, memutari area taman kota dan Masjid Taqwa dengan konsistensi yang menginspirasi.
Satu hal yang menarik dan patut diapresiasi, entah ini by design atau bukan adalah kehadiran Asmaul Husna yang terpampang dalam bentuk sign box indah dan menyala di sepanjang jalur pejalan kaki. Dalam setiap langkah yang kita ayunkan, tanpa sadar kita seperti diajak berdzikir, membaca nama-nama agung Allah. Ini menjadikan pengalaman berjalan kaki di sana tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga menenangkan secara spiritual. Keramaian yang tercipta tetap terasa sejuk dalam balutan rindangnya cemara, lambaian pinus, dan bunga-bunga flamboyan yang bermekaran.
Di lingkungan kampus kita UIN Jusi Lampung, semangat serupa juga mulai tumbuh. Setiap sore menjelang pulang kantor, muncul komunitas kecil pejalan kaki yang rutin berkeliling area kampus. Komunitas ini lahir dari kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kesehatan di mana pun berada, termasuk di tempat kerja; sebuah gerakan kecil yang layak diapresiasi. Diantara penggiatnya ada Mbak Faizah (Keuangan), Mas Makruf Insan (Rektorat), dari LPM ada Uni Aria, Cak Ghulam, Teh Yuyun, Mbak Sarah dan Reta; LPPM ada Mbak Yeasy, Indah, serta beberapa dosen dan tenaga kependidikan lainnya. Rute mereka mengelilingi kampus: dari gedung rektorat, ke gedung O, melintasi laboratorium, gedung dosen, hingga gedung munaqosyah.
Meski berbeda komunitas dan lintasan dengan mereka yang berjalan di taman kota, satu hal menyatukan mereka: keinginan untuk hidup lebih sehat. Gaya hidup sehat melalui praktik berjalan kaki kini memang tengah menjadi tren lintas usia dari anak muda, paruh baya, hingga lansia. Jalan kaki kini bukan hanya bentuk aktivitas fisik, tetapi telah menjadi bagian dari laku hidup yang sadar, sehat, dan penuh makna.
Jalan kaki dari perspektif kesehatan
Studi di British Medical Journal oleh Jeremy Morris dan Adrian Hardman pada 1997 menunjukkan bahwa berjalan kaki secara rutin mampu menurunkan risiko penyakit kardiovaskular secara signifikan. Aktivitas ini pun menjadi salah satu bentuk olahraga ringan yang paling direkomendasikan oleh kalangan medis. Beberapa tahun kemudian, pada 2015, Hanson dan Jones melalui sebuah tinjauan sistematik yang dimuat di British Journal of Sports Medicine menunjukkan bahwa program jalan kaki yang dilakukan secara terstruktur tidak hanya meningkatkan kesehatan fisik, tetapi juga berdampak nyata dalam menurunkan tingkat depresi serta meningkatkan kebugaran psikologis.
Manfaat jalan kaki bagi kesehatan jantung dan tekanan darah tidak lagi diragukan. Sejumlah penelitian terbaru memperkuat klaim ini dengan bukti-bukti yang solid. Salah satu meta-analisis komprehensif yang dilakukan oleh tim Cochrane pada 2021, dengan melibatkan lebih dari 5.000 peserta dari 73 studi, menunjukkan bahwa berjalan kaki dengan intensitas sedang selama 15 minggu dapat menurunkan tekanan darah. Studi ini menunjukan jalan kaki membawa manfaat yang signifikan secara klinis dalam menekan risiko penyakit kardiovaskular jangka panjang. Bahkan, manfaat ini dirasakan lintas usia.
Tak hanya tekanan darah, berjalan kaki juga terbukti menurunkan risiko penyakit jantung secara umum. Studi prospektif berskala besar dari Harvard Medical School pada awal 2000-an menemukan bahwa berjalan kaki lebih dari empat jam per minggu dapat menurunkan risiko rawat inap akibat penyakit jantung hingga 31 persen, dan mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung sebesar 27 persen.
Bahkan, studi terbaru yang menganalisis data dari UK Biobank sebuah basis data kesehatan terbesar di Inggris menunjukkan bahwa menambahkan sekitar 2.600 hingga 2.800 langkah per hari dapat menurunkan risiko penyakit jantung secara signifikan. Manfaat maksimal tercapai ketika seseorang berjalan antara 7.000 hingga 8.800 langkah per hari, demikian temuan riset yang dipublikasikan oleh Del Pozo Cruz dan tim peneliti kesehatan masyarakat pada tahun 2023.
Berjalan kaki juga terbukti efektif dalam menjaga dan memperkuat otot kaki, terutama pada kelompok usia lanjut. Sebuah studi oleh Kubo dari National Institute of Fitness and Sports di Jepang menunjukkan adanya peningkatan ketebalan otot dan kekuatan isometrik setelah program jalan kaki rutin selama beberapa minggu.
Hasil serupa dicatat dalam penelitian oleh Yoshiko dan koleganya pada 2018, yang menemukan bahwa jalan kaki dapat membantu mengurangi lemak intramuskular pada area paha dan betis dua bagian penting dalam menopang mobilitas harian. Efek ini meningkat saat dikombinasikan dengan latihan resistensi ringan seperti wall sit, squat, atau sit-up yang dapat dilakukan di rumah, menjadikannya intervensi sederhana dan efektif untuk menjaga kekuatan otot dan fungsi mobilitas harian.
Penelitian lain mengungkap bahwa jalan kaki terutama saat dilakukan dalam durasi panjang dan intensitas ringan, merupakan salah satu bentuk aktivitas paling efektif untuk membakar lemak tubuh. Sebuah studi prospektif di kalangan wanita menopause, seperti yang dilaporkan oleh Obesity Research & Clinical Practice, menemukan bahwa berjalan santai selama sekitar 54 menit (sekitar 4,8 km) menurunkan lemak tubuh dan lemak perut lebih signifikan dibandingkan berjalan cepat atau lari selama 44 menit.
Hal ini disebabkan karena intensitas rendah justru lebih memicu pembakaran lemak sebagai sumber energi utama. Hasil serupa juga diperkuat oleh temuan dari tim peneliti di University of Tsukuba, Jepang, yang menunjukkan bahwa penambahan langkah harian dari 2.000 menjadi 5.000 langkah secara konsisten meningkatkan oksidasi lemak tubuh secara signifikan. Bahkan, menurut jurnal Journal of Exercise Nutrition & Biochemistry, pembakaran lemak optimal tidak bergantung pada kecepatan, melainkan pada durasi dan konsistensi latihan itu sendiri.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa jalan kaki bukan sekadar aktivitas ringan pengisi waktu luang, melainkan sebuah intervensi kesehatan yang terjangkau, efektif, dan fleksibel. Di tengah gaya hidup modern yang sering kali duduk terlalu lama, berjalan kaki menjadi bentuk perlawanan sederhana namun kuat: langkah-langkah kecil yang melindungi jantung, menurunkan tekanan darah, memperkuat otot kaki, membakar lemak dan pada akhirnya memperpanjang harapan hidup.
Tidak heran jika banyak praktisi medis dan pakar kesehatan kini mulai menyebut jalan kaki sebagai “obat terbaik yang tidak dijual di apotek”. Studi tersebut menegaskan bahwa berjalan kaki adalah bentuk intervensi kesehatan masyarakat yang murah, aman, dan serbaguna, yang efektif dalam berbagai konteks usia dan latar belakang sosial.
Jalan kaki sebagai laku kontemplatif
Masih tentang jalan kaki, beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah buku yang sangat menarik berjudul A Philosophy of Walking, ditulis oleh Frédéric Gros, seorang penulis kenamaan asal Prancis. Dalam buku yang terbit pada 2014 itu, Gros mengajak pembaca melihat manfaat jalan kaki dari sudut pandang yang berbeda. Ia tidak sekadar bicara soal manfaat kebugaran sebagaimana kita bahas di atas, melainkan menggali sisi eksistensial dari setiap langkah. Melalui pendekatan yang kerap disebut sebagai deep walking, Gros menunjukkan bahwa berjalan kaki bisa menjadi pengalaman kontemplatif yang mendalam, tempat di mana kita bisa merasakan kembali hakikat keberadaan secara utuh dan penuh kesadaran.
Pernahkah kita merasa bahwa pikiran paling jernih justru hadir bukan saat duduk diam, melainkan ketika kaki melangkah perlahan dalam keheningan? Sudah barang tentu kita punya pengalaman dan ingatan yang berbeda dalam menjawab pertanyaan itu. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, kita sering lupa sebagaimana diingatkan Gros bahwa jalan kaki, aktivitas yang tampak remeh ini, justru bisa menjadi salah satu cara paling dalam untuk menyentuh kembali hakikat diri. Sayangnya, kebanyakan dari kita masih memandang jalan kaki semata dari sisi manfaat kesehatan fisik dan metabolik saja.
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Shane O’Mara seorang neurosaintis dari Trinity College Dublin dalam bukunya In Praise of Walking yang terbit pada 2019, aktivitas berjalan ternyata tidak hanya berdampak pada tubuh, tetapi juga berpengaruh besar terhadap otak dan emosi. Ia menguraikan bahwa saat kita berjalan dengan ritme yang pelan dan konsisten, otak mulai memproduksi hormon-hormon yang memperkuat daya ingat, meredam stres, dan memicu kreativitas. Di sinilah muncul satu lapisan makna lain yang kerap luput: bahwa berjalan kaki bisa menjadi pintu masuk menuju kesadaran yang lebih dalam.
Dengan demikian, dari sudut pandang filosofis dan neurologis, jalan kaki bukanlah sekadar aktivitas fisik. Ia adalah laku sunyi yang membuka ruang batin bagi pemulihan dan kontemplasi. Setiap langkah pelan bisa menjadi jalan pulang ke dalam diri, menghadirkan kembali kesadaran eksistensial yang kerap terabaikan di tengah kebisingan hidup modern. Seperti yang pernah ditegaskan oleh penulis dan sejarawan budaya Amerika, Rebecca Solnit, dalam bukunya Wanderlust yang terbit pada awal 2000-an, “walking is how the body measures itself against the earth” dan dalam pengukuran itu, kita sering kali menemukan kembali makna keberadaan kita sendiri.
Dalam pandangan Frédéric Gros, berjalan kaki bukan sekadar perpindahan tubuh dari satu titik ke titik lain, melainkan bentuk pengalaman eksistensial yang meresap ke dalam kesadaran paling dasar manusia. Dalam bukunya Gros menegaskan bahwa jalan kaki memberi kita ruang untuk “menanggalkan” identitas sosial: nama, jabatan, bahkan narasi masa lalu. Kita menjadi anonim, hening, dan hadir sepenuhnya di dunia di tubuh kita, di langkah kita, di lanskap yang kita lintasi.
Gros menyebut momen ini sebagai kebebasan paling sunyi: saat seseorang menjadi “tidak ada” untuk kemudian “sepenuhnya ada.” Dalam kesadaran yang hadir utuh itu, manusia menemukan kembali pengalaman menjadi subjek yang utuh, bukan sekadar objek dari sistem sosial atau rutinitas birokratis. Jalan kaki, dalam konteks ini, menjadi semacam “laku kontemplatif” yang menyembuhkan, sebuah gerakan lambat yang justru mempercepat kedewasaan jiwa.
Gagasan Gros menemukan resonansi dalam pemikiran Erling Kagge, seorang penjelajah kutub juga penulis asal Norwegia. Dalam bukunya Walking: One Step at a Time, yang terbit pada 2019, Kagge menyebut bahwa berjalan kaki adalah bentuk perlawanan paling sunyi terhadap budaya kecepatan yang mendominasi dunia modern. Setiap langkah, menurutnya, adalah “perenungan bergerak” sebuah laku diam yang justru membuat dunia terdengar lebih jelas. “Walking,” tulisnya, “is the perfect speed to see the world with clarity and to think without distraction.”
Kagge menekankan bahwa dalam dunia yang penuh gangguan visual dan digital, berjalan menawarkan ruang kosong yang langka: ruang untuk menyendiri, berpikir jernih, dan menyambung kembali dengan ritme batin yang sering diabaikan. Di saat semua orang mengejar efisiensi, berjalan pelan menjadi praktik sadar untuk kembali pada keberadaan diri yang utuh dan tidak tergesa-gesa.
JeJak kaki para pemikir besar
Sejarah pemikiran dunia diam-diam meninggalkan jejak kaki di tanah. Para filsuf dan penulis besar tidak hanya menghasilkan ide cemerlang di balik meja tulis, tapi justru menemukan kejernihan berpikir saat melangkah. Gros mencatat bahwa Friedrich Nietzsche kerap berjalan berjam-jam di pegunungan Swiss sambil menyusun konsep-konsep besar dalam karyanya. Nietzsche pernah menulis, “Only thoughts reached by walking have value”, sebuah penegasan bahwa gerakan kaki memicu gerakan pikiran.
Masih dalam catatan Gros: Jean-Jacques Rousseau, filsuf Prancis abad ke-18, bahkan menyebut “Les Rêveries du Promeneur Solitaire” bahwa saat-saat terbaik dalam hidupnya adalah ketika ia berjalan sendirian. Bagi Rousseau, berjalan menciptakan ruang batin yang jujur dan lapang, menjadikannya tempat paling otentik untuk mengurai kegelisahan dan menemukan keselarasan batin. Dalam catatannya, ia menulis, “I can only meditate when I am walking; when I stop, I cease to think.”
Sementara Immanuel Kant, yang dikenal sebagai figur disiplin dan terstruktur, menjadikan jalan kaki sebagai ritual harian yang tidak pernah ia lewatkan. Ia selalu berjalan di waktu dan rute yang sama setiap sore di Königsberg. Meski terkesan mekanis, kebiasaan ini justru menjadi fondasi ritme intelektualnya mengokohkan relasi antara gerak tubuh dan tatanan pikiran.
Fenomena ini tidak berhenti di era modern awal. Dalam sebuah wawancara yang dimuat oleh The Guardian, penulis asal Inggris Will Self menekankan bahwa berjalan kaki di kota justru memberinya “kesadaran mental yang melebihi duduk di ruang kerja.” Ia menyebut jalan kaki sebagai bentuk perlawanan sunyi terhadap dominasi layar dan keterputusan manusia dari realitas spasial yang sesungguhnya, sebagaimana ia ungkapkan dalam refleksi publiknya pada tahun 2012.
Mereka semua tidak berjalan karena ingin berpikir, tetapi mereka berpikir karena berjalan. Aktivitas berjalan memberi ruang kognitif yang luas, membebaskan ide dari tekanan produksi instan, dan mengembalikan proses berpikir pada ritme alami manusia: pelan, reflektif, dan mengalir.
Mindfulness pada jalan kaki
Dalam lanskap filsafat modern dan psikologi kontemplatif, konsep mindfulness atau kehadiran penuh yakni kemampuan untuk hadir secara utuh di saat ini, tanpa terjebak masa lalu atau terburu-buru menakar masa depan; menjadi titik tumpu dari banyak praktik penyembuhan dan pemulihan diri. Jalan kaki, terutama jika dilakukan dalam kesadaran penuh, menjadi salah satu medium paling sederhana sekaligus paling kuat untuk mempraktikkan mindfulness dalam kehidupan sehari-hari.
Frédéric Gros menyebut bahwa saat kita berjalan dalam waktu yang cukup lama, kita mulai kehilangan peran sosial kita: nama, jabatan, bahkan narasi masa lalu. Yang tersisa hanyalah tubuh yang melangkah dan pikiran yang mengendap. Inilah pengalaman being here and now yang sejati: hadir secara total di antara gesekan tanah dan sol sepatu, di bawah cahaya pagi yang menembus dedaunan, dalam irama napas dan detak jantung yang berayun perlahan.
Hubungan antara jalan kaki dan mindfulness juga banyak dijelaskan dalam tradisi Buddhis. Thich Nhat Hanh, seorang guru Zen terkemuka asal Vietnam, dalam bukunya Peace Is Every Step yang diterbitkan pada awal 1990-an, menulis dengan indah: “Walk as if you are kissing the Earth with your feet.” Dalam setiap langkah yang penuh kesadaran, manusia tidak hanya bergerak secara fisik, tetapi juga sedang membangun hubungan batin dengan bumi dan kehidupannya sendiri. Ini bukan soal ke mana kita pergi, tetapi bagaimana kita hadir dalam setiap pijakan.
Studi kontemporer dalam psikologi juga memperkuat hubungan ini. Sebuah laporan dari Harvard yang dipublikasikan melalui Harvard Gazette oleh dua peneliti psikologi, Matthew Killingsworth dan Daniel Gilbert pada tahun 2010, menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan manusia lebih ditentukan oleh kemampuannya untuk hadir sepenuhnya di saat ini, dibandingkan dengan apa pun aktivitas yang sedang dilakukan. Dengan demikian, berjalan secara sadar bukan hanya memperbaiki kualitas perhatian, tetapi juga turut meningkatkan kualitas kebahagiaan kita.
Mulailah Jalan kaki; sebab di situ ada keheningan yang menyadarkan dan menyembuhkan
Maka, ketika jalan kaki dilakukan dalam kesadaran utuh, ia tidak lagi sekadar aktivitas transportasi atau olahraga ringan. Ia menjelma menjadi laku spiritual yang merawat tubuh, menyembuhkan pikiran, dan memulihkan relasi kita dengan hidup yang terlalu lama kita jalani secara terburu-buru.
Di tengah dunia yang serba cepat, gaduh, dan penuh tekanan, jalan kaki mengajarkan kita sebuah seni hidup melambat (slow living). Ia hadir bukan hanya sebagai solusi kebugaran tubuh, tetapi sebagai pintu masuk menuju keheningan batin dan keutuhan diri. Dari Frédéric Gros hingga Erling Kagge, dari Nietzsche hingga Will Self, semuanya mengisyaratkan bahwa dalam setiap langkah pelan yang kita ayunkan, tersimpan kemungkinan untuk berpikir lebih jernih, merasakan lebih dalam, dan menjadi lebih utuh sebagai manusia.
Berjalan bukan hanya soal bergerak secara fisik, melainkan praktik eksistensial yang memulihkan relasi kita dengan tubuh, pikiran, dan lingkungan sekitar. Ia membebaskan kita dari kepungan identitas sosial, dari repetisi rutinitas, dan dari keterikatan pada hasil. Jalan kaki memungkinkan kita hadir secara utuh di dunia, dalam ritme yang lebih manusiawi.
Maka, ketika hidup terasa suntuk, waktu terasa terburu, dan pikiran terasa berat; barangkali bukan solusi digital atau motivasi instan yang kita butuhkan. Mungkin yang kita perlukan hanyalah keluar sejenak, mengambil napas panjang, dan mulai melangkah. Satu langkah pelan, satu helaan napas sunyi. Sebab dalam kesederhanaan itulah kita menemukan kembali apa yang esensial: diri kita sendiri.
Dalam setiap langkah pelan yang kita ayunkan, sering kali tanpa sadar kita sedang menyusun ulang keruwetan batin, menjernihkan pikiran, dan menata ulang makna hidup. Jalan kaki bukan sekadar gerak tubuh, tapi ruang sunyi di mana gagasan-gagasan penting bisa tumbuh dan bersemi. Seperti yang pernah diungkapkan Friedrich Nietzsche dengan begitu tajam: “All truly great thoughts are conceived while walking.” Barangkali karena dalam berjalan, kita sedang mendekat pada hakikat: hadir secara utuh, pelan-pelan, namun penuh kesadaran.
*) Dosen FTIK UIN Jurai Siwo Lampung