socio
eco-techno
preneurship

HAJI LAHIRKAN KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL

bg dashboard HD

metrouniv.ac.id – 7/05/2025 – 9 Dzulqa’dah 1446 H

Dr. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A. (Kepala Biro AUAK IAIN Metro)

Ibadah  haji  seperti  dalam  pembahasan  fiqh-fiqh  Islam adalah ibadah yang di dalamnya terkandung dua aspek sekaligus, yaitu materi (mâl) dan diri (nafs) yang prima. Oleh karena itulah apabila dilihat dari sudut pandang ekonomis, ibadah haji tergolong ibadah yang mahal. Berbeda halnya dengan ibadah- ibadah yang lainnya seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya, ibadah seperti ini justru tergolong sangat murah kalau bukan dikatakan gratis, sebab tidak memerlukan biaya kecuali hanya sekedar penutup aurat.

Namun demikian, sekalipun ibadah haji termasuk dalam kategori sangat mahal, anehnya tidak seorang pun jama’ah haji yang merasa menyesal setelah kembali dari tanah suci. Yang terjadi justru sebaliknya, semuanya bergembira, bersyukur kehadirat Allah swt dan malah apabila Tuhan mengizinkan serta memberi rezki, dengan senang hati, jaama’ah haji tersebut akan melak- sanakannya lagi pada tahun berikutnya. Kalau kita saksikan dengan seksama bagaimana perasaan bangga itu dituangkan dalam bentuk pergi haji lagi karena merasa selalu ‘terpanggil’ kesana, sungguhpun dia tidak ‘terpanggil” melihat derita sosial di sini.

Kesadaran Fithriyah

Satu hal yang tidak bisa kita ingkari adalah melaksanakan ibadah haji itu nikmat dan juga ibadah haji itu sendiri membawa dampak yang sangat positif terhadap diri seseorang, khususnya kesadaran tentang fitrah manusia. Seorang yang telah melak- sanakan ibadah haji, sadar sesadar-sadarnya bahwa semua manu- sia di hadapan Allah adalah sama. Tidak ada sesuatu pun yang dapat membedakan mereka, baik itu pangkat, jabatan, kedudukan, pakaian, maupun simbol-simbol pembeda lainnya, kecuali hanya satu yakni ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan kepada Allah SWT memberikan kemuliaan kepada seseorang di hadapan Allah SWT, sekalipun ia seorang budak hina seperti halnya Hajar istri Nabi Ibrahim AS. Aktivitas Hajar dalam mencari setengguk air bagi anaknya Ismail yang sedang kehausan, justru diperagakan dalam ibadah haji sebagai sikap fithriyah.

Kesadaran akan fitrah manusia ini, dibuktikan dengan pengakuan bahwa manusia adalah puncak tertinggi ciptaan sang Maha Pencipta. Oleh karena itu, manusia harus dihargai, dihormati, hak asasinya dijunjung tinggi sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk paling mulia di antara semua makhluk ciptaan Allah. Prinsip fitrah ini ditegaskan kembali oleh Nabi Besar Muhammad SAW dalam Khuthbatul Wada’ (Pesan Perpisahan), di mana beliau menekankan dengan sungguh-sungguh kepada umat Islam untuk memperhatikan tiga hal pokok: yaitu tidak boleh menindas orang lain, tidak boleh berbuat zalim kepada orang lain, dan tidak boleh mengambil harta orang lain tanpa hak.

Karena ketiga hal ini bersentuhan langsung dengan hakikat dan fitrah manusia sebagai insan akal budi, insan yang selalu sadar akan hak-haknya, baik pribadi maupun sosial. Menindas, menzalimi, dan mengambil hak orang lain adalah melawan nilai- nilai asasi dari kemanusiaan itu sendiri, yakni melawan prinsip fitrah. Pidato Nabi ini, di kemudian hari dikenal sebagai pidato Hak Asasi Manusia (HAM) yang beliau sampaikan ratusan bahkan ribuan tahun sebelum orang-orang Barat berteriak-teriak tentang penegakan hak asasi manusia (HAM). Akan tetapi, beliau justru telah meletakkan dasar-dasarnya dan telah memperaktikkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik oleh beliau sendiri maupun oleh generasi sesudahnya.

Kesadaran akan akan prinsip fitrah ini, menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari diri seorang yang telah melaksanakan ibadah haji, yang dibuktikan dengan tindak perilakunya sehari-hari, setelah tibanya di kampung halaman. Sayang sekali, perilaku yang seharusnya melekat pada diri seorang haji ataupun hajjah ini, justru tidak mengalir ke dalam kehidupan pribadinya sehari-hari, terutama kesadaran tentang fitrah manusia sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial. Ketika seseorang menyadari dirinya sebagai makhluk sosial, maka dengan mudah dia berbuat sejalan dengan fitrahnya tersebut. Sebaliknya, jika kesadaran ini tidak tumbuh, maka dia bersimpang jalan dengan fitrahnya itu.

Seorang haji dan hajjah harus menyadari bahwa di samping kiri dan kanannya masih banyak orang lain yang perlu mendapat perhatian darinya, seperti kehidupan anak-anak yatim yang terlantar dan tinggal di gubuk-gubuk reot. Masih banyak janda yang ditinggal oleh suaminya, karena tidak memiliki keteram- pilan, lalu ia melacurkan diri untuk memenuhi kebutuhan diri dan anaknya. Masih banyak orang miskin yang kadang sehari makan sehari tidak, bukan karena ia malas bekerja tetapi dia tidak punya modal untuk mengembangkan usahanya. Masih banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pendidikan Diniyah Takmiliyah Awwaliyah (PDTA) dan Pondok Pesantren yang membutuhkan dana segar, sehingga lembaga tersebut mam- pu mendidik anak-anak umat Islam.

Dewasa ini, kita menemukan kenyataan yang merusak akal sehat sebagai Muslim manakala kita menyaksikan banyak saudara kita lebih mengutamakan berangkat haji untuk kesekian kalinya, sementara saudaranya di samping rumahnya tidak makan dia tidak tahu. Tingkat kepedulian dan solidaritas sosial kita begitu payah, baik sebagai sesama manusia, lebih-lebih maupun sebagai Muslim, karena pribadi terakhir inilah diminta untuk peduli kepada saudaranya, karena mereka diibaratkan seperti tubuh, jika satu anggota sakit maka lainnya ikut merasakan sakit. Namun perintah itu menjadi tidak relevan bila kita amati bagaimana ada sebagian teman kita bagitu bahagia naik pesawat pergi haji tetapi tetangganya terkapar di sisi rumahnya dia tak mampu menolongnya. Bukan karena dia tidak mampu tetapi kesadaran individulnya lebih tinggi dibandingkan dengan kesadaran sosialnya. Kenyataan ini tentu lerlawanan dengan prinsip Alqur’an yang memerintahkan umatnya bahwa kalau hendak mencari kesalehan individual maka buktikan dulu kesalehan sosialmu.

Kesalehan Individual vs Kesalehan Sosial

Kenapa orang yang sudah berhaji tersebut, enggan menggunakan harta yang akan dipergunakan untuk menunaikan haji kedua, ketiga dan seterusnya itu kepada hal-hal seperti tersebut di atas. Padahal ulama-ulama besar sekelas Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sedekah dan membantu orang lain lebih utama dibanding haji sunnah. Mantan Mufti Arab Saudi Syaikh Bin Baz juga menyebutkan, membangun masjid lebih utama dari berhaji sunnah. Apalagi, jika haji sunnah hanya dijadikan hiasan untuk kemegahan dan kesombongan.

Bahkan Dr. Ahmad bin Nafi’ al-Muwarra’i pengarang kitab Nadharat fi Hajj At-Tathawwu’, menyatakan bahwa haji kedua dan seterusnya adalah suatu kezaliman, dengan berbagai alas an, salah satunya adalah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Tidak ada perintah kedua kali dan selanjutnya. Haji berikutnya tak memberi manfaat kecuali pahala sunnah. Padahal, gejala terakhir inilah justru kian melanda bangsa ini.

Dari sisi ekonomi dan kemaslahatan umat, Dr. Ala Ad-Din Al- Za’tari, seorang ulama Suriyah, menyatakan bahwa setiap tahun umat Islam dunia menghabiskan dana sekitar US$5 Milliar atau sekitar Rp45 Triliun untuk keperluan haji sunnah ini. Padahal masih ada sekitar 700 juta kaum muslimin di dunia Islam yang masih membutuhkan dana untuk kelangsungan hidupnya. Bukankah dana tersebut lebih penting digunakan untuk mengatasi berbagai problematika umat Islam di atas ?

Sekali lagi kenapa? Saya menduga, banyak orang berbondong-bondong menunaikan ibadah haji kedua, ketiga dan seterusnya dengan mengeluarkan dana yang cukup besar, dikarenakan dana tersebut digunakan untuk dinikmati dirinya sendiri. Dia membayar ongkos pesawat berapapun mahalnya, toh dia sendiri yang berangkat naik pesawat. Dia membayar hotel mahal di Makkah-Madinah dan tenda di Arafah-Mina, toh dia sendiri yang tidur di hotel dan tenda tersebut. Dia bayar biaya makan selama di Arab Saudi, toh dia sendiri yang menyantap makanan itu. Tentu tidak ada persoalan baginya, karena memang dia sendirilah yang menikmati dana itu kembali.

Hal ini berbeda dengan kalau dana tersebut digunakan untuk keperluan umat Islam yang lain, seperti mengentaskan kemis- kinan-kebodohan- keterbelakangan, membantu anak-anak yatim yang terlantar, membangun masjid-langgar-mushalla, membantu janda dan wanita muslimah yang tercebur dalam jurang kemak- siyatan, membangun madrasah dan pondok pesantren, mem- berdayakan masyarakat miskin sehingga keluar dari kemiskin- annya, serta lain sebagainya. Dana tersebut diberikan untuk or- ang lain, digunakan oleh orang lain dan bahkan dinikmati oleh orang lain.

Hal inilah nampaknya yang menjadi penyebab utama, sehingga para orang kaya lebih rela pergi lagi menunaikan ibadah haji kedua, ketiga dan seterusnya. Ini berarti bahwa para haji dan hajjah itu lebih mementingkan kesalehan individual daripada kesalehan social. Bukankah kesalehan individual dan kesalehan sosial harus berjalan seiring, seia sekata dan seayunan, sebagai- mana halnya keselarasan antara hablum minallah dengan hablum minannas. Kitapun tentunya tak akan mau masuk surga sen- dirian. Kita butuh teman menikmati indahnya taman syurga, yang digaambarkan oleh Nabi Muhammad SAW: “Tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan bah- kan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.”

Wallahu a’lam.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.