Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum (Ketua Lembaga
Penjaminan Mutu IAIN Metro)
“Untuk benar-benar menguasai sebuah
bahasa, Anda harus menguasai lebih dari satu bahasa.” (Geooffrey Willans)
Ini kisah tentang malam Jum’at. Kamis pagi, seorang
ayah yang sedang dinas luar kota, menelpon anaknya. Dia bertanya kepada sang
anak, ‘Apakah engkau melihat Ibu sholat subuh hari ini?’ Di ujung sana, sang anak menjawab, ‘Iya. Saya dan Ibu sholat
bersama subuh tadi.’ Sang ayah, yang juga seorang suami itu, girang bukan
kepalang. Ada setangkup keinginan agar waktu berlari lebih cepat. Ia ingin
segera tiba di rumah setelah lima hari jauh dari keluarga. Dan begitulah,
sebagai a family man, pria yang
menyayangi keluarganya, ia membawakan buah tangan untuk anak-anak dan juga,
terutama, untuk istrinya. Pesawat melaju dan mendarat menjelang petang di
bandara tujuan. Segera, si suami menelpon istrinya. Dalam intonasi menggoda, ia
berkata, ‘Sayang, Papah super kangen sama Mamah. Apalagi, ini kan malam
Jum’at.’ Lalu di ujung sana, sayup terdengar si istri menjawab, “Sebenarnya Mamah
juga kangen sama Papah. Namun apa daya, sejak ashar tadi Mamah sedang tidak
sholat.”
Pengolahan informasi di dalam otak (brain) bisa begitu cepat dan kadang
berlangsung sangat dramatis. Ini kisah
tentang malam Jum’at, bisa jadi memberi kesan horor bagi banyak benak.
Ketika cerita malam Jum’at ditautkan
dengan diksi suami-istri, mungkin saja muncul kesan keinginan membara, untuk
tidak mengatakan erotis. Ketika si istri berucap ‘sedang tidak sholat’, pembaca
cerita mungkin akan menangkap efek komedi. Syahdan,
apa yang bagi pembaca adalah komedi, bagi sang suami adalah tragedi. Pada titik
terjadinya ragam interpretasi, orang perlu menengok konsep implikatur.
Dalam ilmu bahasa, ada konsep yang dinamai implikatur.
Implikatur tampak sama dengan ‘maksud’ atau ‘kesimpulan’. Implikatur juga semacam
makna tersirat atau makna tidak langsung dari sebuah ujaran atau kalimat.
Tulislah sebuah kalimat di sosial media, maka kalimat itu bisa melahirkan
banyak implikatur. Kurang lebih begitu. Kita membayangkan seorang wanita
menulis sebuah postingan di sosial medianya: ‘Mukena sedang dicuci’. Pelanggan
si wanita, yang ternyata punya bisnis laundry
itu, akan menangkap maksud yang tidak sama dengan suami sang wanita yang
akan pulang dari dinas luar kota.
Implikatur ada yang positif dan ada pula yang negatif. Keduanya bisa muncul bersamaan sebagai
kesimpulan terhadap sebuah kalimat, jargon, motto, visi misi, dan lain
sebagainya. Contoh motto, LPM IAIN Metro: When
You Need to Be Excellent. Contoh implikatur negatif: jadi, selama ini kita
tidak ekselen sehingga harus
dibuatkan moto tubi ekselen. Contoh
implikatur positif: IAIN Metro tampaknya sedang menuju rekognisi internasional
karena motto LPM-nya saja sudah berbahasa Inggris.
‘Alaa
kulliy haal, implikatur
akan menghasilkan kesimpulan yang solid jika pembicara-pendegar atau
penulis-pembaca memiliki persamaan persepsi. Harus ada kesepahaman konteks atau
kesamaan frekuensi, agar sebuah kalimat menghasilkan implikatur yang sama. Percayalah,
cerita di awal tulisan ini akan sukar menemukan efek komedi bagi non-Muslim
yang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang Islam. Bahkan bagi Muslim(ah)
yang belum dewasa, cerita tersebut tidak akan pernah mengandung unsur tragedi. Di
titik ini, motto semacam When You Need to
Be Excellent akan menemukan kesejatiannya bila semua civitas akademika
menempatkan capaian Excellent atau
unggul sebagai prioritas. Hanya jika semua stakeholders
menginginkan keunggulan, motto tersebut akan menemukan maknanya yang paling
solid. Perkara ia ditulis dalam bahasa Inggris, anggap saja tujuannya agar kita
benar-benar menguasai bahasa regional atau nasional kita.
Tabiik,
Metro, 2 Juni 2021
Sosialisasi Motto LPM IAIN Metro