socio
eco-techno
preneurship

Islam: Alat Perjuangan, Syariat Modern, dan Indonesia Cita

2

metrouniv.ac.id – 6/11/2024 – 4 Jumadil Awal 1446 H

Dr. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A. (Kepala Biro AUAK IAIN Metro)

Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, Proklamator Bangsa Indonesia, adalah sebuah negara yang berdasarkan Pancasila. Pancasila merupakan bentuk final melalui kesepakatan akhir seluruh komponen bangsa Indonesia sebagai dasar sekali- gus filosofi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila pada konsep dasarnya adalah sebagaimana yang tertuang dalam apa yang disebut orang sebagai Piagam Jakarta, dengan mencoret tujuh kata pada sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban men- jalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Pencoretan ini merujuk pada kesepakatan nasional sebagaimana digagas oleh Bung Hatta, maka tujuh kata dalam sila pertama pada Pancasila dihilangkan dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa,” seperti kita kenal sekarang.

Penghapusan tujuh kata dalam Pancasila yang melibatkan Bung Hatta sebagai inisiator bersama tokoh-tokoh nasional yang tergabung dalam “Panitia Sembilan” yang nota bene mereka ada- lah tokoh-tokoh agama berpengaruh di negeri ini, baik Islam maupun non-Islam. Penghapusan ini mendapat tanggapan bera- gam dari masyarakat, ada yang mengatakan bahwa pengha- pusan ini justru semakin menguatkan pandangan kita bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini oleh Ki Bagus Hadi- kusumo, tokoh Islam sekaligus tokoh Muhammadiyah, menye- butnya sebagai “sila tauhid.”

Dengan cara pemaknaan seperti ini, maka perdebatan soal penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta kemudian men- jadi Pancasila, memenuhi common sense substansil yang diha- rapkan umat Islam Indonesia. Pancasila dimaknai setara dengan Piagam Madinah (Mitsâqul Madînah) yang merupakan desain konstitusional pertama di muka bumi versi Rasulullah bersama tokoh-tokoh terkemuka non-Islam di Madinah. Penghapusan ini akan semakin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia demi menampung pluralitas bangsa dengan latar sosial, budaya, suku, maupun agama yang berbeda-beda. Sejatinya, faktor keragaman agama, budaya, suku, dan bahasa itulah men- dorong Bung Hatta menyetujui usulan tokoh-tokoh Indonesia Timur yang sempat mengancam akan mendirikan negara Indo- nesia Timur jika usulan mereka ditampik.

Satu hal yang pasti, sebagaimana disebutkan oleh mantan Menteri Agama Republik Indonesia, Jenderal Purnawirawan H. Alamsyah Ratu Perwira Negara, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantikannya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sumbangan terbesar umat Islam untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumbangan tersebut di- berikan secara ikhlas dan bertanggung jawab, sebab disepakati oleh para tokoh agama berpengaruh dan hampir tidak mendapat penolakan dari tokoh-tokoh agama lainnya yang berada di luar struktur pemerintahan saat itu.

Alat Perjuangan

Mengingat bahwa persoalan dasar negara kesatuan republik Indonesia sudah “final” maka tugas dan tanggung jawab kita sekarang adalah bagaimana mengisi negara Pancasila ini dengan nilai-nilai Islam sehingga secara formalistik negara ini tidak berdasarkan pada agama Islam, tetapi secara substantif perilaku kenegaraan dan tata pemerintahannya harus menunjukkan peri- laku-perilaku yang islami. Saya kira ini merupakan tugas dan tanggung jawab kita ke depan dalam rangka memperbaiki masa depan negeri ini ke arah yang lebih baik.

Pancasila adalah alat perjuangan umat Islam jika umat ini menyadari sekaligus pandai menggunakannya. Ibarat sebuah wadah, dia sebenarnya wadah kosong, tergantung siapa yang mengisinya. Siapa yang pandai mengisinya dengan nilai agama yang dimilikinya maka nilai agamanya itulah yang mewarnai detak jantung masyarakat dan bangsanya. Maka membiarkan Pancasila diisi oleh pihak lain, di samping sebuah kerugian, ia juga merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena sudah diargumenkan bahwa Pancasila merupakan “hadi- ah terbesar umat Islam” untuk bangsa Indonesia, kelanjutan lang- sung dari argumen ini adalah menjadi kewajiban umat Islam un- tuk mengisi dan merawat Pencasila itu agar ia hadir dalam kebu- tuhan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebagai sebuah lokus dari mana prinsip moral dituangkan, maka Pancasila harus diberi spirit dan moral Islam. Sebab, peru- musan dan persetujuan dari Pancasila itu tidak lepas dari buah tangan para tokoh-tokoh agama Islam yang ikut berjuang mem- bangun dan memerdekakan negeri ini. Selama ini telah banyak substansi-substansi keislaman yang telah masuk dalam tata pe- merintahan, sebagai contoh antara lain adalah Penetapan Un- dang-Undang tentang Perkawinan, Penetapan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Penetapan Undang-Undang tentang Haji, Penetapan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, Penetapan Undang-Undang tentang Wakaf, dan lain sebagainya. Itu semua adalah ajaran-ajaran pokok Islam yang telah masuk dan menjadi bagian dari undang- undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, ke depan yang perlu kita pikirkan adalah bagai- mana menjadikan negeri ini sebagai sebuh negeri yang bersih dan berwibawa serta bebas dari perilaku-perilaku kejahatan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal-hal seperti ini merupakan substansi dari ajaran Islam, sekalipun negeri ini tidak disebut secara formal menerapkan syariat Islam, tetapi secara substansial sebenarnya negeri ini telah menjadi “negara Islam,” apalagi mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Agar sistem hukum Islam dapat lebih mudah diadopsi atau dimasukkan dalam sistem Hukum Nasional, maka sistem hukum Islam harus lebih fleksibel, sehingga lebih mudah diterima oleh para pakar hukum dan pembuat hukum. Sebab kalau tidak, maka mereka secara otomatis akan menolaknya. Hukum Islam sebenarnya sangat fleksibel, sebab ada teori ushul fiqh yang menyatakan bahwa, “Taghayyuru al-ahkâm bi at-taghayyuri al- azmâni wa al-amkâni––Hukum dapat berubah seiring dengan per- ubahan ruang dan waktu.”

Syariat Modern

Al-Thûfi, salah seorang pakar ushul fiqh, menggunakan teori maslahah al-mursalah dalam penetapan hukum Islam. Al-Thûfi bahkan berpendapat, jika nash yang qath’i bertentangan dengan kemaslahatan umat, maka nash yang qath’i itu tidak boleh dite- rapkan dan diganti dengan hukum yang mendatangkan kemas- lahatan umat, dengan alasan bahwa hukum Islam itu tujuan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat. Ketika suatu hukum tidak sesuai dengan kemaslahatan umat, maka ia harus diganti dengan hukum yang mendatangkan kemaslahatan umat.

Adalah Umar bin Khattab, Khulafaurrasyidin kedua yang paling banyak menggunakan fleksibelitas hukum Islam ini di masa pemerintahannya. Dan ini mendapat dukungan dari para pembesar sahabat yang saat itu berdiam di Kota Madinah, seba- gai pusat pemerintahan Islam. Jika apa yang dilakukan oleh sang Khalifah Umar bin Khattab itu salah, dapat dipastikan akan men- dapatkan perlawanan dari para sahabat utama, apalagi mereka itu adalah pakar hukum Islam, menerima penjelasan langsung dari Nabi saw tentang hukum Islam. Bahkan, mereka bertanya langsung kepada Nabi Muhammad saw tentang masalah- masalah aktual sehari-hari yang dihadapi umat Islam.

Umar bin Khattab, misalnya menghapuskan golongan muallaf sebagai salah satu golongan penerima zakat yang telah diatur secara khusus oleh Allah swt dalam al-Qur’an. Umar bin Khattab berpendapat, bahwa asnaf mu’allaf ini diperlukan ketika umat Islam masih lemah. Manakala umat Islam sudah kuat, maka asnaf mu’allaf ini tidak diperlukan lagi. Dalam hal ini, Umar tidak menerapkan nash yang bersifat qath’i.

Hal lain yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah Umar tidak bersedia menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri di musim paceklik, padahal nyata-nyata dalam al-Qur’an dise- butkan hukuman potong tangan bagi pencuri, tanpa penge- cualian, baik tempat, masa maupun waktu. Namun kenyataan- nya, Umar tidak menerapkannya. Hal ini dengan alasan bahwa pencuri itu melakukan kegiatan mencuri karena ia lapar, situasi sedang paceklik maka tak manusiawi kalau dihukum.

Selain penggunaan felksibelitas hukum Islam, hal lain yang perlu dipikirkan ke depan oleh para ulama dan praktisi hukum Islam adalah penetapan hukum nasional yang diambil dari substansi ajaran Islam, tanpa menyebutnya sebagai hukum Islam atau Undang-Undang Syari’ah. Sebagai contoh adalah penetapan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi. Undang-Undang ini sebenarnya adalah salah satu substansi ajaran Islam, namun tidak menyebutkan sebagai hukum Islam ataupun Undang-Undang Syari’ah. Hal yang sama juga berlaku bagi Undang-Undang Anti Korupsi. Pemberantasan korupsi adalah penerapan atas substansi dari hukum Islam. Namun, tidak perlu disebut sebagai hukum Islam atau Undang-Undang Syari’ah.

Oleh karena itu, hendaknya pengajuan rencana penetapan undang-undang yang terkait dengan substansiasi hukum Islam, dikoordinasikan dengan fraksi-fraksi lain di lembaga legislative, sehingga tidak menimbulkan antipati dari fraksi lain atau bahkan menjadi kontra produktif. Alangkah baiknya, jika pengajuan RUU ini tidak diajukan secara langsung oleh partai Islam atau partai yang konstituennya mayoritas umat Islam, sehingga tidak menim- bulkan kecurigaan dari pihak lain. Namun jika hal ini tidak bisa dilakukan, maka pengajuannya tetap dapat dilakukan oleh partai Islam atau partai berbasis massa Islam, karena pada hakikatnya kehadiran hukum Islam untuk kemasalahatan bersama.

Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, dalam fo- rum Indonesia Lawsyer Club, mengatakan bahwa jika bangsa ini ingin menghabisi korupsi, kolusi, dan nepotisme, pertama-tama yang harus dibangun adalah sistem hukum yang kuat. Jika dahulu umat Islam menghukum pencuri dengan potong tangan, kini tugas “potong tangan” itu dibebankan kepada sistem. Bangunan sistem hukum yang kuat membuat siapa pun orangnya, sekuat apa pun dia, tak tersedia celah untuk berani mencuri uang rakyat. Tangannya seakan terpotong untuk melakukan kejahatan. Inilah sejatinya makna ‘penerapan hukum Islam secara modern.’

Indonesia Cita

Indonesia yang kita cita-citakan adalah nilai-nilai Islam men- jadi nilai-nilai bersama di tengah masyarakat. Kelanjutan logisnya adalah bangsa ini membutuhkan masyarakat Islam bukan negara Islam. Para pakar sudah mengajukan berbagai dalil mengapa pilihan kita jatuh pada masyarakat Islam bukan negara Islam, dikarenakan pluralitas masyarakat di negeri ini yang menjadi dasar argumen pilihan itu. Memaksakan kehendak pada sebuah komunitas plural adalah bertentangan secara fundamental dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.

Islam, dalam kondisi sulit, dianjurkan mengutamakan substansi daripada format, isi daripada bentuk. Karena memang tidak semua cita-cita mulia itu terwujud sesuai dengan keinginan. Bahkan, Islam menegaskan bahwa sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah (moderat): tidak ekstrem kiri tidak juga eks- trem kanan. Maka, pilihan masyarakat Islam adalah pilihan paling moderat dari sekian pilihan yang tersedia agar bangsa ini tidak jatuh menjadi negara ekstrem: kanan ataupun kiri. Pilihan ekstrem adalah bukan ajaran Islam.

Berbagai teori dalam Islam menjelaskan kepada kita bahwa beragama itu sesuai dengan batas kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang. Konsekuensi dari jalan pikiran seperti ini adalah Islam tidak pernah memaksa setiap umatnya untuk mewujudkan semua perintah-Nya sebagaimana cetak biru yang tertuang secara eksplisit di dalam Kitab-Nya. Agama ini memberikan toleransi moral yang amat luas kepada hamba-Nya untuk memilih berbagai kemungkinan terbaik agar mereka tidak jatuh ke dalam situasi beragama secara sempit. Bukankah Nabi saw menegaskan dia hadir di muka bumi dengan membawa agama yang lapang lagi mudah? Islam yang lapang menjadi rahmat buat Indonesia yang kita impikan.

Wallahu a’lam.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.