metrouniv.ac.id – 21/10/2024 – 18 Robilul Awal 1446 H
Dr. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A. (Kepala Biro AUAK IAIN Metro)
Perintah membaca merupakan ajaran agama yang pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad saw kepada umatnya. Perintah membaca adalah ayat pertama dari wahyu pertama.
Perintah membaca adalah pelantikan Muhammad saw sebagai seorang nabi dan rasul utusan Allah. Dengan membaca umat Islam akan dapat melaksanakan ajaran agama Islam dengan baik dan benar. Dengan perintah membaca pula, umat Islam dan bahkan umat manusia pada umumnya, akan memperoleh ilmu pengetahuan. Dan dengan ilmu pengetahuan, umat manusia akan mendapatkan kebahagiaan, baik kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan di akhirat.
Dalam berbagai literatur keagamaan disebutkan bahwa pilihan pada ilmu jauh lebih mulia daripada harta, karena ilmu menjaga pemiliknya sedangkan harta dijaga oleh pemilik itu sendiri. Memiliki harta membuat sang pemilik tidak bisa tidur nyenyak karena selalu dibayang-bayangi ketakutan. Takut kalau-kalau hartanya hilang dicuri orang. Sebaliknya, memiliki ilmu justru membuat sang pemilik dilindungi dari kesulitan hidup.
Tradisi Membaca dan Memaknai
Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya baca bangsa Indonesia termasuk dalam kategori yang paling rendah di dunia, bahkan di Asia. Rendahnya budaya baca ini, bukan hanya pada masyarakat umum, tetapi juga pada guru, dosen, siswa dan mahasiswa. Pada merekalah budaya baca dititipkan. Karena mereka inilah kelak menjadi sumber ilmu di tengah masyarakat. Kegemaran membaca dan memaknai hasil bacaan, paling pertama dan utama, mestinya ada pada mereka ini. Namun sayang sekali, kenyataan yang kita dapati, terkadang seorang guru atau dosen membaca kurang dari satu jam per hari, padahal guru atau dosen itulah orang yang diberikan amanah untuk melakukan transformasi ilmu kepada siswa atau mahasiswa setiap hari.
Ki Supriyoko, menyebutkan bahwa World Bank di dalam salah satu laporan pendidikannya, Education ini Indonesia – From Cri- sis to Recovery (1998) melukiskan begitu rendahnya kemampuan membaca anak-anak Indonesia. Dengan mengutip hasil study dari Vincent Greanary, dilukiskan siwa-siswi kelas enam SD Indo- nesia dengan nilai 51,7 berada di urutan paling akhir setelah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0), dan Hongkong (75,5). Dengan mengemukakan data ini, dimaksudkan untuk memerlihatkan kemampuan membaca siswa kita memang pal- ing buruk dibandingkan dengan negara lain.
Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta, menyebutkan bahwa kebiasaan membaca yang kurang baik itu, dapat dilihat dari jumlah buku-buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 buku baru setiap tahun, Vietnam 45.000 judul buku tiap tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul buku setiap tahunnya. Jumlah judul buku baru yang demikian itu, menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih tergolong sangat rendah.
Fakta lainnya, dapat dilihat pada tingkat kunjungan perpustakaan, baik di perguruan tinggi maupun di sekolah/madrasah. Siswa dan mahasiswa lebih senang duduk-duduk di bawah pokon kayu di kampus/sekolahnya, ketimbang harus masuk perpustakaan membaca buku. Kalaupun mereka masuk per- pustakaan, kebanyakan di antaranya hanyalah membaca koran dan bukan membaca buku-buku referensi utama yang kelak dijadikan bahan dalam penulisan karya ilmiahnya.
Fakta-fakta yang ditemukan di atas, menunjukkan kepada kita bahwa minat, tradisi, dan budaya baca bangsa kita berada di bawah rata-rata, bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Padahal, salah satu indikator untuk menilai kualitas suatu bangsa adalah seberapa besar tradisi dan budaya bangsa itu dalam hal membaca. Sebab, membaca merupakan kunci utama untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan membaca, maka akan mendapatkan ilmu pengetahuan. Francis Bacon menyatakan, ilmu pengetahuan adalah kekuatan, siapa pun pelaku dan pemiliknya.
Sejarah mencatat, bahwa Fir’aun seorang manusia besar yang namanya diabadikan dalam sejarah. Ternyata, kekuasaannya dibangun tidak semata-mata ditopang oleh kekuatan militer, tetapi juga dengan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah disebutkan, pada saat Fir’aun berkuasa, dia memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sejumlah 20.000 judul buku.
Seperti disebutkan di muka, membaca adalah perintah per- tama yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Perintah membaca ini adalah sekaligus pengangkatan dirinya sebagai seorang nabi dan rasul utusan Allah. Ayat yang pertama kali turun tersebut adalah surat al-Alaq ayat 1-5. Ayat pertama ini mengandung perintah membaca untuk mencerdaskan diri. Membaca dengan mata, membaca dengan pikiran, membaca dengan hati. Perintah untuk mencerdaskan diri melalui iman, ilmu dan amal, harus dimulai dengan membaca. Membaca haruslah menjadi budaya bagi umat Islam, sebab perintah pertama yang dititahkan Allah swt kepada Muhammad saw adalah perintah membaca, baik membaca yang tersurat maupun yang tersirat. Membaca secara eksplisit tentu apa yang tertuang di dalam Kalam Allah (ayat qauliyah), maupun membaca secara inplisit melalui alam raya (ayat qauniyah).
Suatu hal yang sangat menarik adalah di dalam ayat ini kata- kata iqra’ atau perintah membaca terdapat pengulangan. Hal ini memberikan isyarat kepada kita bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali dengan mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai batas maksimal kemam- puan, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi rabbika (dengan nama Tuhanmu) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca adalah itu-itu juga. Mengulang-ulang membaca al-Qur’an akan menambah wawasan baru, mensucikan jiwa, menerangkan bathin dan bahkan menambah pemahaman baru sekalipun yang dibaca adalah itu-itu juga, membaca alam raya secara berulang-ulang akan mambuka tabir rahasia alam semesta, menambah perkembangan ilmu pengetahuan dan bahkan menambah kesejahteraan ummat manusia.
Al-Qur’an yang dibaca oleh Rasulullah saw beserta sahabat- sahabatnya pada masanya dan al-Qur’an yang dibaca oleh umat Islam sesudahnya dan bahkan sampai dengan saat sekarang ini adalah al-Qur’an yang itu-itu juga yang tidak mengalami perubahan walau satu huruf sekalipun, tetapi pemahaman dan penafsiran orang terhadap al-Qur’an itu mengalami perkembangan yang luar biasa dari zaman Rasulullah saw sampai dengan saat ini. Hal ini sama dengan membaca alam raya yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu kala dengan yang dilakukan oleh orang-orang zaman modern, yang dibaca tetaplah alam raya yang itu-itu juga, tetapi hasil dari pembacaan itu mengalami perkembangan yang sangat luar biasa sebagaimana yang kita saksikan pada zaman modern saat ini.
Perintah membaca telah direalisasikan dengan penuh kesadaran oleh oleh para sahabat dan generasi sesudahnya. Akibatnya kita menyaksikan peradaban Islam menjadi sokoguru peradaban dunia yang menguasai dua pertiga jagat ini. Peletak dasar ilmu- ilmu yang ada sekarang lahir dari tangan-tangan para ulama yang memiliki kegilaan dalam membaca. Para ulama adalah orang- orang yang sangat mencintai buku-buku. Mereka memiliki hubungan yang kuat dengan buku. Mereka senang sekali me- nelaahnya, karena menganggap buku sebagai gudang dan sumber ilmu pengetahuan.
Tradisi Menulis dan Meneliti
Lebih parah lagi adalah tradisi menulis dan meneliti. Tetapi sejarah mencatat bahwa rupanya tradisi membaca di kalangan kaum Muslimin di masa lalu boleh dikata sangat tinggi, di sam- ping tradisi menulis dan meneliti. Di antara sekian banyak ulama yang memiliki kegilaan terhadap membaca sekaligus menulis dan meneliti adalah Al-Jahizh. Ulama ini, meskipun tidak setenar al- Ghazali tetapi jika sedang memegang buku apa saja, maka ia akan membacanya sampai tuntas. Hal yang sama dilakukan oleh al-Ghazali maupun al-Fathu. Al-Fathu misalnya, suka menyelipkan buku di khuf (sepatunya). Dan ketika berdiri meninggalkan khalifah al-Mutawakkil untuk keperluan buang air kecil atau untuk shalat, ia keluarkan kitabnya lalu ia baca sambil berjalan hingga tiba ke tempat yang di tujunya. Ketika pulangnya, ia melakukan hal yang sama sampai tiba di tempat semula.
Ulama lain yang mengikuti tradisi orang-orang hebat di atas adalah Ismail bin Ishaq, setiap saat dia pasti memegang buku dan membacanya, atau sekedar membolak-baliknya untuk men- cari informasi perihal kitab-kitab baru. Tradisi orang-orang seperti ini tumbuh karena kebiasaan pribadi dan keluarga.
Abu Bakar al-Khayyath al-Nahwi, misalnya, menggunakan seluruh waktunya untuk belajar termasuk ketika ia dalam perjalanan. Belajar yang dimaksudkan di sini, sebagaimana tradisi kaum intelektual Islam tempo dulu, tidak saja membaca dan me- maknai, tetapi juga menulis dan meneliti. Hasil bacaan dan mak- naan terhadap isi buku tertentu, lalu ditransformasikan ke dalam bentuk tulisan dengan penelitian yang seksama dan akurat. Akibat hobinya yang kelewat serius di jalan, al-Nahwi pernah jatuh ke lereng bukit lalu diinjak oleh binatang. Cerita semacam ini tidak saja terjadi pada al-Nahwi tetapi juga para ulama terke- muka lainnya di dunia Islam. Mereka itu memiliki tradisi “gila” membaca, memaknai, menulis, dan meneliti, termasuk mengo- leksi buku-buku untuk perpustakaan pribadi mereka. Sebuah tradisi yang kini menghilang entah ke mana.
Upaya mengembalikan tradisi membaca, memaknai, apalagi menulis dan meneliti di tengah masyarakat, paling utama adalah perlu dilakukan dari keluarga dan sekolah. Para orang tua harus mampu menciptakan dan merangsang kesadaran anak-anaknya untuk banyak membaca di rumah. Memberikan contoh dalam bentuk mendirikan perpustakaan mini di rumah dan atau membawa mereka ke toko-toko buku, adalah salah satu upaya efektif untuk menanamkan naluri gemar membaca, memaknai, menulis, dan meneliti. Kenyataan menunjukkan, bahwa saat ini hanya sebagian kecil rumah yang mempunyai perpustakaan dan sebagian besar para orang tua lebih banyak membawa anaknya ke mall ketimbang ke perpustakaan.
Sementara itu, di sekolah para guru bisa melakukan pembelajaran bagi anak didiknya untuk sering dan betah berada di perpustakaan. Para guru di sekolah, harus dapat mencari strategi baru dan jurus-jurus jitu, sehingga anak-anak didik lebih betah berada di perpustakaan dan membaca buku, ketimbang harus ngobrol tak menentu di luar. Sekolah dapat menempuh beberapa cara, seperti melakukan ekspose buku-buku baru secara berkala dan berjenjang yang disesuaikan dengan tema dan subjek yang dipelajari.
Selain itu, memberikan reward bagi peserta didik yang pa- ling banyak ke perpustakaan. Hal ini dibuktikan dengan daftar hadir kunjungan perpustakaan dan banyaknya buku yang di- baca. Untuk menguji buku yang dibaca, dapat dilakukan dengan cara menguji atau menanyakan kepada yang bersangkutan isi dan kandungan buku yang dibaca. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan memperbanyak pemberian tugas menulis, atau lomba menulis artikel yang bahan-bahan utamanya diambil dari per- pustakaan. Atau dapat juga dilakukan dengan pemberian tugas penelitian atas buku tertentu yang ada di perpustakaan.
Namun demikian, paling penting adalah menanamkan tradisi membaca, menulis, dan meneliti dalam diri masing-masing or- ang. Sebab, kesadaran yang tinggi dari seseorang untuk membaca, menulis, dan meneliti, memudahkan orang itu untuk mendapat- kan berbagai ilmu yang tersedia di berbagai literatur dunia.Prinsip membaca, menulis, dan meneliti, tidak boleh memandang dari mana ilmu itu datang tetapi bagaimana memanfaatkan ilmu itu untuk kebaikan umat. Sepanjang ia mengandung nilai-nilai ke- benaran dan kebaikan, maka dia harus diterima sebagai milik umat Islam yang hilang.
Wallahu a’lam.