socio
eco-techno
preneurship

JUM’AT BERSIH : LANGKAH KECIL DARI HALAMAN SENDIRI

IMG-20250704-WA0037(1)

Oleh :

Suhendi

 

Yang dibutuhkan dunia saat ini bukan lebih banyak orang sukses, tapi lebih banyak pendamai, penyembuh, perawat, penutur kebaikan, dan pecinta dalam berbagai wujud.

Orang-orang yang tahu cara hidup dengan baik di tempatnya, dan cukup berani untuk merawat dunia agar tetap
layak dihuni. Dan semua itu, nyaris tak ada hubungannya dengan definisi sukses yang kita kenal selama ini.”
David W. Orr

Kemarin, 3 Juli, kalender dunia mencatatnya sebagai International Plastic Bag Free Day. Tapi pagi ini, kita masih membungkus sarapan dalam plastik bening. Di kelas, di pasar, di
jalan. Bahkan untuk benda yang hanya digunakan lima menit, kita tetap memilih kemasan plastik yang akan mengendap seratus tahun lebih di tanah.
Masalahnya mungkin bukan sekadar pada plastik. Tapi pada kita yang terbiasa membungkus segalanya: benda, waktu, bahkan perasaan. Lalu membuangnya setelah dianggap tak lagi berguna.


Hari Tanpa Plastik bukanlah seruan besar. Ia hanya sebuah pertanyaan pelan: sampai kapan kita mengukur kemajuan dari seberapa banyak yang bisa kita pakai dan buang?
Plastik, pada akhirnya, bukan hanya soal limbah. Ia adalah cermin dari gaya hidup kita: ingin cepat, bersih, murah, dan instan. Kita membungkus makanan agar tetap steril, tapi tangan kita sendiri lupa belajar mencuci. Kita membungkus barang dengan rapi, tapi pikiran kita tak sempat merenung ulang cara hidup kita yang berlebihan.
Namun, tak semua harus dimulai dari hal besar. Kesadaran ekologis sering kali tumbuh dari kebiasaan kecil yang konsisten. Dari plastik yang diselipkan ke saku karena belum menemukan tempat sampah. Dari kantong belanja yang dipakai ulang meski warnanya hampir pudar. Dari pilihan-pilihan sunyi yang tak menuntut pujian.


Dan pagi ini, di halaman kampus UIN Jurai Siwo Lampung, sejumlah dosen dan tenaga kependidikan berkumpul dalam senyap. Tidak ada seremoni. Tapi tangan-tangan mereka tampak sibuk: mengangkat ranting, menyapu dedaunan, dan memungut sampah plastik yang terselip di antara rerumputan. Aroma tanah yang basah sehabis hujan kemarin menyatu dengan napas yang pelan, seakan kampus sedang mengambil jeda dari rutinitasnya yang padat.

Orang menyebutnya Jumat Bersih. Tapi bagi kita semua di kampus, ini lebih dari sekadar kerja bakti. Ia adalah pengingat diam-diam bahwa keberlanjutan tidak tumbuh dari ceramah. Tapi dari ketelatenan merawat. Dari tubuh yang hadir. Dari niat yang jujur untuk membuat tempat ini lebih layak dan sehat ditinggali.
David W. Orr mengingatkan: planet ini tidak membutuhkan lebih banyak orang sukses. Ia membutuhkan para penyembuh dan pemulih. Orang-orang yang tahu caranya tinggal dengan baik di tempatnya berpijak. Yang tidak hanya mengeluh tentang sampah, tapi diam-diam mulai memilah. Yang membersihkan tanpa disuruh, mencintai tanah tanpa harus diunggah.

Hari Tanpa Plastik menjadi pengingat penting. Namun yang jauh lebih bermakna adalah kebiasaan kecil yang terus dirawat setiap hari. Dan Jumat pagi ini, kampus kita sedang menenun harapan baru: bahwa cinta pada bumi bisa dimulai dari halaman sendiri. Pelan, tapi pasti. Sebab pada akhirnya, kita tidak sedang membersihkan halaman. Kita sedang mengkonstruksi ulang cara kita melihat dunia yang membutuhkan langkah kecil dari kita semua.
Kita sering bicara tentang perubahan. Tapi lupa, bahwa perubahan tak selalu berbunyi. Ia tumbuh dari kebiasaan yang dijalani diam-diam. Dari kesadaran sunyi. Dari tangantangan yang tak ingin bumi ini kehilangan napasnya hanya karena kita ingin segalanya serba praktis.
Dari rumah kecil bernama kampus inilah, kesadaran ekologis bisa kita tumbuhkan untuk hidup subur. Bukan dari seminar-seminar, melainkan dari gerakan menyapu, memilah, menanam, dan membiarkan daun-daun tumbuh sebagaimana mestinya.

Sebab bumi bukan hanya lingkungan global yang jauh. Ia dimulai dari selokan kecil yang tidak mampet. Dari halaman yang tak penuh sampah. Dari plastik yang tidak dibuang sembarangan.
Merawat kampus, pada akhirnya, adalah bagian dari merawat bumi. Karena keduanya adalah ruang bersama. Dan seperti kata David W. Orr: dunia ini tak butuh lebih banyak orang sukses. Tapi membutuhkan lebih banyak orang yang hadir; dengan tangan terbuka dan hati yang tahu di mana letak tanahnya.
Mungkin di situlah benih visi yang kita butuhkan hari ini: bukan sekadar visi kompetitif, tapi visi yang menyatukan spirit socio dengan eco. Sebuah cara pandang yang tidak memisahkan manusia dari bumi, tidak memisahkan akademisi dari akar tanah yang diinjaknya.


Kita saat ini hidup di tengah krisis yang tak hanya ekologis, tapi juga krisis keterhubungan. Ruang bersama menjadi semakin abstrak. Kita menyapa lewat gawai, tapi lupa menyapu lantai bersama. Kita bicara tentang dunia, tapi tak sempat merawat halaman milik kita sendiri.


Padahal, ekoteologi bisa lahir dari sapu. Dari daun yang jatuh. Dari air yang mengalir tanpa dipaksa. Dalam ekoteologi, kesucian bukan hanya ada di langit, tapi juga di tanah yang dibersihkan dengan tangan sendiri. Merawat bumi, dalam logika itu, adalah juga merawat kebersamaan kita kepada Ilahi.

Dan jika kampus adalah bagian dari bumi, maka kerja bakti adalah sebuah laku nyata. Ia adalah doa. Ia adalah liturgi diam dari orang-orang biasa. Yang tak perlu disebut namanya. Tapi tahu arah sunyi yang harus dituju.
Yang lebih penting dari semua itu: semoga masih ada yang percaya, bahwa sunyi pun bisa menjadi bentuk paling utuh dari ungkapan cinta.

(Hdy-04072025)

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.