Oleh : Dedi Irwansyah
Mereka yang aku kritik, tidaklah lebih buruk dari Fir’aun. Aku sang pengkritik, tidaklah lebih baik dari Musa, a.s.
(Pengingat untuk diri sendiri)
Margot menyeruput kopinya. Jari-jarinya terlihat mengetik panjang. “Salam. What’s up bro? Mataku sukar terpejam. Pekat malam ini memaksaku ber-tafakkur. Aku seperti melintasi angkasa imaji yang sunyi. Perlahan tetapi pasti, awan seperti berarak merajut wajah Mr. Gardner, Ketua Program Studi kita itu. Masih ingatkah engkau Bro? Rapat terbuka di Ruang 302? Kita berdua menjadi bintang cemerlang karena kritik tajam yang kita lontarkan menyusul kebijakan baru yang beliau buat. Kita sajikan realita. Kita paparkan fakta. Kita tunjukkan gap antara what it should be dan what it is. Kita bangun premis logis dan menarik konklusi solid yang membuat Mr. Gardner bungkam. Kau ingat? Kata-kata kita tajam menghujam. Orasi kita mendekati anarkis. Beliau hanya mampu menghela nafas Panjang. Kita menang. Semua rekan menyaluti keberanian kita. Memuji daya kritis dan daya ledak yang kita pertontonkan. Honestly, untuk beberapa waktu, kejadian itu menjadi memori indah masa kuliah. Namun, akhir-akhir ini, memori itu menemukan antitesis-nya. Bila kau ada waktu, kita mesti sowan ke Mr. Gardner.” Terkirim.
Tak butuh waktu lama. Balasan akrab tiba. “Wa’alaikumsalam Bro. Not bad. Sudah tua rupanya kita. Telah banyak pula fragmen kehidupan terlewati. Kupikir, kejadian di Ruang 302 itu lumrah adanya. Saat itu, kita masih muda, penuh amarah, dan merasa diri sebagai the oppressed, pihak yang tertindas dan teraniaya. Aku yakin Mr. Gardner memahami itu. Tapi okelah, aku setuju kita perlu sowan ke Mr. Gardner. Tapi, sebaiknya kau ceritakan dahulu antitesis itu!”
Margot tersenyum membaca balasan sahabat karibnya. “Sejak melampaui usia 40, aku punya kebiasaan baru. Aku mendengar ceramah-ceramah agama menjelang tidur. Ada ceramah seorang Tuan Guru tentang Surat at-Taha ayat 43-44. Beliau mengelaborasinya dengan cerita seorang ulama yang mendatangi penguasa. Sang ulama berkacak pinggang saat memasuki istana. Dengan intonasi tinggi, ia menyalah-nyalahkan sang penguasa di hadapan para menterinya. Ia gunakan kata-kata tajam-menghujam. Alih-alih berang, sang penguasa tersenyum, dan berkata: “Engkau tidaklah lebih baik dari Musa a.s., dan aku tidaklah lebih buruk dari Fir’aun. Kepada Musa, Allah perintahkan untuk berkata lemah lembut (qaulan layyinan) manakala akan menemui Fir’aun. Wahai ulama, aku tidak anti kritik. Aku siap menerima nasihat. Namun aku mohon, sampaikanlah dengan cara yang baik. Karena penyampaian kiritik secara qaulan layyinan adalah ajaran luhur agama kita.” Terkirim.
Balasan kedua tiba. “Let me guess! Engkau merasa seperti ulama dalam cerita itu, dan Kaprodi kita adalah sang penguasanya. Just kidding Bro. Membaca pesanmu, aku seperti menemukan akar dari pelajaran Public Relation saat kuliah dulu. Tentang prinsip 3M itu: Matter, Method, and Manner. Sesuatu yang kita sampaikan (matter), perlu disajikan dalam struktur bahasa yang baik (method), dan tata cara yang santun (manner). Juga tentang penerapan Sandwich Strategy saat menyampaikan kritik atau memberi feedback. Bahwa dalam memberi kritik, kita dapat memulainya dengan sesuatu yang positif yang ada pada diri orang yang sedang kita kritik (lapisan atas); lalu pada lapisan tengah, kita sampaikan saran yang logis, konstruktif, dan solutif; dan pada lapisan bawah, kita berikan dorongan atau pujian tulus kepada orang yang sedang kita kritik. Persis seperti struktur sandwich yang terdiri dari tiga lapis: lapisan atas (top bun), isi (the filling), dan lapisan bawah (bottom bun). Kira-kira begitu, iya gak Bro?”
Margot Kembali tersenyum dan membalas, “Engkau tidak berubah. Selalu mampu menghubungkan sebuah teks dengan teks lain secara logis dan menarik. Apa istilahnya? Connecting the dots? Intertextuality theory? Jika boleh aku simpulkan, konsep qaulan layyinan itu bisa dioperasionalkan melalui prinsip 3M dan Sandwich Strategy. Begitu kan Bro?”
“May be Yes, May be No Bro. Ada baiknya, kesimpulanmu itu kita diskusikan dengan Mr. Gardner. Siapa tahu hasil diskusinya nanti bisa membuat kita semakin sadar bahwa memberi kritik itu penting. Menerima kritik itu penting. Tapi, yang lebih penting adalah memberi dan menerima kritik secara qaulan layyinan. Wallahu a’lam.”