Oleh :
Wawan Trans Pujianto, M.Kom.I
(Sekretaris Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam)
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan idul adha dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. serta sebagai penghormatan terhadap kisah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. Ibadah kurban merupakan salah satu manifestasi spiritual yang sangat penting dalam Islam, karena mencerminkan nilai kepatuhan, pengorbanan, dan keikhlasan. Namun, lebih dari itu, ibadah kurban mengandung nilai-nilai sosial dan ekonomi yang sangat besar. Apabila potensi tersebut dimaksimalkan, kurban dapat menjadi instrumen strategis dalam upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan, miskin, dan marginal.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37). Ayat ini menegaskan bahwa esensi ibadah kurban tidak semata pada tindakan penyembelihan, tetapi terletak pada niat yang tulus dan ketakwaan yang menjadi dasarnya. Ketakwaan inilah yang seharusnya mendorong umat Islam untuk menjadikan kurban sebagai medium sosial yang berdampak luas. Melalui kurban, umat dapat menciptakan pemerataan distribusi pangan, memperkuat solidaritas sosial, serta mendorong terciptanya keadilan ekonomi di tengah masyarakat.
Selama ini, praktik kurban lebih sering direduksi menjadi aktivitas pembagian daging yang bersifat konsumtif dan sesaat. Daging dibagikan, dikonsumsi, dan kemudian selesai tanpa kesinambungan manfaat jangka panjang. Padahal, jika kurban dikelola dengan pendekatan strategis dan transformatif, maka dampaknya bisa jauh lebih luas dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan tersebut adalah integrasi kurban dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai bentuk inovasi sosial-ekonomi.
Pertama, pemberdayaan peternak kecil dapat menjadi pintu masuk penting. Mengambil hewan kurban dari peternak lokal di desa-desa akan membantu memperkuat ekonomi lokal. Ketika peternak kecil memperoleh pasar tetap melalui mekanisme kurban, mereka terdorong untuk meningkatkan kapasitas usaha dan memperbaiki kualitas ternaknya. Dengan demikian, kurban dapat berfungsi sebagai stimulus ekonomi bagi sektor peternakan rakyat.
Kedua, pelibatan komunitas dalam rantai pasok kurban juga menjadi strategi efektif. Mulai dari proses pemeliharaan hewan, pengangkutan, penyembelihan, hingga distribusi daging, masyarakat lokal dapat dilibatkan secara aktif. Hal ini tidak hanya membuka lapangan kerja musiman, tetapi juga memberikan pelatihan dan pengalaman dalam pengelolaan usaha sederhana berbasis komunitas.
Ketiga, pengolahan daging menjadi produk bernilai tambah juga perlu dikembangkan. Alih-alih membagikan daging dalam bentuk mentah, ia dapat diolah menjadi produk-produk seperti kornet, abon, atau rendang yang lebih tahan lama. Produk ini tidak hanya bisa digunakan untuk program ketahanan pangan, tetapi juga dapat dijual untuk mendukung program sosial lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, atau pengembangan komunitas.
Keempat, munculnya model kurban regeneratif memberikan perspektif baru dalam pelaksanaan kurban. Dalam model ini, penerima manfaat (mustahik) tidak hanya diberikan daging, tetapi juga dilatih keterampilan, diberikan akses permodalan, atau bahkan diberikan indukan ternak agar mereka dapat berproduksi sendiri. Tujuan akhirnya adalah menjadikan mustahik sebagai pelaku ekonomi produktif yang mandiri, bahkan bertransformasi menjadi mudhahi (pekurban) di masa depan.
Sudah saatnya umat Islam mengubah cara pandang terhadap kurban. Kurban tidak boleh berhenti pada level ritual formalitas atau seremoni tahunan. Ia harus bertransformasi menjadi gerakan sosial transformatif yang membangun kemandirian masyarakat. Ketika umat menyadari bahwa kurban adalah instrumen untuk mengangkat martabat kaum lemah, membangun kemandirian ekonomi, dan memperkuat kohesi sosial, maka ibadah ini akan menjadi sangat monumental dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Kurban yang bersifat transformatif menuntut manajemen dan desain program yang lebih sistemik. Diperlukan kolaborasi antara lembaga keagamaan, lembaga filantropi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah agar manfaat kurban dapat menjangkau aspek spiritual, sosial, dan ekonomi secara seimbang dan berkelanjutan.
—