“What doesn’t kill you makes you stronger.” (Friedrich Nietzsche)
metrouniv.ac.id – 2/01/2025 – 2 Rajab 1446 H
Prof. Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum. (Wakil Dekan 3 FUAD/Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN Metro)
Dari banyak kisah dan kesan tentang pesantren, lonceng jarang menjadi topik bahasan. Padahal, di pesantren-pesantren tertentu, lonceng adalah properti nan penting. Suaranya nyaris menemani setiap awal kegiatan penghuni pesantren. Ia bukan sekedar piranti pengingat waktu, tapi juga denyut nadi yang menjaga irama hari para santri. Sedari pagi-pagi buta, lonceng berdentang membelah fajar, membangunkan para pencari ilmu dari tidur malamnya, yang kerap terasa begitu singkat. Dentang lonceng yang membahana hingga ke seluruh penjuru asrama, juga menjadi isyarat bahwa lembar baru kehidupan, dengan seabrek kegiatan terjadwal, telah dimulai.
Lalu, sepanjang hari, lonceng akan didentangkan untuk menandai peralihan aktivitas, dari waktu ibadah ke waktu belajar; dari waktu mandi ke waktu makan; hingga ke waktu istirahat malam. Rasanya, jam tangan tidak begitu diperlukan, karena dentang lonceng telah menjadi penunjuk waktu yang nyaris tak pernah alpa. Lonceng seperti mercusuar di dunia pelayaran, yang memandu arah dan lokasi kapal. Mengikuti panduan mercusuar, kapal akan berlabuh dengan selamat. Mengikuti irama lonceng, santri akan lancar menjalani hari hingga waktu rehat tiba. Lonceng juga seperti genderang perang yang difungsikan oleh panglima untuk mengatur ritme dan strategi pertempuran. Mengikuti irama tabuhan genderang, berarti meningkatkan peluang untuk memenangkan perang. Pendek kata, chaos bisa saja terjadi jika lonceng tidak didentangkan.
Yang juga kerap luput dari pembahasan, adalah suasana batin dan pelajaran hidup di balik dentang irama lonceng. Betapa, misalnya, dentang lonceng pertama di pagi buta, bisa menimbulkan perasaan kurang nyaman (uneasy). Dentang pertama itu menyudahi tidur malam yang singkat; dan memunculkan proyeksi ragam tantangan (challenges) dan rintangan (hardships) yang akan dihadapi di hari itu. Serangkaian dentang berikutnya adalah penghantar kepada kegiatan-kegiatan yang membantu perkembangan individual (personal growth) santri; dan penghantar kepada serangkaian proses yang membentuk karakter santri (character building). Tingginya frekuensi dentangan lonceng menandakan padatnya kegiatan di pesantren. Dan ini melatih santri untuk memiliki ketahanan fisik (strength) yang kuat. Frekuensi dentangan yang tinggi juga menyiratkan banyaknya pelajaran dan lapisan kegiatan di asrama. Dan ini mempertebal agility santri, yaitu semacam kemampuan untuk berpikir-cepat dan bertindak-cerdas. Pasti, tidak semua lapisan kegiatan di pesantren itu mudah. Sehingga banyak kegiatan yang sukar di dalamnya, justru mengasah kemampuan santri untuk bertahan dalam situasi-sulit (resilience). Dan begitulah, ada peran dentang lonceng dalam personal growth, character building, resilience, agility, dan strength para santri untuk menghadapi challenges, hardships, dan kondisi yang uneasy. Sebuah peran yang seringkali hilang di dalam perbincangan.
Dan tentu saja, ada yang tidak mampu bertahan di pesantren. Ada yang keluar sebelum diwisuda. Bagi mereka yang mampu bertahan, mereka bisa bercerita tentang kebijaksanaan (wisdom) yang bersembunyi di balik dentang lonceng. Tentang betapa dentang lonceng pertama di pagi buta, bisa menghadirkan perasaan tak nyaman (uneasy feeling), dan dentang terakhir di malam hari, bisa memunculkan perasaan yang bahagia (happy feeling). Tentang betapa lonceng yang sama yang ditendentangkan pada waktu yang berbeda, bisa mendatangkan perasaan yang bertolak belakang.
Lonceng pesantren seperti mendentangkan pesan yang senada dari Nietzsche, filosof dari Jerman itu. Bahwa apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat. Bahwa apa yang tidak menghancurkanmu akan membuatmu bertumbuh lebih hebat. Bahwa jika dentang lonceng tidak melemahkan hamasah, ghairah, dan nakhwah para santri, maka dentang itu telah atau akan membuat mereka menjadi lebih kuat. Wallahu a’lam.