socio
eco-techno
preneurship

Membangun dari Desa

21IMG-20200501-WA0024

metrouniv.ac.id – Metro,Lampung

Tulisan : Wahyu Puji 

Mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah

FEBI IAIN Metro

Jika berbicara perihal kampung halaman, siapakah yang sebenarnya sedang merindu? Desa yang merindukan pemuda, atau pemuda yang merindukan desa?

Sudahlah, tak perlu lagi perdebatan siapa yang paling rindu sebenarnya, toh kita sendiri menyadari bagaimana dewasa ini kampung telah kehilangan orang mudanya, kehilangan para pemikirnya. Namun, apakah kemudian kita juga harus kehilagan rasa optimis, mengharapkan orang muda desa dapat menolak menjadi urban, lalu mau pulang ke kampung dan berkontribusi setelah lulus kuliah atau setelah mendapat pekerjaan dari kota?

Memang jamak kita ketahui, bagi sebagian orang muda, pulang dan tinggal di desa bukanlah sebuah keterpaksaan atau sama sekali tidak adanya sebuah harapan. Meskipun sebagian besar ada saja orang yang selalu menganggap remeh, bahwa hidup di desa artinya kita tidak bisa berkembang, kita akan ketinggalan. Tidak ada potensi yang bisa dimaksimalkan.

Namun, pernahkah kita berpikir, bahwa, justru karena ada sebagian dari mereka, orang-orang muda yang memilih dengan sadar untuk kembali dan menetap di desa ini, merekalah yang tentu memiliki keyakinan lebih bahwa hidup mereka akan lebih baik jika berada di desa. Sebab, dengan segala keramahan lingkungan yang ada, desa menyimpan potensinya dengan sedemikian apik. 

Barangkali tak sering orang menyadari, bahwa ada begitu babyak peluang dan potensi yang selama ini menganggur di desa. Seperti yang pernah disampaikan Dhandy Dwi Laksono pada kesempatannya membawakan materi seminar Ekonomi Biru di GSG IAIN Metro Lampung, Dandhy mengatakan bahwa, jangan-jangan karena orang desa terlalu nyaman dengan keramahan desa yang itu-itu saja, sehingga, kenyamanan itu membuat lupa bahwa harus ada rasa ingin tahu lagi, potensi apa yang kemudian bisa menunjang desa ke depan. Bagaimana agar hasil desa bisa lebih banyak di maksimalkan. Dengan begitu, mereka bisa berdaya memberdayakan melalui desa, hidup menghidupi desa.

Desa, sebenarnya mampu menjadi ruang kreatif yang dapat mempertemukan belasan bahkan puluhan orang muda progresif, orang muda yang awalnya memilih merantau lalu pulang dan berkontribusi untuk kampung halaman maupun yang sejak awal memang sudah menetap di desa. Mereka inilah yang kemudian akan menjadi cikal-bakal bagaimana sebagau pemuda bisa berkolaborasi dengan elemen-elemen penting dalam masyarakat seperti rumah ibadah, sekolah, pemerintah desa, tokoh adat, kelompok petani, penenun, pembatik, anak-anak hingga orang muda. Menjadi penggerak desa, pemuda yang tidak melupakan kampung halamannya.

Menjadi penggerak desa juga sebenarnya adalah telah menciptakan ruang di desa, menjadi penggerak tidak bisa sendiri, itu sebabnya ruang menjadi begitu penting, Karena di dalamnya penggerak bisa  berkumpul dan berkolaborasi, ada proses pertukaran pengetahuan dan inovasi di sana, agar rumusan 3P (Pengetahuan, Potensi, Penggerak) yang disampaikan oleh penggerak  Masyarakat dan Desa, Dharma Setyawan, dapat dicapai oleh pemuda desa.

Dengan masifnya pemuda desa tersebut, bukan tidak mungkin gerakan-gerakan kecil itu dapat melahirkan ekosistem warga aktif dan kreatif. Warga yang dibina sehingga bisa kreatif inilah yang akan menjadi model yang cocok untuk desa kembangkan melalui komunitas desa.

Komunitas desa ini sebenarnya bisa dimulai dari diadakannya perpustakaan warga, lokakarya menulis kreatif, teater, musik dan tari daerah setempat. Juga diskusi atau urun rembuk desa, nonton film yang mengusung isu lingkungan, bertani, berkebun, serta memaksimalkan ketrampilan menganyam atau membatik. Pelatihan pembuatan pupuk organik hingga produksi oleh-oleh khas desa masing-masing dari hasil pertanian dan resep yang merupakan kekayaan intelektual orang-orang desa yang tidak dapat lagi ditemukan di kota.

Komunitas desa juga dapat menempuh jalan bidang seni budaya dan literasi, menuju ke kewirausahaan sosial. Mengapa kewirausahaan sosial? Tantangan orang-orang desa hari ini bukan saja soal kesempatan dan akses untuk belajar dan mengembangkan diri, namun juga kesempatan dan akses ke lapangan pekerjaan hingga pasar yang lebih kuat. Banyak orang berhenti menenun, membatik, atau berhenti menjadi petani karena berbagai persoalan, mulai dari keterbatasan pengetahuan untuk mengelola pertanian untuk mendapatkan hasil yang baik, hingga ke masalah distribusi, pengelolaan dan pasar. Lewat platform pasar di internet, komunitas pemuda desa dapat mencoba memperbaiki tampilan dan nilai produk-produk lokal supaya bisa bersaing dan punya nilai ekonomi yang lebih baik lalu menjualnya di internet, selain pasar offline. Dalam hal ini ilmu berwirausaha tidak hanya datang dari ruang kosong, materi dan praktik harus ditanamkan dari bangku kuliah agar menciptakan bibit sumber daya Manusia yang unggul menghadapi perkembangan zaman. Harus ada bekal Enterpreneurship sejak dini, sejak memasuki bangku kuliah, tentunya kesuksesan tidak diraih secara insan, akan banyak tantangan, kegagalan dalam meraih keberhasilan yang hakiki

Dengan model kewirausahaan sosial, bukahkah sebenarnya warga desa sudah mulai diajak untuk mandiri, bertumbuh, dan berdaya bersama, hidup menghidupi. Keuntungan penjualan produk warga bisa disisihkan untuk diinvestasikan lagi sebagai pengembangan komunitas, ruang belajar ekonomi kreatif lewat berbagai lokakarya seni, budaya, literasi, pertanian dan kewirausahaan. Dengan demikian semua punya kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang. Model ini pula yang saya rasa memang cocok sebab tiap-tiap kegiatannya turut merepresentasikan kelompok perempuan, anak dan kaum muda, pihak yang salama ini terabaikan dalam pembangunan. Banyak sekali orang muda yang bergiat di desa jika memang pemerintah serius memberdayakannya, sebab sebagian pemuda desa sudah membuktikan itu. Bahwa perubahan itu ada dan nyata terjadi di desa.

Dalam hal ini ilmu berwirausaha tidak hanya datang dari ruang kosong, materi dan praktik harus ditanamkan dari bangku kuliah agar menciptakan bibit sumber daya Manusia yang unggul menghadapi perkembangan zaman, mulai dari manajemen, pemasaran, dan pengelolaan keuangan dalam berwirausaha. Harus ada bekal Enterpreneurship sejak dini, sejak memasuki bangku kuliah, tentunya kesuksesan tidak diraih secara instan, akan banyak tantangan serta kegagalan dalam meraih keberhasilan yang hakiki. Disinilah saatnya bagi pemuda-pemudi untuk berjuang, belajar bagaimana mengelola masalah menjadi peluang yaitu solusi dari keluhan/kebutuhan Masyarakat, pengalaman berharga akan dilalui oleh setiap pemuda yang bekerja keras kemudian dari pengalaman tersebut merekalah yang akan membagikan ilmu-ilmunya kepada Masyarakat desa sekitar agar kedepan pemerataan ekonomi sosial semakin baik dan jumlah enterpreneurship semakin banyak, semakin meningkat wirausaha semakin cepat mencapai Indonesia Maju, seperti yang disampaikan Muhammad Ryan Fahlevi Dosen Enterpreneurship FEBI IAIN Metro.

Pada akhirnya, pemerintah harus mulai menaruh perhatian lebih terhadap desa. Sebab, desa mengajarkan kita akan satu hal. Melahirkan sumber daya yang unggul demi untuk perubahan yang lebih baik, dapat dimulai dari hal paling kecil dan paling dekat.

(Wahyu Puji Astuti)

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.