metrouniv.ac.id – 18/04/2025 – 19 Syawal 1446 H
Dr. Buyung Syukron, S.Ag. SS., MA. (Ketua Lembaga Penjaminan Mutu/Dosen PAI IAIN Metro)
Naratif-Reflektif
Dalam dunia atau organisasi apapun bentuknya termasuk dunia/organisasi akademik, dunia ini seringkali digambarkan seperti sebuah perpustakaan raksasa—sunyi, teratur, dan dipenuhi buku-buku yang menunggu dibaca. Tapi sejatinya, ia lebih menyerupai sebuah tenunan besar, di mana setiap individu adalah benang yang punya warna, arah, dan kekuatan masing-masing. Akan tetapi, dalam derasnya arus kompetisi dan individualisme, benang-benang ini sering berjalan sendiri-sendiri, tercerai, bahkan saling menegangkan satu sama lain hingga mudah putus. Dengan bahasa filosofis, dunia akademik bagaikan kain tenun yang tersusun dari benang-benang pengetahuan, semangat, dan kebersamaan. Namun, jika benang itu hanya berjalan sendiri tanpa simpul pengertian dan empati, mustahil tercipta sebuah pola yang utuh. Maka, mari kita rajut ulang simpul-simpul itu—dengan kesadaran, kepekaan, dan kehendak untuk tumbuh bersama. Hiruk pikuk aktivitas akademik yang penuh dengan target, angka, dan pencapaian, terkadang mengabaikan bahkan menjadikan kita lupa untuk sejenak berhenti dan merenung. Berhenti dan mernung sejenak untuk melakukan sebuah refleksi dan langkah awal untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar prestasi individu, kebersamaan. Menurut asumsi penulis, dunia akademik tidak semestinya hanya menjadi tempat kompetisi, tetapi juga ruang kolaborasi, dialog, dan saling menguatkan sebagai upaya membangun tujuan besar yang ingin dicapai dari eksistensi dunia akademik itu sendiri. Dunia akademik sejatinya dibangun bukan hanya dari prestasi individu, melainkan juga dari jalinan relasi yang saling menguatkan. Inilah saatnya kita berhenti sejenak, merenung, dan mulai merajut kembali kebersamaan tersebut. Sering kali, atmosfer akademik tercipta sebagai arena lomba tentang siapa yang tercepat, tentang siapa yang terbanyak, siapa yang meraih penghargaan tertinggi. Tak salah memang, karena pencapaian adalah bagian dari proses tumbuh. Namun, ketika ambisi tidak diimbangi dengan empati, maka yang tumbuh bukan hanya prestasi, tapi juga tembok pemisah antar individu. Dalam refleksi itulah menurut penulis, kita perlu bertanya: apakah capaian akademik yang kita kejar sudah cukup membuat kita menjadi manusia yang berempati? Atau justru menjauhkan kita dari esensi pendidikan itu sendiri: membentuk manusia yang berpikir, berperasaan, dan peduli? Perlu kita ingat sebagai insan akademik sekaligus akademisi, bahwa di balik data ada wajah, di balik teori ada realita, dan di balik jurnal ada jiwa-jiwa yang terdampak.
Menyulam Empati di Antara Tumpukan Referensi
Ilmu pengetahuan menuntut ketepatan, kerangka berpikir yang runtut, dan pijakan pada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Kita diajarkan berpikir kritis, menganalisis data, menguji hipotesis. Namun, dalam proses itu, ada satu hal yang kerap tertinggal: rasa. Empati, sebagai wujud paling dasar dari hubungan antarmanusia, sering kali tergeser oleh keinginan untuk “benar” dan “lebih unggul”. Padahal, referensi tak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari pengalaman hidup, dari perenungan para pemikir yang juga manusia yang pernah gagal, merasa bingung, dan bertanya. Maka menyulam empati di tengah tumpukan referensi bukanlah kontradiksi, melainkan penyempurnaan. Ia adalah pengingat bahwa di balik data ada wajah, di balik teori ada realita, dan di balik jurnal ada jiwa-jiwa yang terdampak. Disini makna hakiki yang sebenarnya referensi dan konteks dan kacamata dunia akademik sebagaimana yang penulis sampaikan di atas. Pada dunia akademik, kita sering tenggelam dalam samudra referensi, barisan kutipan, dan logika yang tertata rapi. Kita belajar menyusun argumen dengan presisi, mengkritisi gagasan dengan cermat, dan menilai kebenaran berdasarkan metodologi. Namun di tengah kepiawaian itu, ada sesuatu yang perlahan memudar empati. Kita cenderung lupa makna hakiki dari “referensi” itu sebenarnya dalam ruang lingkup dunia akademik. Kita ketahui bersama bahwa dunia akademik memang sedikit memiliki diferensiasi bila dikomparasikan dengan dunia/organisasi lainnya. Mahasiswa, dan dosen, hingga tenaga kependidikan semuanya adalah bagian dari ekosistem yang saling berkaitan. Jika satu elemen mengalami tekanan, maka yang lain pun akan terdampak. Maka penting untuk menghadirkan ruang-ruang kebersamaan: tempat berdiskusi tanpa rasa takut, saling mengingatkan tanpa menghakimi, dan saling membantu tanpa pamrih. Empati dan solidaritas akademik wajib hadir tidak hanya hadir dalam seminar atau forum ilmiah semata, dia harus hadir “sampai pada batas yang tak berbatas”. Dunia akademik kampus harus menjadi tempat dimana tumbuh dan berkembangnya “laboratorium kebhinekaan”, laboratorium yang menjadi tempat dimana semua bisa tumbuh tanpa merasa harus menjadi seragam.
Kita terkadang menelaah ratusan teori, tapi lupa meraba isi hati manusia yang menjadi subjeknya. Kita membaca tentang ketimpangan sosial, namun tak sempat menyapa rekan di sebelah yang diam-diam menanggung beban hidup. Di antara tumpukan referensi ini, empati sering kali tercecer, tak terbaca, bahkan terlupakan. Ilmu pengetahuan sejatinya hadir bukan hanya tentang “mengetahui”, tetapi juga “memahami”. Bukan hanya tentang menguasai objek, tetapi menyentuh subjek—mereka yang hadir dengan segala pengalaman, dan harapan masing-masing. Menyulam empati di dunia akademik adalah sebuah keberanian untuk menjadikan hati sebagai alat baca kedua, setelah akal. Ini tentang mengakui bahwa di balik setiap teks, ada konteks. Bahwa di balik setiap data, ada cerita. Bahwa tak semua bisa dijelaskan oleh teori, tapi bisa dirasakan lewat kehadiran yang tulus. Mari kita jadikan empati diantara tumpukan referensi ini menjadi alat dan media positif untuk menyulam sebuah keberanian. Menjadikan hati sebagai alat baca kedua, setelah akal. Ini tentang mengakui bahwa di balik setiap teks, ada konteks. Bahwa di balik setiap data, ada cerita. Bahwa tak semua bisa dijelaskan oleh teori, tapi bisa dirasakan lewat kehadiran yang tulus. Empati sama sekali tidak bertentangan dengan intelektualitas-justru ia memperkaya. Ia membuat kritik menjadi lebih manusiawi, dan diskusi lebih bermakna. Ia menjadikan ilmu bukan menara gading, tapi jembatan yang menghubungkan manusia dengan manusia.
Menyulam empati bukan berarti mengabaikan nalar, melainkan menghadirkan kehangatan dalam lorong-lorong pemikiran. Ia adalah tentang bagaimana kita berupaya menganyam rasa pada setiap kata, menyisipkan kemanusiaan dalam setiap simpul logika. Sebab setiap kutipan yang kita tulis, sejatinya lahir dari kehidupan yang pernah dirasa dari luka, dari harapan, dari kenyataan yang dialami oleh manusia nyata. Empati dalam dunia akademik layaknya menjadi benang halus yang menjahit pemahaman dengan kasih. Ia tidak bersuara lantang, tapi hadir dalam cara kita mendengarkan, dalam cara kita memberi ruang bagi yang termarginkan atau terpinggirkan, dalam cara kita melihat bahwa dibalik tesis dan analisis, ada wajah-wajah yang sedang mencari arti. Dunia akademik, yang semestinya menjadi taman pencarian makna, terkadang dan kerap menjelma menjadi ladang logika yang kering, penuh angka, teori, dan struktur. Kita belajar menyusun gagasan dengan rapi, namun perlahan lupa cara menyentuh sesama dengan hati. Dunia akademik bukan sekadar kompetisi, tapi kolaborasi. Saatnya kita membangun kembali ruang-ruang saling dukung dalam dunia yang sering kali terasa individualistik ini.
Terkadang kita abai sebagai warga akademik (baca: sivitas akademika), di tengah gemuruh target akademik, tenggat waktu, dan ambisi pribadi, kita kerap lupa bahwa dunia akademik sejatinya dibangun bukan hanya dari prestasi individu, melainkan juga dari jalinan relasi yang saling menguatkan. Inilah saatnya kita berhenti sejenak, merenung, dan mulai merajut kembali kebersamaan yang perlahan mulai renggang. Kebersamaan dalam dunia akademik bukan mimpi utopis. Ia nyata, dan bisa kita rajut—kita harus yakin dan percaya bahwa tenunan yang indah tak akan lahir dari satu warna saja. Dalam dunia akademik, kita butuh lebih banyak ruang untuk mendengar, bukan hanya berbicara. Karena sering kali, jawaban dari sebuah konflik bukan terletak pada argumentasi, tapi pada pengertian. Dalam sebuah sudut pandang kontekstualitas, penulis tidak sepenuhnya menyetujui jika dunia akademik diperlakukan seperti layaknya sebuah pabrik: ada target, standar output, dan kontrol kualitas. Tapi sebenarnya, ia lebih cocok disebut sebagai “kebun pengetahuan”. Di sana tumbuh berbagai jenis tanaman: yang cepat berbuah, yang lambat tapi tahan lama, yang butuh banyak air, dan yang justru tumbuh di tanah kering. Untuk merawatnya, kita butuh kesabaran, ketelatenan, dan kepekaan terhadap kebutuhan masing-masing. Kata kunci untuk semuanya ini adalah kebersamaan. Kebersamaan dalam dunia akademik adalah seperti merawat kebun bersama. Tidak bisa satu orang saja yang menyiram, sementara yang lain hanya memanen. Butuh kolaborasi: mahasiswa, dosen, peneliti, dan tenaga kependidikan. Masing-masing punya peran yang tak bisa digantikan.
Kebersamaan dalam sebuah empati pada dunia akademik juga akan membuka ruang dan akses yang positif untuk menyatukan/menyamakan perbedaan pendapat dan latar belakang. Kita tidak bisa bicara kolaborasi bila masih ada diskriminasi atas dasar berbagai jenis dan status, bahkan latar belakang pendidikan sekalipun. Dunia akademik semestinya menjadi laboratorium kebhinekaan, tempat di mana semua bisa tumbuh tanpa merasa harus menjadi seragam sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya di atas.
Penutup
Dalam tradisi filsafat Yunani, sympatheia bukan hanya sekadar “rasa iba”, tetapi suatu keselarasan batin antara makhluk hidup, bagian dari keterhubungan kosmis. Menenun sympatheia berarti membangun kembali rasa saling terhubung—di tengah aktivitas akademik yang kadang kering dan terasingkan oleh tumpukan “teori dan data”. Frasa Hyphaínon tḕn sympatheian en méso bibliographikon soro (baca: Empati diantara tumpukan referensi) secara lughah memang menggambarkan “kontras” antara dua dunia: dunia intelektual yang penuh buku, teori, dan literatur (bibliografi), akan tetapi dibalik semua ini ada makna “harmoni” yang yang memadukan antara dunia batin yang penuh rasa, empati, dan koneksi antar manusia (sympatheia). Bahwa di tengah derasnya arus intelektualitas dan lautan referensi yang kita gali, empati tidak ditinggalkan di tepi, melainkan dirajut perlahan menjadi benang utama yang menyatukan makna-makna yang tersebar. Bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar alat untuk memahami dunia, tetapi juga “jalan untuk memahami sesama”. Kita semua tentu berharap agar ilmu yang kita bangun tidak kehilangan jiwanya, dan bahwa setiap referensi” yang kita baca tidak menjauhkan kita dari rasa, dari sesama, dan dari diri kita sendiri. Di tengah tumpukan referensi yang terus bertambah, mari kita sisipkan sehelai benang emas bernama empati. Agar ilmu tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga menghidupkan nurani. Agar setiap wacana tidak menjauhkan kita dari sesama, melainkan menyatukan—dalam simpul kemanusiaan yang lembut, namun kuat. Maka, diantara tumpukan referensi dan menyusun argumen, mari beri ruang sejenak untuk bertanya pada diri: sudahkah aku memahami sebelum menilai? Sudahkah aku merasakan sebelum menyimpulkan? Semoga.