metrouniv.ac.id – 17/10/2024 – 14 Robilul Awal 1446 H
Prof. Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum. (Wakil Dekan 3 FUAD/Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN Metro)
‘The limits of my language mean the limits of my world.’
(Ludwig Wittgenstein)
Sangat mungkin, sastra pada awalnya hadir untuk menghibur. Ketika anak-anak sukar tidur, orang tua menghiburnya dengan nyanyian. Manakala anak-anak enggan minum susu, orang dewasa bernyanyi tentang belalang dan kupu-kupu. Ada ‘Nina Bobo’, ‘Pok Ame Ame’, ‘Ambilkan Bulan Bu’, dan masih banyak lagi. Orang luar menyebut itu nursery rhymes atau lagu untuk anak-anak, yang, sekali lagi, sangat mungkin, dibuat untuk membuat anak-anak ceria, bahagia, tertawa, sehingga sehatlah pula jiwa dan raganya.
Sastra lalu tampak hadir untuk mendidik. Seperti kisah ‘Malin Kundang’ yang mengajarkan anak untuk berbakti kepada orang tua. Atau kisah ‘Qarun’ yang mengingatkan pembaca atau pendengar untuk tidak jumawa meski punya harta dan kuasa berlimpah. Tentu saja, akan banyak cerita inspiratif lainnya yang dapat ditambahkan ke dalam daftar. Dan jika hari ini kita cinta dan takzim kepada orang tua, boleh jadi itu karena alam bawah sadar (subconscious mind) kita telah merekam pesan tersurat dari kisah ‘Malin Kundang’. Jika hari ini ada yang tetap rendah hati (humble) dan istiqomah beribadah meski sedang memiliki kekuasaan dan kekayaan berlimpah, boleh jadi itu karena mereka tidak ingin berakhir pilu (sad ending) layaknya Qarun, sepupu Nabi Musa a.s. itu. Sehingga sastra, melalui cara yang tidak selalu mudah dibuktikan, kerap berhasil membentuk pribadi yang memiliki nilai-nilai kehidupan menyenangkan bagi orang-orang di sekitarnya.
Sastra bisa tiba-tiba menjelma menjadi sesuatu yang kaya warna. Ada komedi yang megundang tawa, sehingga enak dibaca untuk sekedar melepas penat. Ada cerita detektif yang, melalui alur rumit-namun-logis, mampu menghadirkan ketegangan, sehingga asyik dibaca untuk rehat sejenak dari rutinitas. Ada kisah cinta yang mengharubiru dan mengaduk-aduk emosi, sehingga bagus dibaca ketika diri merasa sedang dianiaya sepi. Ada kisah non-fiksi yang setelah dipoles dengan visi artistik dan estetik penyusunnya, menjadi ‘teman duduk’ (jaliis) yang darinya muncul inpirasi dan pencerahan bagi pembacanya. Dan sastra, meciptakan tawa; merunutkan logika; menata rasa; membukakan simpul kritis; dan melejitkan potensi diri.
Sastra muncul, dan ini seringkali tanpa disadari, sebagai sebagai sebuah perbendaharaan (repository). Karya sastra kerap menjelajah peristiwa-peristiwa sejarah, isu-isu moral, bahasan-bahasan filosofis, dan bahkan kajian-kajian teologis. Penjelajahan itu menghasilkan rekaman yang berfungsi layaknya papirus yang di atasnya tersimpan informasi-informasi penting tentang perkembangan peradaban Mesir, Romawi, dan Yunani kuno. Sehingga para sastrawan, penyair, budayawan, cerpenis, atau penggiat lainnya yang berada pada lingkaran-kerja kesusastraan, sejatinya adalah penyusun sebuah repository yang memiliki spektrum warna yang luas, dan sudut pandang yang kaya yang disebabkan oleh daya pandang yang tak sama.
Dan sastra adalah literature yang memiliki akar kata yang senada dengan literacy. Literature dan literacy merujuk pada akar kata Latin, ‘littera’ yang berarti ‘letter’ atau bermakna aksara. Sastra adalah ekspresi, gagasan, konfigurasi nilai, dan atau keyakinan yang dituangkan ke dalam aksara. Ia dapat diunduh melalui kegiatan membaca aksara itu sendiri. Karenanya, pengembangan literasi pada sebuah kota, dapat dilakukan melalui ragam kegiatan termasuk kegiatan festival bahasa dan budaya.
Dalam hal ini, saya merasa tersanjung atas undangan dari panitia Festival Bahasa dan Sastra Metro 2024. Namun, perasaan tersanjung itu sangat kecil dibanding besarnya kekaguman saya terhadap visi besar yang terpatri dalam tema kegiatan: ‘Merawat Kota dengan Sastra’. Kota Metro patut dirawat dengan sastra karena sastra memperluas kemampuan berbahasa. Dan kini, Ludwig Wittgenstein tampak benar dengan perkataannya: keterbatasan bahasa akhirnya akan membatasi dunia yang bisa saya jelajahi. Tabiik.