Oleh: S. Efendi
(Pengembang Teknologi Pembelajaran UIN Jurai Siwo Lampung)
1 Muharram 1447 Hijriah tahun ini bertepatan dengan tanggal 1 Suro dalam penanggalan Jawa dan jatuh pada malam Jumat Kliwon—fenomena yang menurut beberapa kalangan hanya terjadi setiap delapan tahun sekali. Ada beberapa tradisi malam Suro kerap dianggap sebagai malam yang penuh misteri, mistik, dan energi spiritual yang kuat. Banyak masyarakat yang melakukan ritual seperti tirakat, meditasi, bahkan mencuci benda pusaka sebagai bagian dari tradisi leluhur.
Tak sedikit pula yang mempercayai adanya sejumlah pantangan pada bulan ini, seperti larangan keluar rumah pada malam Suro, larangan menikah, pindah rumah, atau mengucapkan kata-kata kasar.
Namun sebagai umat Islam, kita dituntut untuk memaknai bulan Muharram secara syar’i, yakni sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Bulan ini sesungguhnya memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi dan merupakan momen yang sangat tepat untuk melakukan introspeksi serta penyucian jiwa.
Muharram: Bulan Haram yang Dimuliakan Allah
Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram (الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ) dalam Islam selain Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Bulan ini juga disebut sebagai Syahrullah (bulan Allah), menunjukkan kedudukannya yang istimewa dalam kalender Hijriah.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa Muharram memiliki banyak keutamaan dan menjadi waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih seperti shalat sunnah, sedekah, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir.
Dalam Tafsir Al-Qurthubi, dijelaskan bahwa sebagai bulan haram, Muharram menjadi waktu di mana perbuatan dosa sebaiknya dijauhi dan amal kebaikan dilipatgandakan. Allah SWT mengingatkan agar kita tidak menzalimi diri sendiri pada bulan-bulan ini, terutama dengan perbuatan maksiat.
Tazkiyatun Nafs: Hakikat Penyucian Jiwa
Penyucian jiwa atau tazkiyatun nafs adalah proses spiritual dalam Islam yang bertujuan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela (akhlak mazmumah) dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji (akhlak karimah). Proses ini dilakukan melalui ibadah yang ikhlas dan pendekatan diri kepada Allah SWT.
Sebagaimana disebutkan dalam Surah Asy-Syams ayat 9–10:
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
Ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati adalah milik mereka yang senantiasa menyucikan jiwanya, sementara mereka yang membiarkannya ternoda akan mengalami kerugian besar.
Ibadah Sebagai Sarana Penyucian Jiwa
Segala bentuk ibadah dalam Islam sejatinya adalah media untuk tazkiyatun nafs. Di antaranya:
- Shalat
Dalam Surah Al-Ankabut ayat 45, Allah berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.”
Ini menunjukkan bahwa shalat yang khusyuk memiliki kekuatan untuk menahan seseorang dari perilaku buruk dan menyimpang.
2. Puasa
Nabi SAW bersabda:
“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga.”
(HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadis ini mengajarkan bahwa puasa sejati bukan sekadar menahan makan dan minum, tapi juga menjadi sarana mendidik jiwa agar lebih sabar dan bersih dari dosa.
3. Zakat
Dalam Surah At-Taubah ayat 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…”
Zakat bukan hanya amal sosial, tapi juga ibadah yang menyucikan harta dan hati dari sifat kikir.
4. Haji dan Kurban
Tentang haji, Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 197:
“…Barangsiapa mengerjakan haji, maka janganlah berkata jorok, berbuat maksiat, dan bertengkar…”
Mengenai kurban, Allah berfirman dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
“Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
Ibadah-ibadah tersebut jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesadaran, akan menjadi media efektif untuk menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Muharram: Waktu yang Tepat untuk Berbenah Diri
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bulan Muharram merupakan momentum yang sangat ideal untuk melakukan penyucian jiwa. Mereka yang sukses menyucikan jiwanya adalah orang-orang yang beruntung di sisi Allah. Penyucian jiwa dapat dilakukan bukan melalui ritual mistik atau kepercayaan yang tak berdasar, tetapi dengan memperbanyak ibadah yang diajarkan dalam Islam.
Maka dari itu, daripada terjebak dalam mitos dan larangan yang tidak memiliki dasar syar’i, umat Islam hendaknya menjadikan bulan Muharram—atau dalam budaya Jawa dikenal sebagai Sasi Suro—sebagai sarana untuk memperbaiki diri, meninggalkan kebiasaan buruk, dan menggantinya dengan amal-amal terpuji. Dengan demikian, kita dapat menjadi pribadi yang lebih bersih, kuat secara spiritual, dan lebih dekat dengan Allah SWT.