metrouniv.ac.id – 15/08/2024 – 10 Safar 1446 H
Prof. Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum. (Wakil Dekan 3 FUAD/Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN Metro)
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
Hutang emas bisa dibayar
Hutang budi dibawa mati
(Pantun populer)
Pantun adalah larik-larik singkat nan ritmis. Seperti pantun populer di atas. Ia berirama, menyiratkan tema, menyeruakkan warna, menghadirkan nuansa, dan mengandung makna. Dua baris pertamanya adalah sampiran yang memiliki rima. Dua baris berikutnya adalah isi, yang rimanya silang-terhubung dengan sampiran. Pada pantun populer di atas, ia menyiratkan penguasaan diksi dan sepuhan imajinasi penyusunnya. Ia juga menghadirkan konteks sebuah zaman saat pantun dicipta.
Pantun adalah larik-larik yang logis, seperti pada pantun populer di atas. Pantun sepatutnya tidak hanya ritmis dan padat, namun juga masuk akal. Sampiran yang tidak berkesesuaian dengan nalar, dapat membuyarkan logika. Isi pantun yang indah, bisa memburam ketika disampirkan pada larik-larik yang tak logis. Sampiran dan isi pantun, patutnya benar secara kebahasaan (grammatically correct) dan baik secara kemaknaan (semantically correct).
Pantun adalah pemikiran kritis. Pantun-pantun dengan prinsip bunyi dan makna yang logis akan membuka katup-katup simpul kritis pendengarnya. Tidak hanya akan menjadi musik bagi telinga. Namun juga menjadi sajian istimewa bagi logika. Tidak hanya menjadi pelepas dahaga-bahasa bagi pendengar di zamannya. Namun juga bisa menjadi perigi tua tempat generasi muda menimba makna. Pantun yang demikian bukanlah saja sejenis pantun atau sekedar pantun. Karena ia berkemampuan menjadi lentera untuk mengintip masa silam, sekaligus suluh untuk menatap jauh ke depan.
Pantun adalah pertemuan antara logika dan estetika. Syahdan, logika telah ditakdirkan bersahabat baik dengan estetika. Nyaris semua yang indah, berdiri tegak di atas altar nalar. Seperti keindahan agama Islam, yang dibangun di atas ajaran ad-din ‘aqlun, la dina liman la ‘aqla lah. Penalaran adalah pintu masuk untuk menyesapi keindahan ajaran Islam. Sesuatu yang dapat diterima oleh akal, lebih mudah dicerna oleh rasa. Karena itu, pantun yang logis lebih mampu memancarkan keindahan nan magis.
Pantun adalah estetika yang ditasbihkan tunduk di bawah moralitas. Isi pantun umumnya indah dan memiliki pesan baik, sehingga bisa menjadi nasehat dan petuah (advising). Tetapi, pantun rinci yang diarahkan untuk menasehati seseorang di hadapan khalayak, tampak kurang layak. Mengajak pada kebaikan dengan bahasa indah adalah baik. Menggunakan keindahan bahasa untuk menyindir, bisa menjadi perbuatan pandir. Advising (menasehati) menjadi shaming (mempermalukan) manakala estetika menafikan etika.
Pantun adalah kecerdasan bahasa. Penyusun pantun memiliki tempat yang istimewa di kalangan sarjana. Para ilmuwan mengamini keberadaan kecerdasan linguistik (Gardner, 2006), sejenis kecerdasan yang dipunyai oleh mereka yang gemar membaca, suka bercerita, dan pandai menulis. Sebuah kecerdasan yang pemarkahnya adalah penggunaan bahasa secara efektif dan kreatif. Tak ayal, pantun yang logis, estetis, dan etis menandakan kecerdasan linguistik penyusunnya. Pantun yang belum mencapai kriteria ideal, menunjukkan upaya dan proses belajar penyusunnya. Karena kecerdasan linguistik bisa dipelajari, dilatih dan ditingkatkan. Dan karena pantun adalah alat-latih yang mudah ditemukan, namun belum banyak dilirik kegunaannya secara waskita.
Pantun adalah teori dan praktik. Jika sekedar membuat pantun, lupakanlah teori. Jika sekedar menggurat sejenis pantun, abaikan saja pedoman. Namun, jika hendak menggubah pantun yang ritmis, padat, dan logis, dibutuhkan teori. Jika akan merangkai pantun yang memiliki warna, nuansa, dan makna, diperlukan pedoman. Karena teori melahirkan praktik. Karena ada alur from theory to practice. Karena ada keyakinan bahwa al ‘ilmu qobla al ‘amal. Pantun yang logis, estetis, dan etis nyaris tidak mungkin hadir dari kehampaan teori dan pedoman.
Pantun adalah proses belajar. Dari sudut pandang pembelajaran, tidak ada pantun yang jelek. Yang ada hanya pantun yang belum cukup baik, yang bisa diperbaiki seiring perjalanan masa dan perkembangan kecerdasan linguistik.
Pantun adalah rumah. Secara fungsi, pantun yang baik adalah ibarat rumah, tempat berteduh dari panas dan hujan. Rumah tidak berkemampuan menghentikan hujan-badai dan terik-penat kehidupan. Tetapi seperti rumah, pantun bisa menjadi perisai bagi jiwa yang rentan oleh panas dingin dunia. Jadi, mari berpantun!
 
								 
								
 
								