metrouniv.ac.id – 10/02/2025 – 12 Sya’ban 1446 H
Prof. Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum. (Wakil Dekan 3 FUAD/Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN Metro)
“Get used to a rough life, for luxury does not last forever.”
(Umar Ibn al-Khattab, r.a.)
Ada banyak kisah inspiratif tentang kepemimpinan. Namun cerita pemimpin yang rendah hati akan selalu membekas dalam hati. Pemimpin yang demikian itu, menjadi teramat istimewa karena tidak menuntut untuk diistimewakan. Justru, keistimewaan dirinya terletak pada keengganannya untuk tidak diperlakukan secara istimewa. Menuntut untuk diistimewakan, kerap berarti banyak bertitah dan sedikit bekerja. Serta mungkin berdalih bahwa bertitah adalah bekerja itu sendiri. Berikut adalah penceritaan ulang tentang seorang pemimpin istimewa, yang teks bahasa Inggrisnya kami dapatkan di dalam buku Arabic Stories for Language Learners (Brosh & Mansur, 2013).
Alkisah, pada suatu malam yang telah larut, seorang wanita tua menatap kosong pijaran api di bawah pancinya. Pancinya itu berisi batu, yang tidak akan pernah berubah menjadi makanan siap-santap. Ia lakukan itu untuk menenangkan anak-anaknya yang telah menangis sejak petang tadi. Mereka menangis dan merengek karena rasa lapar yang melilit. Rasa yang sama, ditambah perasaan tak berdaya, membuat ibu mereka, wanita tua itu, menangis tanpa suara.
Pada detik-detik teraniaya kondisi itulah, seorang laki-laki berpakaian lusuh muncul. Si lelaki menanyakan penyebab anak-anak itu menangis lalu tertidur karena lelah. Wanita itu lalu bercerita bahwa ia tak punya uang dan makanan. Ia katakan bahwa anak-anaknya didera lapar menyayat dan menangis karena itu. Ia lalu berpura-pura memasak makanan, meski sebenarnya yang dimasak adalah batu, untuk menenangkan mereka. Di ujung cerita, si wanita tua mempertanyakan empati dan integritas pemimpin negeri. Tak lupa, ia lantunkan kalimat kutukan untuk sang pemimpin negeri.
Si lelaki itu terdiam. Ia tidak reaktif demi mendengar ekspresi ketidakpuasan si wanita. Setelah cukup mendengar, ia kemudian pamit undur diri seraya berjanji akan segera kembali. Melesat, ia menuju gudang makanan milik negeri yang berada di bawah kendalinya. Diambilnya sekarung makanan dan dipanggulnya sendiri menuju tungku yang pancinya berisi batu. Ia bergegas untuk mengobati rasa lapar anak-anak itu, serta untuk mengobati luka hati ibunya yang kecewa dengan kepemimpinannya. Singkat cerita, si wanita tua merasa terhibur. Ia pun bersyukur kepada Allah swt, dan berucap terima kasih kepada lelaki berpakaian lusuh itu.
Dan sejak peristiwa yang membahagiakan itu, si lelaki secara rutin membawakan makanan untuk si wanita tua dan anak-anaknya. Dalam banyangan kami selaku pencerita ulang, lelaki itu membawa makanan-makanan itu sendiri, dalam penyamarannya sebagai pria miskin. Sementara itu, si wanita tak pernah tahu jika si lelaki itu adalah pemimpin negeri. Lelaki yang sama yang kepadanya kutukan keras ia alamatkan. Si lelaki itu juga tak pernah mengklarifikasi dirinya adalah pemimpin negeri. Sangat mungkin, itu dilakukan karena ia tidak ingin terlihat dan diperlakukan istimewa. Ia terus berempati dan menjadi solusi, meski si wanita tua itu berkata kepadanya: “Ah, andai saja pemimpin kita, Umar bin Khattab, sebaik dirimu.”
Begitulah kisah legendaris itu. Kisah seorang pemimpin yang menyamar untuk mengetahui secara langsung kondisi rakyatnya; yang melakukan dialog pada setting yang sesungguhnya; yang tidak murka saat mendengar kritik pedas rakyatnya; yang menjadi bagian terdepan dari solusi operasional-praktis; dan yang tidak menuntut untuk diistimewakan dalam segenap keistimewaan yang dimilikinya. Beliaulah sayyidinaa Umar Ibn al-Khattab r.a., yang pada suatu momen pernah berkalam, “Biasakanlah hidup sederhana, karena kemewahan tidak bertahan selamanya.” Istimewa bukan? Wallahu a’lam.