Ahmad Syarifudin, MH
Dosen HTN & Pemerhati Pemilu
KPU
tengah membahas perubahan Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye. Menurut
KPU—sebagaimana ditulis Lampost
(28/07)—PKPU yang akan diundangkan bukanlah produk hukum baru secara
keseluruhan, melainkan revisi dari PKPU No.4/2017. Disinyalir kententuan
mengenai kampanye tidak bakal banyak berubah dari peraturan sebelumnya.
Tetapi,
khusus kampanye via media sosial (medsos) terlanjur menyedot perhatian publik
setelah puluhan episode webinar masyarakat, penggiat demokrasi dan akademisi
terlibat perdebatan panjang mengenai “Apakah keputusan Pilkada Serentak
Desember sudah tepat?”. Kondisi semacam itu sangat wajar karena publik
terbayang masa kampanye yang akan dimulai pada 26 September 2020 sampai dengan
5 Desember 2020 masih dihantui penularan Covid-19. Aktivitas kampanye
konvensional dicemaskan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.
Esensi
Kampanye
Telah
terjadi penyempitan makna kampanye selama ini. Firmanzah (2012) misalnya
mengkritik Parpol yang kerap membatasi diri dengan memahami Kampanye Politik
sebatas kegiatan “promosi” yang masanya dijadwalkan oleh penyelenggara Pemilu.
Akibatnya tidak ada aktivitas apapun pasca pemilu yang seharusnya digunakan
untuk mendulang elektabilitas dan menunjukkan eksistensi. Kampanye politik yang
hanya dimaknai kampanye pemilu menurutnya menyumbang ketidaksepahaman politik
di antara kedua pihak—pasangan calon/parpol dan masyarakat.
Terlepas
dari penyempitan pemahaman, kampanye pada prinsipnya merupakan hak yang
dimiliki oleh calon/partai politik untuk meraih dukungan dengan berkomunikasi
secara langsung dengan masyarakat melalui beragam metode. PKPU 4/2017
mengartikulasikannya sebagai kegiatan menawarkan visi, misi, program pasangan
calon, dan/atau informasi lainnya yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan
pemilih. Dengan demikian sudah sewajarnya bila kampanye digunakan
seluas-luasnya oleh partai politik/pasangan calon untuk meraih popularitas
dengan catatan tidak melanggar ketentuan larangan kampanye.
PKPU
Kampanye yang sedang dirancang sudah semestinya tidak membuat aturan yang
sedemikian ketat yang justru mengikis hak dari pasangan calon/parpol. Pasangan
calon/parpol tidak boleh “dikekang” disaat yang “seharusnya” yaitu masa
kampanye mereka mendekati pemilih dengan cara-cara yang konstitusional.
Metode
kampanye konvensional seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan
dialog, debat terbuka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga
kampanye, iklan media massa dan elektronik semestinya tetap dipertahankan
dengan sedikit perubahan. Gubahan itu misalnya terkait Interaksi yang dilakukan
oleh pasangan calon/tim Kampanye/tim sukses dengan masyarakat atau kampanye
yang menyebabkan berkumpulnya banyak orang—dengan pembatasan jumlah—harus
menerapkan protokol kesahatan. Jika tidak, maka Bawaslu bersama dengan Gugus
Tugas dapat membubarkannya.
KPU
tidak boleh alpa bahwa kampanye juga merupakan hak rakyat. Mereka memiliki hak
untuk mengetahui visi, misi, dan program calon. Di luar perdebatan permisifnya
masyarakat terhadap politik uang yang dapat dimaknai tidak pedulinya mereka
pada calon yang menawarkan program, visi, misi, dan mementingkan pemberian dari
calon tertentu berupa uang/sembako namun mempertahankan kelihaian pasangan
calon dalam menjual konsep harus tetap dilakukan disamping melakukan edukasi
“keharaman” politik uang.
Oleh
sebab itu, saya menilai cara atau metode kampanye dengan media daring—via
medsos—belum sepenuhnya dapat menjamin terdistribusinya hak masyarakat.
Kemungkinan besar, kampanye medsos hanya akan dinikmati mereka yang masuk dalam
kategori pemilih muda yang melek tekhnologi, dan ketersediaan infrastruktur
jaringan memadai di daerahnya. Sementara bagi mereka yang gagap teknologi dan
berada di jantung pemukiman terpencil tanpa jaringan berlaku sebaliknya.
Catatan
Kampanye Medsos
Seperti
telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu metode kampanye dalam PKPU
No.4/2017 ialah kampanye di medsos. PKPU itu mengatur beberapa aspek seperti
ketentuan pembuatan akun media sosial, pendaftaran akun media sosial, materi
kampanye, dan penutupan akun. Saya berpandangan bahwa terdapat kelemahan dalam
pengaturan kampanye medsos di PKPU itu.
Salah
satu yang penting untuk diperhatikan, PKPU No.4/2017 mengatur bahwa media
sosial yang digunakan untuk kampanye ialah media sosial resmi yang didaftarkan
ke KPU. Dalam ketentuan dan praktiknya akun media sosial itu merupakan akun
yang “baru saja dibuat” sekaligus akan menjadi akun medsos yang menjadi objek
pantauan Bawaslu. Padahal akun medsos seperti Twitter, dan Instagram
membutuhkan waktu yang banyak untuk mendapatkan pengikut (follower). Tanpa
pengikut—atau dengan sedikit pengikut—kecil kemungkinan calon/pasangan calon,
parpol, maupun tim sukses meraih manfaat dari medsos.
Sangat
rasional jika kampanye medsos seperti gambaran dalam PKPU dinilai sebagai pentes-pantes (formalitas
belaka). Sementara akun-akun medsos lain milik calon/petinggi parpol, dan
anggota tim kampanye yang tidak didaftarkan ke KPU dan memiliki banyak pengikut
dibiarkan begitu saja. Akun-akun inilah semestinya yang perlu diawasi karena
peluang dan intensitas melakukan kampanye akan sangat tinggi.
Oleh
sebab itu, saya menyarankan pengaturan kampanye medsos tidak hanya menerima
akun-akun baru yang dibuat atas nama pasangan calon, melainkan mewajibkan
akun-akun pribadi calon, ketua dan sekretaris partai pengusung dan pendukung
serta anggota tim kampanye untuk didaftarkan. Pertimbangannya ialah bisa saja
karena ketokohan membuat mereka memiliki banyak pengikut cum memiliki pengaruh.