ORASI ILMIAH Oleh Dr. Dedi Irwansyah,
M.Hum (Ketua Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Metro) Pada Kegiatan Dies Natalis Ke 54 dan Wisuda
Program Pascasarjana Strata Dua (S2) dan Sarjana Strata Satu (S1) Periode I
Tahun Akademik 2021/2022
(Selasa, 31 Agustus
2021)
Bismillahirrohmanirrohiim,
Alhamdulillah, was sholaatu was salaamu ‘alaa
Rasulillah
Wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihi wa man waalah
A. Hadratul Kirom para Alim
Ulama
B. Yang saya hormati:
1. Rektor IAIN Metro
2. Ketua dan Anggota Senat
IAIN Metro
3. Walikota Metro
4. Para Rektor, Wakil
Rektor, dan Delegasi PTN/PTS se-Kota Metro
5. Para Pejabat Struktural
di lingkungan IAIN Metro
6. Para kolega sejawat
7. Para wisudawan dan
wisudawati beserta keluarga besar, serta seluruh hadirin tamu undangan yang
berbahagia
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa
barakaatuh
Seorang sarjana menulis, “If you need to make an
argument about an issue about which you feel very strongly, don’t use rhetoric.
Tell a story instead…’ Jika Anda ingin
meyakinkan seseorang tentang apa yang Anda yakini baik dan benar, gunakanlah
cerita, dan jangan gunakan retorika (Baldoni, 2011). Kutipan ini
mengisyaratkan bahwa sebuah cerita memiliki dampak yang lebih kuat dibandingkan
dengan retorika atau seni membujuk orang lain. Cerita tidak hanya lebih
berdampak daripada retorika, melainkan juga lebih popular dengan kehidupan
manusia sehingga cenderung lebih mudah dilakukan. Bukankah manusia menghabiskan banyak
waktunya untuk bercerita (storytelling)? Bukankankah manusia
menggunakan banyak waktu untuk mendengar cerita dan untuk
merespon cerita? Bukankah manusia menikmati dari kisah Ashabul
Kahfi, Sleeping Beauty, hingga drama Korea
(drakor) bertajuk Welcome to Waikiki? Bukankah manusia kerap
membincangkan pilunya kisah Karbala, romantisnya
dongeng Cinderella, hingga serunya drakor berjudul Hotel del Luna. Yang jelas diketahui
adalah bahwa ragam cerita yang telah disebut di atas cukup mudah diakses.
Namun, yang kerap luput dari pengetahuan banyak orang adalah bahwa dengan
wawasan dan keterampilan yang tepat, sebuah cerita memiliki pengaruh yang lebih
dalam dibandingkan dengan kemampuan menyusun retorika dan kemampuan menyajikan
data dan fakta. Lebih dari itu, sebuah cerita dapat mempengaruhi
sikap dan prilaku manusia.
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Manusia kerap
menyandarkan sikap dan prilakunya pada serangkaian prinsip yang dihasilkan dari
pegalaman pribadi maupun pengalaman orang lain, atau yang dihasilkan dari
pengetahuan yang disajikan orang lain maupun yang dieksplorasi sendiri melalui
pembacaan dan studi mendalam. Adalah kumpulan prinsip-prinsip tersebut yang
kemudian menjadi faktor utama di balik keputusan-keputusan yang dibuat oleh
manusia. Ambil contoh, prinsip the right person in the
right place, yang merujuk pada pentingnya
menempatkan orang
yang tepat pada posisi yang tepat. Manusia yang merapkan prinsip the
right person in the right place pastinya menyadari bahwa
menempatkan the wrong person in the right place berarti
menabur angin menuai badai.
Hari ini, ada sebuah
prinsip yang semakin diminati dalam urusan penyebaran ilmu
pengetahuan, bimbingan konseling, pembinaan spiritual, dan penanaman nilai. Prinsip itu
adalah the
right story in the right time yang bermakna
bahwa sebuah
cerita yang tepat yang dituturkan di waktu tepat dan kepada orang yang
tepat, akan mampu memberi
efek mencerdaskan,
menenangkan, mencerahkan, hingga menyembuhkan bagi para pendengarnya.
Orasi ilmiah pagi ini
hendak menyegarkan kembali gagasan tentang pentingnya cerita dan kegiatan bercerita (storytelling) dalam
mengembangkan ragam potensi manusia dari potensi akademik, potensi spiritual,
potensi kesehatan, hingga potensi kepemimpinan (leadership).
A. Pendahuluan
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Perkenankan penulis memulai orasi ini
dengan sebuah cerita berjudul The Greek and the Chinese Artists (Kritzeck,
1964), Seniman Yunani dan Seniman Cina, sebuah cerita yang membahas
aspek spiritualitas yang abstrak, namun menjadi mudah dicerna karena disajikan
melalui percakapan dan analogi yang konkrit.
Suatu
hari, seorang Sultan kedatangan sekelompok seniman dari Cina dan sekelompok
seniman dari Yunani. Pada satu momen, seniman Cina berkata, “Kami adalah
seniman terbaik di dunia.”
Mendengar
itu, seniman Yunani menimpali dalam nada datar nan santun, “Boleh saja kalian
para seniman Cina mengaku sebagai yang terbaik. Tetapi kami seniman Yunani
memiliki sesuatu yang tidak kalian miliki.”
Sang
Sultan melihat isyarat persaingan antara seniman Cina dan seniman Yunani. Sang Sultan kemudian
menengahi kedua kelompok seniman itu seraya berkata, “Begini saja. Izinkan saya
menguji kalian. Masing-masing kalian akan mendapat satu kamar yang pintunya
saling berhadapan. Silakan berkreasi. Saya akan mempersiapkan semua kebutuhan
kalian dalam berkreasi.
Para
seniman Cina lalu meminta bahan pewarna yang beraneka ragam. Sementara para
seniman Yunani hanya meminta kain lap dan cairan penghilang karat.
Selama
beberapa hari, seniman Cina menghabiskan ratusan warna. Dari luar kamar,
seniman Cina tampak begitu sibuk bekerja. Sementara itu, seniman Yunani memilih
menutup pintu, bekerja dalam diam dan membersihkan setiap inci dinding kamar.
Di
hari penentuan, sang Sultan takjub bukan kepalang demi melihat lukisan dinding
yang dikerjakan oleh para seniman Cina. Lukisan itu penuh warna dan dikerjakan
dengan sangat cermat.
Sang
Sultan lalu mengetuk pintu kamar seniman Yunani. Setelah pintu dibuka, sang
Sultan juga takjub melihat diding-dinding kamar yang begitu bersih dan
cemerlang. Tidak sampai di situ, Sang Sultan melihat dinding-dinding kamar itu
memantulkan semua keindahan gambar yang ada di kamar seniman Cina. Bahkan,
pantulan gambar yang berbalur cahaya matahari pagi saat itu, tampak jauh lebih
indah dan lebih hidup daripada gambar aslinya.
Cerita seniman Cina dan
seniman Yunani menyajikan kembali beberapa nilai dan prinsip penting dalam tradisi
Islam. Pertama, klaim diri sebagai yang terbaik yang dilakukan
seniman Cina, tidak selalu baik.Ucapan ana khoirun minhu, aku lebih baik darinya, yang
diucapkan pertama kali oleh Iblis, adalah anak tangga pertama menuju arogansi
atau sikap takabbur.
Kedua, respon santun seniman
Yunani terhadap klaim seniman Cina menyegarkan kembali ingatan tentang
adagium Laa tahtaqir man dunaka wa likulli sain maziyah janganlah
memandang sebelah mata kepada orang lain, karena orang lain itu pasti bisa
melakukan sesuatu yang tidak dapat engkau samai.
Ketiga, dalam tradisi Islam,
pengetahuan sejati adalah cahaya yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang
melakukan penyucian diri (tadzkiyatun nafs, self-purification). Kain
lap dan cairan pembersih karat pada seniman Yunani adalah simbol dari riyadoh atau
serangkaian latihan spiritual untuk membersihkan dinding-dinding
jiwa. Jiwa yang bersih dari karat
hasad, rakus, tamak, iri hati, dan dengki akan mampu menerima dan memantulkan
cahaya pengetahuan sejati yang berasal dari
Allah. Kecuali
itu,
yang dilakukan oleh seniman Yunani itu adalah cerminan dari sebuah prinsip lain dalam tradisi Islam,
yaitu bahwa ilmu sejati itu didapatkan melalui cara-cara spritual karena knowledge is
a light and the light of Allah is not bestowed upon a sinner (Irwansyah,
2015), atau al ‘ilmu nuurun wa nuurullah la
yuhdaa lil’asyi. Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak
dianugerahkan kepada individu yang bergelimang dosa dan maksiat. Untuk mendapatkan ilmu
sejati, seorang Muslim harus melatih diri untuk menjauhi dosa (Irwansyah,
2018), atau harus menggunakan kain lap riyadoh untuk
membersihkan diding-dinding jiawa agar dapat memantulkan cahaya
ilmu Ilahi.
Keempat, apa yang dilakukan
oleh seniman Yunani adalah pesan bahwa dalam tradisi Islam, wahyu, hadist, dan pengalaman spiritual
merupakan sumber pengetahuan, sebuah jenis sumber pengetahuan yang kurang
popular, untuk tidak mengatakan diabaikan, oleh tradisi pendidikan Barat.
B. Selayang Pandang Storytelling
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Sebuah cerita menghadirkan
ragam spektrum makna, pesan, dan ibrah. Karena itu, kemampuan
bercerita (storytelling) layak mendapat perhatian dan tempat
tidak hanya di dalam dunia pendidikan, namun juga di dalam dunia bisnis, dunia
kesehatan, dan lain sebagainya.
Storytelling adalah istilah yang
merujuk pada penuturan cerita secara lisan berdasarkan ingatan
penuturnya (Agosto, 2016). Seorang ibu yang menceritakan kisah Malin Kundang, dalam bahasa
yang sederhana, sebagai pengantar tidur anak-anaknya, sedang melakukan storytelling.
Begitu juga dengan seorang ustad yang bercerita, dengan intonasi suara yang
meninggi, tentan