metrouniv.ac.id – 26/08/2024 – 21 Safar 1446 H
Dr. H. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro)
Membicarakan transformasi kelembagaan di lingkungan perguruan tinggi agama energi pikiran kita selalu terfokus pada persoalan perubahan struktur kelembagaan. Beberapa kali proses transformasi dari Sekolah Tinggi menjadi Institut, atau dari Institut menjadi Universitas, selalu yang banyak dibicarakan adalah persoalan perubahan kelembagaan dalam makna perubahan struktur organisasi dan manajemen. Dari sisi pengelolaan keuangan yang dibicarakan adalah soal transformasi dari satuan kerja PNBP menjadi Badan Layanan Umum atau dari BLU menjadi PTN Berbadan Hukum. Ditambah lagi dengan penambahan sumber daya manusia dan sumber-sumber pemasukan keuangan.
Ibarat tubuh, persoalan perubahan struktur, layanan keuangan dan sumber daya manusia adalah wujud fisik atau jasmani yang bersifat lahiriah. Sementara persoalan ruh (esensi) atau aspek batiniah universitas Islam jarang sekali atau setidaknya kurang dibicarakan. Jika ada tubuh tanpa ruh maka ia akan seperti makhluk mati, bergentayangan laksana hantu. Karena itu penting mengisi tubuh universitas itu dengan ruh dan esensinya bukan hanya sekedar perubahan struktur kelembagaan.
Kata universitas sepadan dengan kata universum yang artinya alam semesta secara keseluruhan. Turunan dari kata ini adalah kata universal yang bermakna mencakup semuanya. Sebuah universitas adalah kawah candradimuka keilmuan dimana semua ilmu pengetahuan dipelajari, dikaji, diteliti dan diperdebatkan. Dalam perspektif ini, maka bangunan keilmuan yang akan dikaji sebuah universitas harus menjadi perhatian utama dengan tanpa mendikotomikan apakah itu ilmu agama ataukah ilmu umum.
Dalam Islam, ilmu adalah ilmu, tanpa dipilah dari mana sumbernya atau asal usulnya. Karena sumber utama ilmu pengetahuan, apapun ilmu itu adalah dari Yang Maha Tahu atau Yang Maha Berilmu (al-’Aliim). Karena sumber utama ilmu adalah dari Yang Maha Satu, maka ilmu apapun bersifat monokotomik (tunggal, terintegrasi dan tidak dipisah-pisahkan).
Gagasan dan proyek integrasi keilmuan dalam perdebatan universitas Islam sesungguhnya sudah sangat lama didiskusikan. Ismail Raji al-Faruqi menyebutnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Cendekiawan muslim Indonesia, Amin Abdullah menyebutnya Epistemologi interkoneksi dan interrelasi ilmu pengetahuan. Imam Suprayogo menggambarkan integrasi ilmu pengetahuan itu dengan sebutan pohon ilmu dimana bangunan keilmuan itu laksana satu pohon besar yang melahirkan akar, batang, cabang, ranting dan daun pengetahuan.
Pertanyaannya, setelah lahir banyak universitas Islam tersebut apakah “proyek” integrasi dan islamisasi ilmu pengetahuan di lembaga perguruan tinggi keagamaan Islam sudah menunjukkan keberhasilannya? Ataukah masih sekedar perubahan tubuh fisik (kelembagaan) yang belum juga menyentuh aspek batiniah universitas Islam? Riset dan kajian mengenai hal ini patut untuk dilakukan sehingga bisa menjadi dasar dan landasan bagi perguruan tinggi Islam lain yang akan atau sedang bertransformasi menjadi universitas.
Dahulu lembaga-lembaga pendidikan Islam telah banyak melahirkan para ahli yang tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga menguasai sains (ilmu-ilmu kealaman dan sosial) secara utuh. Rata-rata ilmuwan muslim adalah sosok ilmuwan, cendekiawan dan sekaligus pribadi muslim dengan pemahaman Islam yang kuat. Sebut saja Ibn Rusyd yang di Eropa dikenal dengan nama Averrous adalah seorang ahli fiqih, filosof sekaligus juga ahli astronomi dan fisika. Ibn Sina atau Avicena, adalah contoh lain ilmuwan muslim yang ahli fiqih sekaligus adalah ahli di bidang kedokteran.
Abu Nasr Mohammad Ibn al-Farakh al-Farabi dikenal sebagai ilmuwan yang menguasai beberapa bahasa serta berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. Farabi memberikan kontribusi yang besar terhadap sains, filsafat, logika, sosiologi, kedokteran, matematika dan musik. Kontribusi terbesarnya tampaknya ada di bidang filsafat, logika dan sosiologi dan ensiklopedis.
Tiga nama ilmuwan muslim di atas disebut untuk mewakili puluhan ilmuwan muslim lainnya yang memiliki profil dan pribadi yang hampir sama. Mereka ahli ilmu pengetahuan (saintis) sekaligus seorang islamis yang kuat. Mereka adalah hasil didikan dari universitas Islam masa lalu yang dapat menjadi contoh untuk merumuskan profil lulusan bagi universitas Islam di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam.
Kita tentu merindukan lahirnya lulusan universitas Islam yang tidak hanya ahli dalam bidang sains namun juga sangat mumpuni bicara keilmuan agama Islam. Kita merindukan lahirnya lulusan universitas Islam yang tidak hanya profesional ketika bekerja namun juga tawadhu secara individual dan berakhlak mulia, jujur, bertanggung jawab dan tidak koruptif. Apakah lulusan seperti ini sudah lahir dari puluhan universitas Islam yang sudah adai atau baru akan lahir dari universitas Islam yang akan bertransformasi.
Jangan-jangan sudah ada, hanya mungkin penulis yang dhaif ini belum tahu. Atau, mari kita cari dalam tumpukan jerami seperti halnya mencari jarum yang jatuh di dalamnya. (MH. 26.08.24).