socio
eco-techno
preneurship

QURBAN, EKOTEOLOGI DAN SPIRIT KEBERLANJUTAN

WhatsApp Image 2025-06-05 at 15.53.16

Oleh

Suhendi

 

 

Pasca perubahan bentuk IAIN menjadi UIN, banyak sekali agenda strategis yang digelar oleh kampus, rapat-rapat padat mengular; termasuk tim kecil kami kebagian tugas membuat rancangan Renstra 2025-2029. Jarum panjang jam siang itu hampir mendekati angka dua, suasana diskusi yang semula riuh, saat itu jadi senyap. Wajah-wajah riang terlihat tertunduk, hanya suara mouse klik-klik membelah keheningan; mungkin karena kantuk siang yang mulai mendera mata. Bersyukur, disaat genting itu pertugas pramusaji datang tepat waktu membawa nampan berisi gelas kopi panas. Byarr!, aroma kopi semerbak mengubah suasana, tawa-tawa kecil kembali pecah, ruang diskusi kembali renyah dan hidup.

Siang itu kami memang sedang membahas hal yang cukup strategis tentang keberlanjutan (sustainable), satu konsep yang akan kita tempatkan sebagai salah satu pilar penting pada visi UIN Jusi Lampung. Alhamdulillah bagian demi bagian penting dari rancangan dokumen tersebut bertahap mulai banyak terisi. Pada jeda siang setelah sesi ngopi Prof. Dedi (Warek I) yang saat itu ikut menemani diskusi berpamitan dan bergegas menuju masjid menghadiri rapat panitia penyembelihan hewan qurban di masjid. Sontak hal ini menyadarkan kita semua diruangan itu kalau pekan ini kita akan merayakan lebaran Idul Adha; salah satu hari raya yang penting bagi ummat Islam seluruh dunia.

Kampus kita memang rutin dan sudah berjalan bertahun-tahun mentradisikan penyembelihan hewan qurban bersama, gotong royong penuh guyub antara dosen, tenaga kependidikan dan seluruh keluarga besar lainnya. Tradisi baik yang perlu terus kita hidupkan untuk mempererat dan merawat tali persaudaraan kita sebagai satu keluarga besar di UIN Jurai Siwo Lampung.

Menyinggung soal Idul Adha, Rektor pada kesempatan terpisah menekankan pentingnya hari raya ini dijadikan ajang untuk “menyembelih” sifat egois dalam diri kita. Pesan tajam itu disampaikan saat memberi sambutan peringatan Hari Lahir Pancasila, Senin, 2 Juni 2025 yang lalu. Egoisme; katanya, adalah akar dari keretakan harmoni sosial dalam kehidupan kita sehari-hari, ia bisa hidup menjadi sikap anti-sosial yang merusak relasi antar manusia, menumpulkan empati terhadap sesama, bahkan terhadap alam yang menjadi rumah kita bersama.

Relasi Qurban dan Ekoteologi

Kalau kita coba tarik dalam perspektif yang lebih luas, egoisme ternyata merupakan akar dari kriris etika yang mendera masyarakat global dewasa ini. Sony Keraf misalnya; penulis buku etika lingkungan sekaligus mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup; menyebut kerusakan ekologis berakar dari adanya krisis etika manusia. Menurutnya ketika manusia menempatkan dirinya sebagai pusat dari segalanya, alam pun dipandang sekadar objek konsumsi dan hal ini mendorong sikap eksploitasi tanpa ampun pada sumberdaya alam. Egoisme menjadi muara dari benih relasi yang timpang antara manusia dan lingkungannya.

Senada dengan Keraf, kritik terhadap antroposentrisme juga juga banyak digaungkan oleh Robin Attfield (2005) lewat bukunya Radical Ecology dan Carolyn Merchant (1980) lewat karyanya The Death of Nature, melihat adanya kecenderungan manusia menjadikan dirinya sebagai ukuran tunggal nilai, memisahkan dirinya dari jaringan kehidupan yang lebih luas. Ketika qurban dilihat hanya sebagai komoditas ritual, dan bukan laku spiritual yang menghormati kehidupan, maka ia rentan jatuh dalam logika eksploitatif ala paradigma mekanistik-modern. Akibatnya, kesalehan ekologis yakni kesadaran spiritual bahwa alam juga bagian dari amanah Ilahiyah mengalami degradasi. Alih-alih merawat, kita malah mengeksploitasi. Alih-alih bersyukur, kita malah mendominasi.

Maka barangkali inilah momen yang tepat untuk memaknai ulang qurban bukan semata sebagai ritual tahunan, tetapi sebagai panggilan untuk melepaskan diri dari ego antroposentris dan kembali menempatkan diri sebagai bagian dari semesta yang saling terhubung dan saling bergantung. Dalam perspektif ini, qurban menjadi jembatan antara kesalehan spiritual dan tanggung jawab ekologis; ia bukan hanya tentang relasi vertikal dengan Tuhan, tetapi juga relasi horisontal dengan ciptaan-Nya.

Pada titik ini spirit Idul Adha perlu dipandang lebih dari sekadar seremoni penyembelihan hewan. Tapi panggung spiritual tahunan yang mengajarkan pengorbanan atas ego dan kepentingan diri demi kemaslahatan yang lebih luas. Bukan hanya antar manusia, tetapi juga terhadap bumi dan seluruh kehidupan yang menjadi bagian dari amanah Ilahiyah.

Dalam konteks ini, konsep ekoteologi Islam hadir sebagai jembatan pemikiran yang mengaitkan nilai-nilai spiritual dengan tanggung jawab ekologis. Spirit Idul Adha sesungguhnya sejalan dengan etos menjaga keseimbangan alam (mīzān) yang diamanahkan dalam Al-Qur’an. Gagasan ini juga seiring dengan pilar “sustainability” dalam rancangan visi strategis UIN Jurai Siwo Lampung yang menempatkan keberlanjutan sebagai salah satu spirit inti dari transformasi institusi pendidikan Islam. Maka, perenungan terhadap qurban dalam lanskap ekoteologi memberi makna baru atas ibadah: bukan hanya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga kepada keharmonisan hidup yang lebih luas dan berkelanjutan.

Ritual qurban sejatinya berakar pada kisah monumental antara Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Dalam narasi tersebut, kita menemukan nilai pengorbanan yang tidak berhenti pada aspek simbolik penyembelihan hewan, tetapi menjelma menjadi laku hidup yang penuh kesadaran, keikhlasan, dan tanggung jawab. Qurban mengajarkan bahwa manusia tidak boleh diperbudak oleh hasrat kepemilikan, melainkan harus siap melepaskan sesuatu yang berharga demi kebaikan yang lebih besar.

Pada titik ini, qurban memancarkan nilai keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Penyembelihan hewan menjadi simbol konkret dari pengendalian diri atas naluri eksploitatif. Sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur’an, “daging dan darah hewan qurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu” (Q.S. Al-Hajj: 37). Ayat ini menegaskan bahwa esensi qurban terletak pada kualitas batin, bukan semata kuantitas ritual.

Dengan demikian, qurban tidak hanya menjadi sarana spiritual, tetapi juga instrumen etis untuk membangun harmoni sosial dan ekologis. Ia mengajarkan pengelolaan sumber daya dengan bijak, distribusi yang adil, serta kepekaan terhadap makhluk lain sebagai bagian dari tatanan ilahiah yang harus dijaga keseimbangannya.

Dalam pandangan Islam, manusia bukanlah pemilik bumi, melainkan khalifah wakil Allah di bumi yang mengemban amanah untuk menjaga dan merawat ciptaan-Nya. Prinsip ini membentuk dasar dari apa yang kini dikenal sebagai ekoteologi Islam, yakni pemahaman teologis yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari penghambaan kepada Allah. Al-Qur’an menyebutkan, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (Q.S. Al-A’raf: 56), yang menegaskan larangan eksploitasi yang merusak tatanan ekologis.

Konsep mīzān (keseimbangan) dalam Q.S. Ar-Rahman: 7-9 juga mengajarkan bahwa seluruh alam semesta diciptakan dalam keseimbangan yang presisi. Manusia diberi akal dan daya untuk mengelola, bukan merusak. Dalam konteks ini, tindakan merawat bumi bukan hanya kewajiban moral, melainkan ibadah yang berdimensi kosmologis.

Ekoteologi Islam mengajarkan bahwa kesalehan seseorang tidak hanya tercermin dalam ritual pribadi, tetapi juga dalam tanggung jawab sosial dan ekologisnya. Setiap bentuk perusakan lingkungan sejatinya adalah pengingkaran terhadap amanah Ilahiah. Maka, praktik qurban yang tidak memperhatikan kesejahteraan hewan, dampak limbah, atau distribusi yang tidak adil, secara teologis bisa dikritisi sebagai kekurangan dalam mewujudkan kesalehan ekologis yang utuh.

Spirit Keberlanjutan dan Green Islam

Dalam rancangan Renstra 2025-2029 tim perumus menempatkan sustainability sebagai salah satu pilar utama transformasi kelembagaan. Pilar ini bukan sekadar jargon pembangunan hijau, melainkan kerangka nilai yang menuntut integrasi antara visi keilmuan, praktik kelembagaan, dan kesadaran ekologis. Dalam konteks ini, Idul Adha dan praktik qurban dapat dimaknai ulang sebagai momen edukatif dan reflektif menuju kehidupan berkelanjutan.

Konsep keberlanjutan dalam Islam juga tidak pernah berdiri sendiri dari akar spiritualitasnya. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa bumi adalah titipan, bukan milik mutlak manusia. Dalam Al-Qur’an, manusia diberi amanah sebagai khalifah untuk merawat bumi, bukan menguasainya tanpa batas (QS. Al-A’raf: 56). Maka, keberlanjutan bukan sekadar isu teknis lingkungan, melainkan laku spiritual yang menyatu dengan dimensi tauhid.

Spirit keberlanjutan inilah yang kini berkembang dalam gerakan Green Islam; sebuah cara pandang dan praksis keagamaan yang menempatkan ekologi sebagai bagian integral dari kesalehan. Gerakan ini mengajak umat untuk kembali ke gaya hidup halal-thayyib: tidak hanya halal secara hukum, tetapi juga baik, bersih, dan ramah terhadap kehidupan. Dalam konteks qurban, itu berarti memperhatikan kesejahteraan hewan, menghindari pemborosan, dan mengelola limbah secara bijak.

Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, ajaran Islam menawarkan prinsip-prinsip etis yang sangat relevan: la dharara wa la dhirar (tidak merugikan diri dan orang lain), tawazun (keseimbangan), serta maslahah (kemaslahatan bersama). Nilai-nilai ini menjadi jembatan antara ajaran agama dan agenda global seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

Oleh karena itu, memaknai ulang qurban dalam kerangka keberlanjutan bukanlah hal baru bagi Islam, melainkan sebuah ikhtiar untuk menghidupkan kembali makna mendalam dari syariat itu sendiri, sebuah ibadah yang tidak hanya memperkuat relasi kita dengan Tuhan, tetapi juga menyembuhkan hubungan kita dengan bumi.

Praktik Baik dan Inovasi Qurban Ramah Lingkungan

Di berbagai tempat, kesadaran ekologis mulai tumbuh dalam pelaksanaan qurban. Beberapa komunitas Muslim telah menerapkan praktik qurban ramah lingkungan: menggunakan wadah daun atau besek bambu alih-alih plastik, pemanfaatan teknologi bioremediasi untuk mengelola limbah qurban menjadi pupuk kompos, hingga mendistribusikan daging berbasis sistem data agar lebih tepat sasaran dan menghindari penumpukan yang mubazir.

Inisiatif seperti ini bukan hanya soal efisiensi logistik, tetapi juga perwujudan nilai Islam yang menolak pemborosan (tabdzir) dan mendorong kebermanfaatan. Kampanye “Qurban Tanpa Sampah” yang digaungkan di berbagai kota, serta fatwa MUI tentang kesejahteraan hewan, menunjukkan bahwa semangat keberlanjutan telah mulai diarusutamakan dalam praktik ibadah.

Masjid, pesantren, dan kampus dapat menjadi simpul penting dalam memperluas inovasi ini. Di lingkungan akademik, misalnya, qurban dapat dijadikan laboratorium etika ekologis: bagaimana mahasiswa belajar tidak hanya tentang prosedur penyembelihan yang sah, tetapi juga tentang bagaimana menyelaraskan ibadah dengan kepekaan terhadap lingkungan hidup.

Inovasi tidak harus berskala besar. Kadang ia berawal dari kesadaran kecil: memilih vendor lokal untuk hewan ternak, mendokumentasikan distribusi secara transparan, atau bahkan mengedukasi anak-anak tentang makna qurban yang holistik. Semua itu menegaskan bahwa spiritualitas dan keberlanjutan bukan dua hal yang terpisah, tetapi bisa berjalan beriringan dalam harmoni yang indah.

Integrasi nilai-nilai qurban dengan spirit sustainability sebagaimana dirumuskan dalam rancangan visi strategis UIN Jurai Siwo Lampung merupakan langkah visioner yang mempertemukan antara spiritualitas dan tanggung jawab planetaris. Dari momen ini, kampus sebagai institusi pendidikan Islam ditantang untuk memelopori model ibadah yang berdampak luas baik secara spiritual, sosial, maupun ekologis.

Maka, kesalehan hari ini harus melampaui dinding masjid dan ruang kelas kampus. Ia harus hadir dalam cara manusia memproduksi, mengonsumsi, dan berbagi sumber daya alam. Idul Adha memberi kita kesempatan untuk merenung sekaligus bertindak: menjadikan bumi sebagai bagian dari yang kita sembelih dalam cinta dan tanggung jawab kepada Allah. Ekoteologi bukan hanya narasi alternatif dalam memahami ibadah, tetapi tuntunan spiritual Islam dalam menyelamatkan bumi. Di tengah ancaman ekologi global, qurban adalah suara profetik yang menyeru keseimbangan dan keberlanjutan.

Selamat hari raya Idul Adha, mohon maaf lahir batin, semoga Allah SWT memberkahi kita semua dengan kabaikan, kesehatan dan rejeki yang berlimpah. Aamiin!

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.