oleh :
Dr. Ahmad Supardi, M.A.
(Kabiro AUAK UIN JUSILA)
Jika dilihat dalam perspektif historis, ibadah qurban adalah salah satu ibadah tertua di dunia, sebab ibadah ini telah dilaksanakan oleh umat manusia sejak Nabi Adam as, yakni dengan di- perintahkannya Qabil dan Habil berqurban oleh Allah swt. Qur- ban secara bahasa berasal dari akar kata qaraba–yaqrabu–qurbân, berarti mendekatkan diri. Qurban dimaksudkan pada awalnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan harta yang kita miliki. Namun dalam perkembangan selanjutnya, qurban adalah mendekatkan diri kepada Allah swt dengan me- nyembelih hewan peliharaan berupa sapi, lembu, kambing atau domba.
Perintah qurban diawali dengan adanya perselisihan antara Qabil dan Habil disebabkan pasangan perkawinan. Qabil diha- ruskan mengawini saudari kembar Habil, sedangkan Habil di- haruskan mengawini saudari kembar Qabil. Bagi Habil tak ada masalah, tetapi bagi Qabil justru menjadi masalah besar, sebab konon kabarnya saudara kembarnya lebih cantik daripada saudari kembar Habil. Menurut Qabil, hal ini tidak adil, sebab seharusnya kembarannya menikah dengan dirinya sendiri, sedangkan kembaran Habil menikah pula dengan Habil sendiri. Yang perlu digaris bawahi di sini bahwa masalah utamanya adalah masalah perempuan. Perempuan memang menjadi salah satu penyembab timbulnya banyak masalah besar di dunia ini.
Untuk merespon protes keras yang disampaikan Qabil, maka kedua putra Nabi Adam as ini diperintahkan untuk berqurban, dengan mengurbankan hasil usaha masing-masing. Habil yang peternak mengurbankan binatang ternaknya. Sedangkan Qabil yang petani mengurbankan hasil pertaniannya. Anehnya, qurban Habil diterima oleh Allah swt sebab Habil memberikan hasil yang terbagus untuk qurban, sedangkan qurban Qabil ditolak-Nya sebab Qabil memberikan yang terjelek dari penghasilannya. Kisah Qabil dan Habil ini, memberikan makna bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, haruslah dengan harta yang paling baik.
Qurban Ujian Keimanan
Ibadah qurban diperkuat dan bahkan dilembagakan pada masa Nabi Ibrahim As bahkan beliau sendiri sebagai pelaku uta- manya, yakni dengan diperintahkannya menyembelih anaknya Ismail as. Ibrahim mendapatkan wahyu dari Allah swt berdasar- kan mimpinya yang nyata. Diceritakan secara gamblang, terbuka, penuh haru antara seorang ayah yang sangat mencintai anaknya dengan seorang anak yang sangat menghormati lagi mematuhi orang tuanya. Cerita ini menjadi kisah abadi dalam al-Qur’an Surat Ash-Shaffaat: 100-101.
Dalam kisah itu diceritakan bahwa pada suatu malam, Allah swt menguji keimanan Nabi Ibrahim as melalui mimpi yang baik dan nyata, agar Ibrahim mengorbankan putra kandungnya yang sangat disayanginya yaitu Ismail. Maka Ibrahimpun menyampaikan mimpinya itu kepada Ismail seraya menanyakan bagaimana pendapatnya. Oleh karena Ismail termasuk pemuda yang shaleh dan taat mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrahim sebagai bapaknya. Ia menjawab: “Wahai Bapakku sayang, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan Ismail untuk siap disembelih, maka Allah swt berfirman: “Hai Ibrahim, sesungguh- nya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian nyata.” Pada akhir cerita disebutkan bahwa Allah swt mengganti anak itu dengan seekor domba yang sangat besar.
Untuk mengenang kepatuhan Nabi Ibrahim dan Ismail untuk melaksanakan perintah Allah swt, maka Islam mensyari’atkannya dalam bentuk ibadah qurban yaitu dengan menyembelih binatang sesudah Shaat Id, yakni dengan penyembelihan hewan, berupa sapi, lembu atau kambing, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak kepadamu. Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan ber- kobanlah” (Qs. Al-Kautsar: 1-2).
Pada setiap Hari Raya Qurban, seorang Muslim mendapat kesempatan untuk beramal dengan penyembelihan hewan qurban. Dilihat dari sudut kejiwaan, perbuatan amal yang demikian adalah semacam latihan untuk meningkatkan semangat berkorban, yaitu dengan mengorbankan sebagian kecil rezeki yang dikaruniakan Allah untuk kepentingan manusia yang lain, bahkan juga di dalamnya termasuk keuntungan dirinya sendiri. Itulah sebabnya, penggalian makna di balik qurban menjadi menarik untuk dibahas. Sebagaimana diketahui bahwa penyembelihan hewan qurban itu mengandung tiga aspek, yaitu:
Pertama, aspek ubudiyah, yaitu berbakti dan mendekatkan diri kepada Allah swt (hablum minallah) sesuai dengan arti perkataan ‘qurban’ yang berasal dari pokok kata ‘qaraba’ yang artinya mendekatkan diri. Maka seorang yang melakukan penyembelihan qurban itu, berarti mendekatkan dirinya kepada Allah swt dan sebagai imbangannya Allah pun akan mendekatkan dirinya kepada hamba tersebut dengan penuh sifat Rahman dan rahimNya.
Kedua, aspek ijtima’iyah (hablum minannas), dengan melakukan penyembelihan hewan qurban itu, dapat dikembangkan rasa setia kawan, persaudaraan dan saling pengertian antara sesama ummat manusia, terutama kaum fakir miskin yang sangat membutuhkan daging qurban itu. Bagi seorang yang kaya raya, daging qurban tidaklah ada artinya apa-apa baginya, tetapi bagi fakir miskin memiliki arti yang sangat besar. Orang kaya boleh dikata, setiap hari makan daging sapi, lembu, kambing dan sebagainya. Tetapi bagi seorang fakir miskin, sekali sebulanpun belum tentu pernah makan daging. Daging qurban ini menjadi rajutan tali shilaturrahim antara seorang kaya dengan seorang miskin dan sekaligus mempererat hubungan kasih saying di antara mereka.
Ketiga, aspek nafsiah, yaitu pembentukan pribadi seorang muslim yang ditandai dengan penyembelihan sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri yang bersangkutan seperti sifat serakah, ingin menang sendiri, tidak memperdulikan orang lain dan lain-lain sebagainya. Manusia dalam bahasa Arab disebut dengan hayawanun natiq (hewan yang berakal). Hal ini berarti bahwa manusia pada dasarnya tetap membawa sifat-sifat ke-binatangan. Untuk meningkatkan harkat dan marwahnya dari hewan pada umumnya, manusia diberikan kelebihan berupa akal yang bisa berfikir. Jika akal manusia itu tidak dapat dipergunakan berfikir dan bertindak ke jalan yang benar, maka manusia jatuh derajatnya lebih rendah daripada binatang.
Ibadah qurban, sebagaimana ibadah dalam islam, ternyata pada hakikatnya adalah merupakan tanda syukur kepada Sang Pencipta Allah swt. guna mempertebal iman dan mempertajam taqwa kepadaNya. Ibadah Qurban mendidik manusia agar rela berkorban dalam menyambut kepentingan agama. Ibadah qurban menggalang rasa kebersamaan dan saling pengertian, saling memahami dan saling membantu dalam kebaikan dan taqwa.
Pentingnya qurban itu akan lebih dirasakan lagi, apabila kita memahami bahwa tidak ada satu pun bentuk kehidupan yang sepi dari pengorbanan. Menurut ajaran Islam kehidupan adalah pengabdian, karena kehidupan itu memang dihamparkan oleh Allah swt kepada manusia untuk mengabdi kepada-Nya maupun kepada sesama makhluk. Salah satu makna pengabdian, dalam kaitannya dengan qurban ini, adalah usaha sadar dari jiwa imani terhadap nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Dengan nikmat itulah manusia memanfaatkannya untuk dibaktikan kepada Allah swt, sesuai dengan janji kita setiap shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam.”
Membunuh Sifat Rakus
Sifat rakus hanya ada pada binatang, tetapi pada manusia juga terdapat sifat-sifat kebinatangan ini. Gambarn sifat ini terdapat dalam kisah di bawah ini. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Ibrahim hidup sekitar abad ke 18 SM. Pada masanya ini dikenal adanya kutub pemikiran yang berbeda dalam hal korban yang berwujud manusia terhadap yang disembah. Kutub pemikiran yang pertama menyatakan bahwa manusialah yang paling pantas untuk dijadikan korban terhadap sesembahan, sedangkan pada kutub pemikiran yang lain menyatakan bahwa manusia terlalu mulia untuk dijadikan korban.
Ajaran Nabi Ibrahim as memberikan jalan keluar atas kedua kutub pemikiran tersebut, di mana Allah swt memerintahkan Nabi Ibrahim as melalui mimpinya yang benar untuk menyembelih putranya Ismail. Hal ini memberi isyarat bahwa sekalipun anak kandung sendiri, buah hati belahan jiwa, apabila diminta Allah swt, tidak ada alasan untuk menolaknya. Karena penolakan adalah sikap ingkar sedangkan kepatuhan adalah perwujudan dari sikap taqwa kepada Allah swt.
Namun demikian bukan berarti tradisi korban yang berwujud manusia itu tetap dipertahankan, sebab pada saat pisau dihunjamkan oleh Nabi Ibrahim as tepat di batang leher Ismail, Allah swt langsung menggantinya dengan seekor domba atau kibas. Hal ini memberi isyarat bahwa manusia yang nota bene adalah makhluk tertinggi ciptaan Allah swt, terlalu mulia untuk dijadikan korban, sekalipun itu untuk memperoleh berkenan dan ridla-Nya, melainkan dianggap cukuplah seekor domba sebagai pengganti yang dijadikan korban terhadap-Nya.
Uraian di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa yang harus dibunuh, disembelih, dan dikorbankan itu bukanlah manusianya, tetapi adalah sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri manusia itu sendiri, yang diwujudkan secara simbolik dengan seekor domba dalam rangka qurban (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: “Tidak akan sampai kepada Allah daging dan darahnya, akan tetapi yang sampai kepada- Nya adalah ketaqwaannya” (Qs. Al-Hajj: 37).
Dengan demikian, kita berharap semoga qurban yang dilaksanakan pada saat Hari Raya Idul Adha maupun hari-hari biasa dalam bentuk yang lain, kiranya dapat membunuh sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri yang berkorban tersebut. Sifat-sifat kebintangan tersebut antara lain sifat serigala yang melambangkan penindasan dan kekejaman, sifat anjing yang melambangkan keserakahan dan kerakusan, sifat babi yang me- lambangkan halal-haram (bersih-kotor) sikat dulu urusan belakangan, sifat tikus yang melambangkan kelicikan, sifat domba yang melambangkan penghambaan, dan sifat-sifat binatang lainnya yang melekat pada diri manusia.
Wallahu a’lam.