socio
eco-techno
preneurship

Sisi Lain Mahasiswa: Mimpi Tak Boleh Tinggal di Bantal

bg dashboard HD

metrouniv.ac.id – 1/05/2025 – 3 Dzulqo’dah 1446 H

Dr. Buyung Syukron, S.Ag. SS., MA. (Dosen IAIN Metro)

Sudah saatnya mimpi-mimpi mahasiswa ini tidak lagi dipaksa untuk tetap tinggal di bantal. Mereka butuh ruang, dukungan, dan sistem yang adil agar bisa benar-benar tumbuh dan terwujud. Karena jika pendidikan adalah hak semua orang, maka perjuangan mahasiswa seharusnya tidak menjadi kisah duka yang terus berulang.

Refleksi

Tulisan pendek ini hanya ingin bercerita sekelumit pengalaman manis akan tetapi lebih banyak pahitnya dari kehidupan sosok manusia yang bernama mahasiswa. Hadirnya tulisan ini tentu dengan ekspektasi akan mampu mengguggah mahasiswa untuk tetap semangat, berkontribusi dan berjuang menuntut ilmu diselasela kepahitan dan kesulitan hidup yang menderanya. Menjadi mahasiswa adalah sebuah anugerah sekaligus tantangan. Di balik bangku kuliah yang terlihat menjanjikan masa depan cerah, tersembunyi kisah-kisah duka yang kerap tak terdengar. Banyak dari kita yang melangkah ke perguruan tinggi dengan satu bekal utama: mimpi. Tapi sayangnya, mimpi tak cukup untuk membuat perut kenyang atau membayar uang kuliah. Tak sedikit mahasiswa yang harus membagi waktunya antara kuliah, kerja paruh waktu, dan organisasi. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk bertahan hidup. Untuk memastikan biaya sewa kamar kos tetap terbayar, makan tiga kali sehari tetap ada, dan tentu saja, uang semesteran tak tertunggak. Di luar sana, banyak mahasiswa yang harus memilih antara makan siang atau ongkos pulang. Antara membeli buku referensi atau mengirim uang ke kampung halaman.

Kisah duka mahasiswa bukanlah drama, tapi realita yang terus terjadi. Di saat sebagian orang bisa tidur tenang dengan mimpinya, banyak mahasiswa justru harus menahan kantuk demi menyelesaikan tugas sambil bekerja, karena mimpi mereka tak boleh hanya tinggal di bantal. Mimpi harus diperjuangkan, meski dengan mata sembab dan tubuh yang lelah. Pendidikan tinggi memang menjanjikan peluang, tapi sistem yang ada belum sepenuhnya ramah bagi mereka yang berasal dari kalangan tak mampu. Beasiswa masih terbatas, dan biaya pendidikan terus meroket. Pemerintah dan institusi pendidikan seharusnya melihat lebih jauh ke dalam kehidupan nyata mahasiswa, bukan hanya melihat indeks prestasi mereka, tapi juga indeks perjuangan mereka.

Duka Perih menjadi Mahasiswa

Kisah duka mahasiswa bukanlah drama, tapi realita yang terus terjadi. Di saat sebagian orang bisa tidur tenang dengan mimpinya, banyak mahasiswa justru harus menahan kantuk demi menyelesaikan tugas sambil bekerja, karena mimpi mereka tak boleh hanya tinggal di bantal. Mimpi harus diperjuangkan, meski dengan mata sembab dan tubuh yang lelah. Mengapa diawali dari duka? Penulis mengandaikan hidup seorang mahasiswa dengan analogi orang yang tengah berlayar di luasnya samudera dengan fasilitas yang tidak memadai dan mendukung. Jika hidup adalah sebuah perjalanan panjang, maka menjadi mahasiswa ibarat menyeberangi lautan dengan sampan kecil. Di sekeliling terbentang ombak besar bernama tanggung jawab, angin kencang bernama tuntutan sosial, dan badai tak terduga bernama realitas ekonomi. Di tengah-tengah samudera itulah, banyak mahasiswa berlayar—dengan perahu yang berbeda, namun arah yang sama: menuju mimpi. Sayangnya, tidak semua perahu bisa mengapung dengan baik. Beberapa bocor karena masalah finansial, beberapa oleng karena beban mental, dan tak sedikit yang karam karena kelelahan yang tak pernah selesai. Kita sering mendengar kisah sukses mahasiswa berprestasi, yang berhasil meraih beasiswa ke luar negeri, yang lulus dengan predikat cumlaude, yang jadi pembicara muda di konferensi internasional. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidur dengan perut kosong demi bisa beli pulsa internet? Yang kerja malam setelah seharian kuliah, bukan karena mengejar mimpi gaya hidup, tapi mimpi agar tetap bisa kuliah? Penulis yakin tak banyak yang tahu, dan banyak pula yang tak peduli.

Faktualitas -fakta dan realitas- yang dihadapi mahasiswa di atas pada akhirnya menidurkan mimpinya bukan di atas bantal empuk, tapi di lantai keras kehidupan. Dan inilah ironi pendidikan kita: katanya pendidikan adalah senjata melawan kemiskinan, tapi untuk mengaksesnya, kadang seseorang bernama mahasiswa harus bertaruh dengan kemiskinan itu sendiri. Maka tidak terlalu berlebihan apabila banyak mahasiswa kita saat ini yang membuat kalimat satire dengan berkata: “Mengapa pendidikan tinggi masih menjadi mimpi mahal bagi mereka yang berasal dari keluarga biasa? Mengapa sistem belum sepenuhnya berpihak pada mereka yang berjuang dengan segala keterbatasan?”. Beasiswa masih menjadi barang langka, seringkali hanya diberikan pada mereka yang sudah cukup “sempurna”. Padahal, di balik nilai IPK paspasan, mungkin ada seseorang yang harus memilih tidur hanya 3 jam sehari demi mengejar dua dunia: kuliah dan penghidupan untuk bertahan hidup. Terlalu berlebihan memang kalau kita berharap tentang sebuah posisi dimana dengan realitas dan fakta ini harusnya Negara melalui Perguruan tinggi seharusnya hadir. Institusi pendidikan seharusnya lebih peka. Dosen, birokrat kampus, bahkan sesama mahasiswa seharusnya berhenti menilai orang hanya dari indeks prestasi atau jumlah sertifikat seminar. Karena perjuangan yang sebenarnya tak pernah tercetak di transkrip nilai. Pendidikan tinggi memang menjanjikan peluang, tapi sistem yang ada belum sepenuhnya ramah bagi mereka yang berasal dari kalangan tak mampu. Beasiswa masih terbatas, dan biaya pendidikan terus meroket. Pemerintah dan institusi pendidikan seharusnya melihat lebih jauh ke dalam kehidupan nyata mahasiswa, bukan hanya melihat indeks prestasi mereka, tapi juga indeks perjuangan mereka.

Banyak mahasiswa yang memulai hari bukan dengan secangkir kopi dan semangat, tapi dengan rasa cemas: apakah hari ini cukup uang untuk makan? Apakah besok masih bisa membayar sewa kos? Apakah nilai turun karena harus absen kerja malam kemarin? Mereka belajar di kelas dengan tubuh hadir tapi pikiran setengah melayang, terpecah antara rumus statistika dan tagihan listrik yang menumpuk. Mereka menuliskan esai sambil menahan kantuk di bangku warteg, atau mengetik laporan di balik meja kasir. Mereka yang diamdiam menangis di kamar kos karena rindu rumah, tapi tak bisa pulang karena ongkos bus tak masuk anggaran. Yang menahan malu ketika teman-temannya pergi hangout, sedang ia harus menunggu jadwal shift untuk bekerja. Sudah saatnya kisah duka mahasiswa ini tidak hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah. Mimpi-mimpi itu terlalu berharga untuk dibiarkan membusuk di bawah bantal. Mereka harus diberi ruang untuk tumbuh, disiram dengan dukungan, dan dilindungi dengan kebijakan yang adil. Mahasiswa bukan hanya pemilik masa depan bangsa—mereka adalah masa kini yang harus kita jaga. Jangan biarkan mereka terus mengorbankan kesehatan mental, harga diri, dan kebahagiaan hanya demi “menyambung kuliah”. Karena mimpi, tak seharusnya hanya tinggal di bantal. Sudah saatnya mimpi-mimpi mahasiswa ini tidak lagi dipaksa untuk tetap tinggal di bantal. Mereka butuh ruang, dukungan, dan sistem yang adil agar bisa benarbenar tumbuh dan terwujud. Karena jika pendidikan adalah hak semua orang, maka perjuangan mahasiswa seharusnya tidak menjadi kisah duka yang terus berulang.

Wahai kader penerus Bangsa, mimpi adalah benih peradaban. Ia lahir dari harapan, tumbuh di dalam pikiran, dan hanya akan bermakna ketika diberi ruang untuk berjalan di dunia nyata. Bantal memang tempat yang nyaman untuk menyimpan mimpi, tapi tidak akan pernah cukup untuk mewujudkannya. Bila mimpi hanya dibiarkan tidur, maka ia akan mati pelan-pelan di pelukan kenyamanan. Hidup menuntut keberanian untuk mengangkat kepala dari bantal, melangkah ke dalam realita, dan menghadapi tantangan dengan tekad. Mimpi sejati bukan yang indah dalam tidur, tapi yang diperjuangkan meski penuh peluh dan luka. Karena pada akhirnya, yang membedakan antara pemimpi dan perubah dunia hanyalah satu hal: aksi.

Penutup: Bangun dari Mimpi

Mahasiswa ku, pada akhirnya, mimpi bukan sekadar bunga tidur yang manis di atas bantal empuk—ia adalah bara kecil yang menuntut dijaga, dipelihara, dan diperjuangkan. Sebab mimpi yang hanya tinggal di bantal, akan selamanya jadi angan; tapi mimpi yang dibawa bangun, dituntun oleh langkah kaki yang lelah namun setia, itulah yang akan menjelma jadi kenyataan. Maka, bangkitlah kalian, karena mimpi tidak diciptakan untuk tertidur, tapi untuk dihidupkan. Maka, jangan biarkan mimpi tertinggal di bantal. Bangkitlah, karena sekali lagi dunia sedang menunggu mimpi itu jadi nyata. Jadikan mimpimu menjadi kisah hidup yang berarti. Ketika kalian berani bangkit dan bergerak, itulah saat mimpi menemukan jalannya, menjadi kenyataan yang memberi makna bagi perjalanan kita.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.