Memories of good people cannot be captured in writings.
They are captured by heart.
metrouniv.ac.id – 30/09/2024 – 3 Robiul Akhir 1446 H
Prof. Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum. (Wakil Dekan 3 FUAD/Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN Metro)
Alkisah, pernah hidup seorang Sufi yang memiliki empat istri. Betul, empat, tidak keliru. Suatu hari, sang Sufi mengajukan sebuah pertanyaan yang sama kepada keempat istrinya. Kepada istri keempat, istri yang paling menarik, ia bertanya, “Jika kelak aku meninggal dunia, akankah kau mengantarku ke peristirahatan terakhir?” Sang istri menjawab, “Maafkan aku Kanda, aku hanya bisa mengantarmu sampai gerbang rumah kita.”
Lalu Sufi kita berpaling ke istri ketiga, dan bertanya: “Jika aku meninggal dunia, akankah kau mengantarku ke peristirahatan terakhir?” Istri ketiga menjawab, “Tak usah risau Kanda, aku pasti akan mengantarmu hingga pemakaman.” Lalu ia lanjut bertanya pada istri kedua, “Bagaimana denganmu istri kedua?” Istri kedua menjawab, “Jangan khawatir Kanda, aku lebih baik dari istri keempat dan ketigamu, karena aku akan ikut bersama Kanda hingga liang lahat.”
Sang Sufi tampak bahagia mendengar jawaban istri keduanya. Kemudian ia lanjut bertanya, “Bagaimana denganmu, istri pertamaku?” Istri pertama menjawab, “Kanda tercinta, jika istri pertamamu akan mengantar sampai gerbang, dan istri ketigamu sampai pusara, lalu istri keduamu sampai liang lahat, maka aku akan menemanimu hingga ke hadapan sang Khalik.” Mendengar jawaban istri pertama, sang suami tertunduk terharu dan berkata, “Sudilah kiranya engkau memaafkan aku wahai istri pertamaku. Maafkan aku yang terlalu sering mengabaikan dirimu selama ini.”
Sufi dengan istri empat sejatinya adalah simbol tentang hubungan manusia dengan kehidupan ini. Istri keempat adalah perlambang dari harta benda yang dimiliki. Ia menjadi yang paling menawan dan manusia sering meluangkan terlalu banyak waktu untuk memenangkannya. Padahal, ketika manusia meninggal, harta benda hanya mengantarnya hingga pekarangan rumah saja. Lalu, istri ketiga melambangkan keluarga dan sanak famili, yang kelak ketika manusia meninggal, mereka akan mengantar hingga ke pusara. Sementara itu, istri kedua adalah simbol dari raga atau jasad yang akan menemani ruh manusia masuk ke dalam liang lahat. Terakhir, istri pertama adalah perlambang amal kebajikan yang akan menemani dan menjadi cahaya ketika manusia menghadap Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi.
Adalah di Agustus tanggal 8 tahun 2011, beliau menceritakan kami kisah sufistik di atas. Pada sebuah kultum Ramadhan, siang bakda sholat zuhur di masjid kampus kami. Sebuah kisah lisan yang kami kami ceritakan ulang (retelling) dalam bentuk tulisan, dengan tetap mempertahankan alur utama cerita. Jikalah ada inspirasi putih, ibroh, atau insight yang bersumber dari kisah ini dan bermuara kepada kebaikan, semoga kebaikan tersebut turut dialirkan untuk ustadzuna yang telah mendahului kami. Kami sepenuhnya sadar bahwa kenangan indah dari seorang pribadi yang baik, tak mungkin ditangkap sepenuhnya oleh tulisan. Tidak juga oleh gambar. Karena kebaikan lebih mampu disimpan oleh hati. Wallahu a’lam.