socio
eco-techno
preneurship

WAISAK & HAJI: DUA PERJALANAN SUCI, SATU PESAN KEMANUSIAAN

IMG-20250513-WA0011

Oleh: Prof. Dr. Ida Umami, M.Pd.,Kons.

 

Sekilas, ‘Waisak’ dan ‘Haji’ tampak berasal dari dua dunia yang berbeda, ajaran Buddha dan Islam, dua agama besar yang masing-masing memiliki sejarah, ritus, dan simbolnya sendiri. Namun jika kita hayati lebih dalam, keduanya sesungguhnya mengajak manusia pada jalan yang sama: melepas ego, menumbuhkan kasih sayang, dan membangun peradaban spiritual yang menghormati sesama makhluk.

‘Waisak’, yang dikenal juga sebagai Hari Tri Suci Waisak, memperingati tiga peristiwa agung: kelahiran Pangeran Siddharta, pencapaiannya menjadi Buddha (pencerahan), dan wafatnya (Parinibbana). Sementara ‘Haji’ adalah puncak ibadah tahunan umat Islam ke Tanah Suci, mengingat keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam penghambaan sejati kepada Allah SWT.

Meski berbeda dalam bentuk, keduanya mengandung ajaran luhur universal yang dapat menjadi cermin batin bagi semua umat manusia.

Pelepasan Diri : Jalan Menuju Kedamaian Batin

Pangeran Siddharta meninggalkan istana di usia 29 tahun, meninggalkan kekayaan dan kedudukan demi mencari makna sejati kehidupan. Seperti tertulis dalam ‘Majjhima Nikāya’ (MN 26), ia berkata: “Terusir oleh ketidaktahuan, aku mencari kebebasan dari penderitaan.” Ini adalah simbol pelepasan dari keterikatan duniawi menuju pencerahan.

Hal serupa terjadi saat umat Islam melaksanakan Haji. Dengan pakaian ihram yang seragam putih polos, tanpa jahitan, mereka melepas identitas sosial dan ekonomi. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 197 menegaskan:
“Barang siapa yang menunaikan ibadah haji, maka tidak boleh rafats, tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan.”
Menjadi jelaslah Ibrahnya : jalan spiritual sejati menuntut kerendahan hati, pelepasan ego, dan kesiapan untuk berubah dari dalam.

Disiplin Diri dan Kepedulian Sosial

Baik dalam perayaan Waisak maupun pelaksanaan Haji, terdapat penguatan nilai disiplin dan kepedulian.

Dalam Dhammapada (ayat 183), Buddha mengajarkan:
“Tidak berbuat jahat, senantiasa melakukan kebajikan, dan membersihkan hati dan pikiran, itulah ajaran para Buddha.”

Umat Buddha menerapkannya dengan praktik meditasi, melatih batin, dan melakukan kegiatan sosial seperti donor darah, pembebasan hewan, serta bakti sosial di rumah sakit dan panti asuhan.

Umat Islam yang berhaji pun dilatih untuk mengatur waktu, sabar dalam antrian, dan menahan amarah. Wukuf di Arafah misalnya, adalah momen kontemplatif sekaligus sosial, tempat umat Islam dari berbagai latar menyatu dalam doa dan introspeksi.

Ibadah haji membentuk karakter sabar, empatik, dan toleran. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa melaksanakan haji dan tidak berkata kotor serta tidak berbuat fasik, maka ia pulang seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.”

Kesementaraan Hidup dan Kesatuan Makhluk

Waisak mengingatkan bahwa semua makhluk mengalami penderitaan, perubahan, dan akhirnya kematian. Inilah hukum anicca (ketidakkekalan). Kesadaran ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mendorong welas asih, karena semua makhluk merasakan luka dan kehilangan yang sama.

Begitu pula dalam haji, wukuf di Arafah menyadarkan bahwa kita akan kembali ke tanah, sama seperti berjuta-juta manusia lainnya. Tak ada gelar, harta, atau kuasa yang bisa dibawa ke liang kubur – yang abadi hanyalah amal dan cinta kasih.

Dari Borobudur hingga Arafah, manusia diajak merenung : kita hanya tamu di dunia ini, dan sebaik-baik tamu adalah yang meninggalkan kebaikan bagi sesama.

Melampaui Ritual, Menjadi Pribadi Mulia

Borobudur yang berdiri megah dan Ka’bah yang menjadi kiblat dunia adalah dua pusat spiritual yang mengarahkan umat manusia menuju satu nilai: “transformasi batin”.

Waisak dan Haji bukan hanya milik umat Buddha dan Muslim. Spirit-nya adalah milik semua yang ingin hidup lebih sadar, lebih peduli, dan lebih bijak. Seperti sabda Buddha:
“Kemenangan sejati bukanlah mengalahkan orang lain, tapi menaklukkan diri sendiri. (Dhammapada 103)

Dan sabda Nabi Muhammad SAW:
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, melainkan yang bisa menahan amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua ajaran besar ini memperlihatkan bahwa spiritualitas sejati melampaui ritual, menuju perbaikan akhlak dan kemanusiaan.Mari jadikan momen Waisak dan Haji sebagai cermin refleksi: apakah kita sudah hidup sesuai ajaran luhur itu?

Karena pada akhirnya di mata semesta, agama bukan tentang siapa yang menang berdebat, tapi siapa yang lebih dulu memeluk sesama dengan kasih.

Wallahua’lam

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.