socio
eco-techno
preneurship

ANTRI

bg dashboard HD

metrouniv.ac.id –
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si.
(Direktur PascasarjanaIAIN Metro)

 

Seorang guru di Australia pernah berkata,
“ Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai matematika,
kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri”. Ketika ia ditanya
mengapa demikian? Ia menjawab, “Karena kita hanya perlu melatih anak selama
tiga bulan saja secara intensif untuk bisa matematika, sementara kita perlu
melatih anak hingga dua belas tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu
ingat pelajaran berharga dibalik proses mengantri”. Ini adalah ungkapan yang
mengagumkan dan sekalogus menyentak hati dan pikiran kita ketika berbicara soal
pendidikan. Apalagi bila dikaitkan dengan budaya masyarakat dan praktek
pendidikan yang kita lakukan.

Pendidikan kita masih disibukkan dengan
Calistung (Baca tulis hitung), serta megejar target kemampuan matematika,
fisika, kimia dan ilmu pengetahuan lainnya. Semua itu masih sebagai tolak ukur
keberhasilan pendidikan. Sementara, di banyak negara nilai-nilai moral,
karakter dan pembentukan keadaban publik justru menjadi landasan utama
keribadian sebelum peserta didik belajar ilmu pengetahuan. Pengetahuan dan
kecerdasan bukan tidak penting, namun pembentukan landasan kepribadian dan
karakter jauh lebih penting untuk dinomorsatukan, baru kemudian yang lainnya.

Jepang sebagai salah satu contoh, negara
ini masyarakatnya memiliki budaya yang sangat tertib, dan salah satunya adalah
tertib ketika mengantri. Masyarakat Jepang dapat mengantri dengan tertib tanpa
adanya tanda batas yang mengatur antrian. Salah satu hal yang paling orang
Jepang banggakan adalah penduduknya  yang
sangat disiplin dan tertib ketika mengantri. Sikap disiplin sudah diajarkan
sejak dini di Jepang. Mereka akan dididik untuk menjadi pribadi yang jujur dan
disiplin sejak sekolah dasar. Pemandangan 
budaya tertib dan disiplin ini bisa disaksikan saat-saat di stasiun
kereta. Pemandangan kereta di Jepang yang begitu padat sudah bukan rahasi lagi
karena kereta adalah moda transportasi yang sangat popular dan diminati
masyarakat. Tidak semua kereta penuh setiap hari, namun puncak kepadatan
terjadi pada pukul 07.30-09.00 pagi dan 
pukul 18.00-21.00 malam. Di Jepang, para calon penumpang menunggu kereta
yang akan datang di belakang garis kuning yang disediakan di sepanjang stasiun.
Ketika kereta tiba dan pintu gerbong terbuka, para penumpang di dalam kereta
terlebih dahulu untuk keluar. Setelah semua penumpang kereta keluar, para calon
penumpang ini masuk ke dalam gerbong kereta secara berurutan sesuai dengan
urutan antrian.

Di Jerman sebagaimana diceritakan oleh
blogger Girindra Wiratni Puspa dalam German Cultural Blog, budaya antri
juga menjadi karakter utama masyarakat. Budaya antri itu nampak misalnya dalam
antrian orang yang ingin membeli ice krim di sebuah toko roti dimana banyak  yang mengantri hingga trotoar. Meksipun lama
dan di tengah terik matahari mereka rela mengantri dengan tertib. Padahal toko
roti itu menempati space yang luas, dan bisa saja orang datang dari
kanan dan kiri untuk menyerobot. Pada peristiwa lain, dalam sebuah konser
angklung di Hamburg, Jerman. Saat istirahat, semua pengunjung dipersilahkan
untuk mencicipi kudapan nusantara. Jajanan 
itu disusun demikian rapi oleh panitia 
di meja yang panjangnya kurang lebih 2 meter. Meja itu di tengah-tengah
hall sehingga orang yang ingin menikmati kudapan bisa datang dari sebelah kanan
dan kiri. Namun karena mereka sudah terbiasa dengan budaya antri, semua orang
berbaris rapi dari sebelah kanan untuk menunggu orang lain mengambil kudapan
satu persatu. Sang panitia (yang orang Indonesia) sampai berteriak-teriak, “Kalian
bisa kok mengambil dari sebelah sini 
(kiri)”. Tetapi orang-orang disana tetap antri dan menunggu hingga
orang-orang di depannya selesai mengambil.

Ah, saya jadi ingat ketika antri mengambil
makanan dalam perjamuan pernikahan di gedung pertemuan di Indonesia. Tentu
tidak seperti cerita di negara Jerman di atas. Ini cerita yang sangat khas
Indonesia : ramai-ramai berebut makanan, serobot kanan kiri, tidak teratur dan
kelihatan seperti orang yang kelaparan menemukan makanan. Dalam beberapa
pengalaman di acara seperti itu, saya dan istri seringkali memilih tidak
mengambil makanan, karena malu harus berebut dengan yang lain. Cukup datang dan
bersalaman dengan kedua mempelai, memberikan ucapan selamat dan pamit pulang.
Makannya tidak di perjamuan, tapi mampir di warung makan.

Belakangan sebenarnya sudah mulai banyak
perubahan kultur masyarakat kita dalam hal mengantri. Di Bank, di kasir
supermarket, di poliklinik rumah sakit, orang-orang sudah terbiasa mengantri
menunggu giliran. Mungkin karena sudah ditetapkan dan diberikan aturan yang
ketat oleh pihak otoritas di masing-masing lembaga, sehingga masyarakat dipaksa
untuk tertib dan antri. Namun, jika menyaksikan antrian yang menuntut kesadaran
individu misalnya di perjamuan, lampu lalu lintas, pembagian sembako, dan di
tempat-tempat umum lainnya yang tidak ada batas antrian dan tidak ada yang
mengatur, masyarakat kita masih sangat payah. Budaya tertib dan tenggang rasa
kita masih harus terus diasah, diasuh dan dibiasakan.

Beberapa orang tua terkadang justru
mengajarkan dan membiasakan anak untuk tidak tertib. Ada orang tua yang memaksa
anaknya untuk ikut antrian dengan cara menyerobot dengan alasan karena masih-masih
anak-anak sehingga pantas mendapat toleransi dari yang lain. Bahkan ada yang
memarahi anaknya dan menyebut “tidak punya nyali” karena tidak mau menyerobot
antrian. Banyak orang yang meminta untuk diberikan pelayanan lebih dahulu
karena alasan kesibukan, atau karena orang tidak mampu, atau karena tokoh dan
orang terpandang di masyarakat. Ada yang lewat “jalan belakang” karena memiliki
koneksi dengan “orang dalam”, sehingga tidak mau repot-repot ngantri. Yang
disebutkan terakhir ini, persis dengan apa yang pernah diungkapkan oleh
Koentjaraningrat beberapa tahun silam bahwa salah satu mentalitas masyarakat
kita adalah mental suka menerabas. Suka mengambil jalan pintas, tidak mau
mengikuti proses, dan  berprinsip yang
penting saya mendapatkan. Orang lain masa bodoh amat.

 

Ketertiban dalam Islam

 

Budaya antri berhubungan dengan ketertiban
dan keteraturan. Mengantri sendiri penting dan perlu dilakukan supaya tertib
dan teratur. Budaya antri dalam Islam merupakan bagian dari akhlakul karimah,
karena dengan ketertiban ketika mengantri maka terciptalah sikap tenggang rasa
dan saling menghargai hak orang lain. Penghargaan kepada orang lain adalah
norma dasar dalam hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia).
Banyak ajaran Islam dalam hal ibadah yang mensyaratkan ketertiban sehingga
ibadah itu bisa dinilai sah berdasarkan ketentuan syariat. Ajaran-ajaran
tertentu bahkan secara tidak langsung mengisyaratkan dan mengandung pesan soal
pentingnya ketertiban dan keteraturan.

Shalat Jama’ah  misalnya, dianjurkan untuk dilaksanakan
dengan saf yang lurus, rapat dan teratur sesuai dengan urutan. Bagi jamaah yang
ingin mendapatkan saf pertama, maka ia harus datang lebih dulu dibandingkan
dengan jamaah lainnya. Sebagai ganjaran bagi yang rajin dan disiplin serta
mengambil antrian pertama dalam saf shalat jamaah maka baginya pahala yang
besar dan mendapatkan kemuliaan. Sebab itu saf yang terbaik dalam shalat jamaah
adalah saf pertama. Begitulah seterusnya posisi saf seorang jamaah tergantung
pada waktu kehadirannya di masjid. Bagi yang datang paling belakang atau
terlambat, bisa saja dia tertinggal beberapa waktu dengan imam dan ia terkena
hukum masbuq atau makmum yang ketinggalan. Sebagai makmum masbuq ia
harus mengikuti ketentuan yang berlaku dalam syariat yaitu melengkapi rakaat
yang tidak sempat ia ikuti bersama imam. Konsekuensi yang harus ditanggung
karena terlambat datang dalam shalat jamaah.

Dalam beberapa ajaran tentang ibadah,
khususnya ibadah madhah khassah, seperti berwudlu, shalat, dan
haji,  dalam kaifiyatnya selalu
memasukkan rukun tertib sebagai salah satu rukun yang harus dilakukan. Hampir
semua imam madzab besar memasukkan rukun tertib sebagai salah satu rukun dalam
wudlu, shalat, dan haji, kecuali dalam Mazhab Hanafi. Artinya dalam tata cara
ibadah Islam mengajarkan tentang pentingnya melakukan suatu kaifiyat ke
kaifiyat berikutnya secara tertib dan teratur. Dengan rukun tertib itu,
seseorang yang melaksanakan shalat harus melaksanakan rukun-rukunnya secara
berurutan dan tidak boleh dilaksanakan secara mengacak. Demikian pula ketika
berwudlu, urutan anggota badan yang dibasuh harus berurutan dari sejak
berkumur-kumur, membasuh muka hingga membasuh kaki. Pelanggaran terhadap rukun
tertib ini bisa menyebabkan ibadah yang dilakukan menjadi tidak sah secara
syariat. Dengan demikan, ibadah dalam Islam secara tidak langsung mengajarkan
kepada kita tentang ketertiban dan dengan demikian pula secara tersirat
mengajarkan tentang mengantri  untuk menunggu
giliran secara teratur.

 

Memetik Hikmah dari Mengantri

 

Banyak hikmah dan manfaat yang bisa
didapatkan dari mengantri baik untuk kepentingan pendidikan maupun untuk
perbaikan pribadi. Anak-anak yang sejak dini diajarkan dan dibiasakan memiliki
budaya antri, di kemudian hari setelah dewasa ia akan terbentuk dalam dirinya
kepribadian yang baik dan karakter yang disiplin, memiliki kesabaran dan
tenggang rasa kepada sesama.

Mengantri mengajarkan kepada kita untuk
memiliki sikap disiplin baik dalam penggunaan waktu maupun dalam melewati suatu
proses dalam mencapai suatu tujuan. Jika seseorang ingin mendapat suatu layanan
atau sesuatu tujuan tertentu dengan pelayanan yang lebih dulu dan atau
mendapatkaan sesuatu lebih cepat dibandingkan yang lainnya, maka ia harus
berusaha datang paling duluan atau setidaknya berusaha tidak terlambat. Selama
proses mendapatkan  tujuan itu, ia juga
harus mengikuti semua ketentuan dan peraturan yang berlaku. Semua proses itu
mengajarkan sikap disiplin untuk mampu mengatur 
waktu dengan sebaik-baiknya.

Mengantri mengajarkan untuk menghargai
proses dalam mendapatkan sesuatu. Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang
didapatkan secara instan dan mudah. Semua harus berproses, melewati tahap demi
tahap, mengalami dan merasakan sendiri semua proses itu sehingga ketika
mendapatkan sesuatu itu akan menimbulkan kepuasan secara rohani. Banyak orang
yang ingin mendapatkan sesuatu secara mudah tanpa harus bersusah payah dan
berdarah-darah. Akibatnya ia mengambil dan menempuh jalan pintas. Ada murid
yang ingin mendapatkan nilai dalam ujian dengan hasil baik, tapi ia tidak mau
melalui proses belajar yang sungguh-sungguh, maka jalan pintasnya adalah
menyontek. Ada mahasiswa yang ingin menghasilkan karya akhir untuk
menyelesaikan studinya tanpa mau bersusah payah membaca, menelusuri literatur
dan menuangkannya dalam tulisan. Maka jalan pintasnya adalah melakukan plagiasi
dengan cara mengcopy paste karya orang lain. Ada orang yang ingin kaya
secara cepat dan mendadak, tanpa mau bersusah payah bekerja dan banting tulang,
maka jalan pintasnya adalah merampas milik orang lain atau menemui dukun untuk
menggandakan uang. Dan banyak lagi yang lainnya sebagai contoh orang-orang yang
mengabaikan proses. Dengan mengantri orang akan belajar untuk membabat mental
menerabas dan menghilangkan sifat yang ingin segala sesuatu secara instan.
Dalam kenyataan, tidak ada segala sesuatu itu didapat secara mudah kecuali
harus melewati proses sesuai dengan standar hukum kehidupan.

Mengantri juga mengajarkan sikap
toleransi, penghargaan dan penghormatan kepada sesama. Selama mengantri orang
akan bertemu dengan orang lain dengan usia, karakter dan sifat yang
berbeda-beda. Mereka memiliki masalah, kepentingan dan kebutuhan yang tidak
sama. Mengantri secara tertib dengan tidak menyerobot antrian adalah sikap
toleransi dan menghargai hak orang lain. Seseorang yang menyerobot antrian
apapun alasannya berarti telah merampas dan mengambil paksa hak orang lain
untuk kepentingan dirinya. Seseorang yang menyerobot antrian berarti pula tidak
menghargai dan menghormati orang lain. Sebab itu tetaplah tertib dalam antrian
hingga menunggu giliran, karena dengan demikian kita telah menghargai dan
menghormati hak orang lain.

Last but not least, mengantri dapat melatih dan menguji kesabaran.
Selama mengantri yang  terkadang harus
menunggu dengan waktu yang lama membutuhkan kesabaran dan ketabahan. Mengantri
dapat melatih dan membentuk sikap sabar, karena selama menunggu itu
seseorang  tentu akan mengalami kelelahan
secara fisik dan secara mental. Kemampaun melewati ujian kesabaran itu akan
membuat seseorang memiliki sikap yang tangguh dalam menghadapi segala ujian dan
cobaan. Kesabaran akan menghilangkan perilaku menggerutu, menyalahkan orang
lain dan menyalahkan diri sendiri. Sikap sabar juga akan melahirkan keikhlasan,
satu sikap yang penting untuk dimiliki agar mendapatkan ketentraman dan
kedamaian dalam kehidupan.

Tentu saja masih banyak lagi yang dapat
kita petik dari  mengantri. Silahkan
dilihat dalam berbagai sudut pandang dan perspektif. Namun yang pasti sebagai
bangsa dan sebagai umat, diakui atau tidak, 
budaya antri belum menjadi kesadaran massif dalam budaya kita. Perlu
terus dibangun kesadaran kolektif tentang pentingnya budaya antri ini sebagai
perwujudan dari nilai-nilai karakter bangsa. Dengan demikian dapat dikatakan,
jika ingin melihat karakter suatu bangsa, maka lihatlah cara mereka mengantri.
(Wallahu a’lam bishawab, mh.010721).

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.