metrouniv.ac.id – 16/01/2024 – 4 Rajab1445 H
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro)
Bagi mereka yang mempelajari sejarah Islam, maka akan menemukan fakta tentang kondisi masyarakat Arab sebelum Islam. Masyarakat Arab pra-Islam dikenal memiliki tradisi lisan yang sangat kuat. Mereka menikmati keindahan puisi dengan cara mendengar, bukan dengan cara menuliskannya. Sejarawan At-Thabari mencatat saat itu hanya ada kurang lebih 17 orang yang bisa membaca dan menulis. Sisanya tidak bisa membaca dan menulis, hanya mengandalkan kemampuan ingatan dan tradisi lisan.
Banyak generasi awal Arab pra-Islam yang akhirnya tidak mampu membaca dan menulis, namun mereka mampu membuat syair dan puisi yang indah. Pada waktu-waktu tertentu di tengah keramaian misalnya di pasar mereka membacakan puisi-puisi itu. Tradisi lisan dan menghafal ini begitu sangat kuat mengakar dalam masyarakat Arab hingga sampai pada masa Islam. Diantara mereka yang kemudian masuk Islam banyak yang menjadi penghafal al-Qur’an yang ketika ayat-ayat al-Qur’an diwahyukan memang tidak langsung dituliskan.
Kondisi sosial budaya yang seperti itu yang mengiringi kelahiran Nabi Muhammad. Wajar jika kemudian, Beliau dikenal sebagai Nabi yang Ummi, artinya tidak pandai membaca dan menulis. Kondisi Beliau sama dengan kebanyakan masyarakat Arab pada masa itu. Namun ketidakmampuan Nabi membaca dan menulis ini menjadi salah satu hikmah dari Mukjizat al-Qur’an. Ketika masa pewahyuan, banyak orang dari kalangan kafir Qurais yang menuduh bahwa al-Qur’an adalah merupakan karangan Muhammad semata. Tuduhan itu terbantahkan, karena bagaimana mungkin orang yang tidak mampu membaca menulis bisa membuat dan menuliskan kalimat-kalimat yang memiliki sastra tinggi seperti yang dimiliki al-Qur’an.
Bukan sebagai sesuatu yang kebetulan, jika ajaran Islam pertama yang diwahyukan adalah perintah membaca. Wahyu pertama adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang berisi perintah membaca, memikirkan proses penciptaan alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos, serta mengajarkan manusia menulis dengan qalam (pena). Wahyu pertama ini adalah merupakan dasar pertama pembebasan (liberasi) manusia dari kebodohan dan keterbelakangan ilmu pengetahuan yang pintu utamanya adalah kemampuan membaca dan menulis.
Setelah wahyu pertama ini turun, maka kemudian Rasulullah, mengajarkan pentingnya kemampuan membaca dan menulis, menekankan pentingnya belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan. Beberapa hadits Beliau berisi perintah dan pesan-pesan pentingnya belajar, semisal menuntut ilmu adalah wajib bagi laki-laki maupun perempuan. Beliau juga mengingatkan bahwa menuntut ilmu itu tidak mengenal batas usia, sejak lahir sampai meninggal dunia manusia harus terus belajar, meskipun ilmu itu diperoleh dari tempat yang sangat jauh seperti ke negeri Cina.
Di masa-masa dakwah dan ekpansi Islam,terutama sehabis perang Badar dimana kaum muslimin mendapatkan beberapa puluh tawanan perang. Para tawanan itu dipergunakan untuk memberantas buta huruf dan keterbatasan kemampuan membaca dan menulis dikalangan kaum muslimin. Rasulullah menggunakan para tawanan perang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis sebagai barter jika mereka ingin dibebaskan. Kebijakannya, bagi para tawanan perang itu akan diberikan kebebasan jika mau mengajarkan membaca dan menulis kepada sepuluh kaum muslimin. Jika mereka berhasil, maka kemudian tawanan itu mendapatkan pembebasan. Begitulah seterusnya hingga sebagian besar kaum muslimin terbebas dari buta huruf dan ketidakamampuan membaca dan menulis.
Ayat pertama dari surat Al-‘Alaq yang berbunyi Iqra (Bacalah) adalah kata revolusi pertama dalam Islam untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan mengajak kepada dunia ilmu pengetahuan yang tidak terbatas.
Setelah itu, Islam mengajak untuk membebaskan manusia dari sikap yang tidak menghargai kaum perempuan. Sebagaimana dalam catatan sejarah, masyarakat Arab Jahiliyah memandang perempuan dalam posisi yang sangat rendah, hampir-hampir tidak ada harganya sama sekali. Perempuan ditempatkan sebagai properti seperti halnya barang yang bisa saling ditukarkan. Praktek poligami yang tanpa batas menjadi hal lumrah sehingga satu laki-laki bisa memiliki belasan istri berganti-ganti. Kelahiran seorang perempuan dianggap aib bagi keluarga Arab Jahiliyah karena anak perempuan dianggap tidak berguna di tengah tradisi kekerasan dan peperangan antar suku yang bisa kapan saja terjadi. Kelahiran anak perempuan adalah hal yang memalukan hingga sebagian mereka ada yang mengubur anak perempauannya hidup-hidup.
Islam membebaskan mereka dari budaya yang tidak menghargai anak perempuan tersebut. Secara Retoris dalam surat At-Takwir ayat 8-9 Allah SWT bertanya: Waidzal maw’udatu suilat, Biayyi Dzambin Qutilat”, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apa dia dibunuh”. Bukan hanya karena ia anak perempuan lalu kemudian mereka dibunuh oleh orang tuanya, budaya Arab Jahiliyah membunuh anak-anaknya juga karena mereka takut dihinggapi kefakiran dan kemiskinan.
Membunuh anak karena takut miskin itu, sebagaimana tercermin dalam Al-Qur’an: “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kamu takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbiatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahaminya. (QS.Al-An’am: 151).
Disamping membebasan kaum perempuan dari perendahan dan ketidakberdayaan, Islam juga berusaha menghapus tradisi perbudakan secara perlahan-lahan. Pada masa Arab pra-Islam dan sebelumnya perbudakan merupakan fakta sosial. Praktek ini secara masif terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di dunia Arab Jahiliyah. Dalam tradisi perbudakan, manusia yang menyandang status sebagai budak dipandang hanya sebagai benda atau properti yang dimiliki oleh kaum bangsawan dan orang-orang merdeka. Status sosial sebagai budak ini akan diturunkan secara turun temurun. Seorang dengan status budak akan melahirkan anak dengan status budak pula. Seorang budak bisa diperjualbelikan layaknya benda, bahkan kalau ia perempuan bisa digauli layaknya seorang istri oleh majikannya.
Praktek perbudakan yang menjijikkan ini berusaha dihapus oleh Islam dengan satu penegasan bahwa status manusia ini sesungguhnya sama di mata Tuhan. Tidak ada yang lebih mulia atau lebih tinggi derajatnya dibandingkan yang lainnya. Islam menegaskan kemuliaan manusia hanya terletak pada ketakwaannya, bukan pada pangkat, jabatan, status ekonomi atau status sosialnya. Karena itu Islam berusaha menghapus praktek perbudakan yang tidak manusiawi. Karena praktek perbudakan itu sudah berurat berakar, akan menimbulkan gejolak sosial jika dihapuskan secara frontal maka Islam menghapuskannya secara bertahap dan perlahan-lahan.
Caranya, beberapa orang kaum muslimin yang mampu oleh Rasulullah diminta memerdekakan orang-orang yang berstatus budak itu dengan tebusan. Atau membelinya dari pemilik budak, lalu kemudian memerdekakannya. Salah seorang yang kemudian lepas dari status budak dengan cara dimerdekakan ini adalah seorang budak kulit hitam dari Habasyah (Ethiopia) yang bernama Bilal bin Rabah. Dia lahir dari seorang budak wanita yang bernama Hamamah dan ayah yang bernama Rabah. Orang yang memerdekakan Bilal dari status budak adalah sahabat Abu Bakar As-Shiddiq dengan cara membelinya dari majikan Bilal yang bernama Ummayah bin Khalaf.
Setelah itu, banyak dari sahabat Nabi yang juga melakukan hal yang sama, yaitu membeli atau menebus para budak untuk dimerdekakan. Tidak itu saja, sebagai bentuk penghargaan terhadap orang yang memerdekakan para budak, mereka yang melakukan itu dijanjikan akan memperoleh pahala yang besar. Bahkan dalam beberapa ajaran, memerdekakan budak sebagai salah satu syarat pilihan untuk terbebas dari hukuman pelanggaran terhadap syariat. Hal itu misalnya ada dalam ketentuan kaffarat (tebusan atau pengganti suatu kesalahan) bagi orang yang melanggar ketentuan puasa yaitu melakukan hubungan suami istri di siang hari puasa. Salah satu kaffaratnya sebagai pilihan adalah memerdekakan seorang budak.
Dari ketiga hal tersebut: falsafah Iqra’ (membaca), kedudukan perempuan dalam Islam, dan sikap Islam terhadap perbudakan, maka sangat jelas pemihakan dan semangat liberasi (pembebasan) dalam Islam. Islam adalah agama pembebas. Esensi Islam sebagai agama pembebasan ini bila kita dalami lagi maka akan kita temukan dalam ajaran-ajaran yang lainnya lagi. Misalnya pemihakan Islam terhadap kelompok mustadh’afin dan orang-orang yang tertindas (orang-orang yang miskin secara struktural). Pemihakan Islam kepada orang-orang yang terdholimi yang harus diberikan keadilan. Dan masih banyak yang lainnya. Tidak berlebihan jika Asghar Ali Engineer menyebut jika teologi Islam adalah Teologi Pembebasan. Wallahu a’lam bishawab (mh.16.01.24).
Posting : (ss_humas)