socio
eco-techno
preneurship

Islam: Spiritual, Intelektual, dan Profesional

bg dashboard HD

metrouniv.ac.id – 17/01/2025 – 17 Rajab 1446 H

Dr. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A. (Kepala Biro AUAK IAIN Metro)

Nilai iman (spiritual) dalam prinsip Islam adalah yang pal- ing sentral, sebelum bicara soal ilmu (intelektual) dan amal (profesional). Itulah sebabanya al-Ghazali bilang, ilmu tanpa iman bagaikan batang tanpa akar dan ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Oleh karena itu, sebuah pohon tidak bisa berbatang dan berbuah kalau dia tak berakar, dari mana sebuah pohon bisa tumbuh dan berkembang. Islam meletakkan landasan nilai-nilai hakikinya melalui konsep spiritual, intelektual, dan profesional dalam satu tarikan nafas, satu kenyataan tak terpisahkan.

Maka tidak heran ketika Islam hadir sebagai agama, ia amat menghargai prinsip ilmu dan amal, tetapi iman diletakkan sebagai fondasi ilmu dan amal. Islam mengajarkan bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah kewajiban agama yang harus ditunaikan oleh setiap umatnya, lelaki maupun perempuan. Ilmu Pengetahuan merupakan prasyarat utama untuk dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik dan sempurna. Bahkan ilmu pengetahuan merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Prinsip Spiritualisme

Nabi saw dalam sebuah peringatannya menegaskan bahwa ilmu itu tidak akan mendekatkan seseorang pada takwa, malah acapkali ilmu menjauhkan orang itu dari takwa, karena perasaan sombong, besar kepala, dan tinggi hati. Di sinilah mengapa al- Qur’an pun menyebut sikap lainnya, yakni sikap keberhasilan (profesionalisme) yang dicapai oleh manusia, tanpa dilandasi sikap spiritual, paling sering membawa manusia jatuh ke dalam sikap kufur kepada Allah. Sebab, orang itu merasa bahwa apa yang dicapainya dalam hidup tidak lebih dari hasil kepandaiannya (profesionalisme pribadinya) bukan karena izin dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa.

Maka, apa pun yang kita lakukan dalam hidup, sejak dari bangun tidur sampai tidur lagi, haruslah dimaknai sebagai berkat izin dan berkenan Allah, bukan karena semata-mata kemampuan pribadi manusia itu sendiri. Ilmu yang kita miliki dan amal yang kita sampaikan, semua itu adalah nikmat pemberian Allah, bukan semata atas usaha dan kerja keras manusia. Dengan mengatakan ini maka sejatinya seseorang sedang menyandarkan diri kepada Allah, percaya dan meyakini bahwa hanya Allah yang mampu menuangkan kemampuan intelektual maupun profesional ke- pada diri manusia.

Setinggi apa pun pencapaian manusia, Allah mengatakan kamu tidak akan sampai setinggi gunung, dan sehebat apa pun keahlianmu merekayasa bumi, kamu pun tidak akan sanggup menembus bumi. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa manusia sejatinya lemah tiada berdaya, Allah-lah yang menganugerahkan kepadanya kemampuan dan keahlian itu. Maka hanya kepada Allah sajalah kemampuan itu diabdikan. Melalui sikap spiritual yang tinggi seperti itulah manusia menemukan dirinya sebagai insan akal budi yang tahu menghargai anugerah-Nya.

Pencapaian kualitas spiritual setiap insan sudah pasti berbeda- beda antara satu dengan lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh banyak faktor, tetapi faktor terpenting adalah seperti diisyaratkan dalam sebuah hadits latar belakang keluarga, pendidikan, dan masyarakat yang membesarkannya. Ketiga faktor inilah paling pertama dan utama dalam membentuk perilaku spiritual seseorang. Penghayatan terhadap aspek spiritual yang kokoh akan membentuk perilaku intelektual dan profesional yang kokoh pula. Selanjutnya, setiap capaian di bidang intelektual maupun profesional, selalu dimakna sebagai upaya untuk mencari dan menemukan Tuhan dalam visi spiritualnya.

Tuhan dalam visi spiritual adalah yang tak terjangkau oleh nalar manusia tetapi selalu ada bersamanya, selalu hadir dalam karya-karya intelektual dan kerja-kerja profesionalnya. Tuhan dalam konteks inilah memberikan jaminan moral bahwa seseorang selalu dalam bimbingan Tuhan di saat orang itu berkarya dan berprestasi, apapun karya dan prestasinya. Dalam banyak kegagalam manusia, ketika seseorang itu mencapai satu saja keberhasilannya, bukankah menjadi kebiasaan manusia, melupakan seluruh kegagalannya sambil mengenang dengan penuh kagum satu keberhasilan yang dicapainya?

Apakah maknanya itu bagi kita? Ternyata, secara spiritual, alam bawa sadar kita lebih suka menghargai satu keberuntungan besar yang kita peroleh tetapi lupa dengan keberuntungan kecil yang lebih sering kita dapatkan, malah kita tidak menganggapnya sebagai sebuah keberuntungan melainkan sebagai sesuatu yang harus ada, kalau bukan kegagalan. Kita mengabaikannya tanpa sikap syukur. Para santri di pondok gratis: makan, asrama, uang sekolah, uang gedung, dan seragam, toh lebih suka menghargai seorang penyumbang besar tetapi hanya sekali daripada menghargai kyai yang memberi makan dia sehari-hari.

Prinsip Intelektualisme

Di dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menginginkan kebahagiaan hidup di dunia, maka hendaklah ia mempelajari ilmu. Dan barang siapa yang menginginkan kebahagiaan hidup di akhirat, maka hendaklah ia mempelajari ilmu. Dan barang siapa yang mengingikan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat secara bersamaan, maka hendaklah ia mempelajari ilmu.”

Hadis ini menggambarkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam hidup dan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pulalah, maka dalam hadis lain, Nabi bersabda, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.” Menuntut ilmu pengetahuan, harus dilakukan sepanjang masa, sepanjang hayat di kandung badan. Menuntut ilmu, selain tidak mengenal waktu, juga tidak mengenal tempat, sampai-sampai Nabi SAW menegaskan, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Konsep Islam ten- tang menuntut ilmu ini, jauh melampaui konsepsi masyarakat modern tentang long life education (belajar seumur hidup).

Di dalam al-Quran Allah swt menjanjikan, akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat dari orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dari kisah penciptaan Adam as yang akan men- jadikannya sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Para Malaikat protes, kenapa Adam yang dijadikan khalifah? Lalu Allah swt menguji Malaikat dengan Adam tentang ilmu pengetahuan, akhirnya Adam as yang menang dan Malaikat mengaku kalah. Hal ini menunjukkan, bahwa kehebatan dan kelebihan antara Adam (manusia) dibandingkan dengan Malaikat adalah pada penguasaan akan ilmu pengetahuan.

Ayat pertama ini mengandung perintah membaca untuk mencerdaskan diri dengan membaca. Membaca dengan mata, membaca dengan pikiran, membaca dengan hati. Perintah untuk mencerdaskan diri melalui iman, ilmu dan amal.

Iqra (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? Ma Aqraa? Tanya Nabi, dalam suatu riwayat, Setelah beliau kepayahan dirangkul dan diperintah membaca oleh Malaikat Jibril. Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut didahului dengan sikap bismi Rabbika (dengan nama Tuhanmu).

Suatu hal yang sangat menarik adalah penggunaan ungkapan semantik ayat ini pada kata iqra’ (bacalah!). Perintah membaca ini terulang beberapa kali dalam ayat yang sama. Hal ini memberikan isyarat kepada kita bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali dengan mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal, tetapi sekaligus juga mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbika (dengan menyebut nama Allah sebagai Tuhan kamu) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun teks yang dibaca hanyalah itu-itu juga. Mengulang-ulang membaca alam raya, akan mambuka tabir rahasia alam semesta, menambah perkembangan ilmu pengetahuan dan bahkan menambah kesejahteraan umat manusia. Membaca alam raya yang dilakukan oleh orang-orang zaman dahulu kala dengan yang dilakukan oleh orang-orang zaman modern, yang dibaca tetaplah alam raya yang itu-itu juga, tetapi hasil dari pembacaan itu mengalami perubahan dan perkem- bangan yang luar biasa dahsyat sebagaimana yang kita saksikan

di zaman modern ini.

Untuk mengaplikasikan perintah membaca itu dalam hidup dan kehidupan sehari-hari umat Islam, Rasulullah SAW mengambil langkah-langkah taktis dan strategis dengan memerintahkan para pengikutnya belajar baca tulis. Aisyah, istri Rasulullah sendiri, ikut belajar baca tulis. Zaid bin Tsabit, anak angkat Muhammad saw, dikursuskan untuk belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Budak belian yang berhasil mengajari baca tulis 10 orang Muslim, dimerdekakan secara otomatis. Bahkan, tawanan perang yang berhasil mengajari umat Islam akan baca tulis, dibebaskan dari tawanan.

Revolusi besar-besaran yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini, diikuti secara sistemik pula oleh para sahabat dan generasi sesudahnya. Pada akhirnya, dunia imu pengetahuan menjadi tra- disi dan budaya bagi setiap umat Islam. Tidak heran, jika ilmu pengetahuan Yunani Kuno, dapat ditransformasikan umat Islam ke dalam ilmu pengetahuan Islam, yang kemudian menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan internasional, ketika dunia Barat dan Eropa masih berada dalam abad kegelapan.

Prinsip Profesionalisme

Suatu ketika, Imam Syafii sakit, dan diperiksa oleh seorang dokter. Setelah ia didiagnosis, sang dokter memberinya obat untuk diminum. Tak lama setelah Imam Syafii meminum obat, kondisi badannya terasa segar dan kesehatannya mulai pulih. Sang Imam terkagum-kagum pada dokter. Lalu ia bertanya, “Wahai dokter, apakah Anda seorang Muslim?”

“Bukan, saya non-Muslim,” jawab sang dokter dengan san- tun dan tenang. Mendengar jawaban dokter itu, Imam Syafii menangis sesunggukan, air matanya meleleh. Maka, ia pun mengeluarkan fatwa, “Belajar ilmu-ilmu dunia yang bermanfaat untuk umat manusia hukumnya adalah fardhu kifayah, sedangkan belajar ilmu agama hukumnya fardhu ain.”

Al-Quran adalah sumber energi luar biasa. Al-Quran, apabila dapat dimanfaatkan oleh umat Islam, maka akan sanggup menghasilkan energi luar biasa yang bisa mengubah peradaban umat manusia. Al-Quran yang selalu dibaca umat Islam tidak pernah mengalami perubahan, tetapi sebaliknya dunia mengalami perubahan akibat al-Quran. Zaman Jahiliyah di Jazirah Arab berubah menjadi zaman modern, memberi pengaruh luar biasa kepada Turki dan Spanyol di belahan Barat maupun India dan China di belahan Timur.

Oleh karena itulah sangat tepat pernyataan yang menyatakan bahwa sesungguhnya kemajuan yang dicapai oleh Dunia Barat saat ini tidak terlepas dari andil Dunia Islam yang bersumber dari al-Quran. Sebab para pemikir Dunia Barat sebelumnya banyak belajar dari Dunia Islam, bahkan mengangkut buku-buku yang ada di Dunia Islam untuk dipelajari di Dunia Barat.

Sejarah mencatat, dengan berpedoman pada al-Qur’an, para ilmuwan Muslim, bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan agama an sich, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan umum. Sebahagian di antara mereka adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Iran, 252 H/866 M-321 H/932 M), ahli kedok- teran. Abu Husain bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina yang popular dengan nama Ibnu Sina atau Abessaina (Uzbekistan, 370 H/980 M-428 H/1037 M), ahli kedokteran, filsafat, logika, dan pshikologi. Abdurrahman bin Muhammad yang populer dengan nama Ibnu Khaldun (Tunisia, 732 H/1332 M-808 H/1406 M), ahli sosiologi. Muhammad bin Ahmad al-Biruni (Uzbekistan, 362 H/ 973 M-440 H/1048 M), ahli matematika, kimia, astronomi, geografi, dan lain-lain.

Seperti disinggung di muka, tradisi menuntut ilmu penge- tahuan adalah tradisi tua bagi umat Islam, setua risalah islamiyah yang dibawa oleh Muhammad saw. Namun demikian, bagi umat Islam ilmu pengetahuan tidak boleh bergerak bebas sesuai de- ngan keinginan pemiliknya, tetapi harus dikontrol oleh keimanan. Menuntut ilmu boleh setinggi langit, bahkan Nabi menyuruhnya sampai ke negeri China dan menuntut ilmu semenjak buaian sam- pai dengan liang lahat. Akan tetapi, iman mesti tetap dijaga, sebab iman adalah kontrol atas ketinggian ilmu dan kemampuan profesional seseorang.

Kemajuan ilmu tanpa adanya kontrol iman, akan menyebab- kan ilmu pengetahuan bebas bergerak sampai-sampai meng- hancurkan kemanusiaan. Dengan adanya iman (spiritualisme) yang kuat, ilmu pengetahuan (intelektualisme) yang tinggi, dan amal saleh (profesionalisme) yang terkontrol, mendekatkan ma- nusia pada derajat takwa. Melalui keteguhan spiritual, diperkokoh kekuatan intelektual, akan melahirkan sikap profesional yang tinggi. Sikap terakhir inilah akan mendorong seseorang untuk melakukan amal saleh (`amilu al-shâlihât) untuk kemanusiaan dengan ikhlas: semata-mata mencari ridla Allah.

Wallahu a’lam.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.