metrouniv.ac.id – Rabu 24/07/2022 _ 24 Dzulhijjah 1443 H
Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum (Ketua Lembaga Penjaminan Mutu IAIN Metro)
“Al ‘ilmu shoyyidun wal kitaabatu qoyyiduhu.”
(Imam Syafi’i)
Sesi pagi dimulai dengan berdoa. Sang fasilitator menyapa ramah. Lalu, memberi pengantar singkat tentang keterampilan menulis. Tentang keterampilan yang paling sukar dibanding keterampilan menyimak (listening), berbicara (speaking), dan membaca (reading). Tentang hal-hal yang sifatnya teknis dan substantif. Hingga kemudian…
“Mengapa harus menulis karya ilmiah?” Seorang peserta bertanya.
“Pertanyaan yang menarik,” jawab sang fasilitator. “Pernah saya membaca sebuah cerita. Tentang musafir yang kehausan. Ia menyusuri daerah nan gersang. Di puncak dahaga, ia melihat pompa air. Berkarat, di dalam sebuah gedung tua. Ia lalu memompa sekuat tenaga. Nahas, tak setetes air pun keluar. Sang musafir terkapar. Nanar, ia melihat sebuah botol kaca berisi air jernih. Cepat, ia meraih botol itu. Sebelum mereguk airnya, ia masih sempat membaca secarik kertas yang ditempelkan dengan kokoh di bidang botol. Tertulis di sana agar air dalam botol digunakan untuk memancing pompa. Pompa akan bekerja jika dipancing air terlebih dahulu. Ambil dan nikmatilah air sumur sebanyak mungkin. Jangan lupa mengisi kembali botol kaca. Agar para musafir lain dapat menikmati air sumur. Seperti Anda menikmatinya.”
“Dalam bahasa simbol, musafir itu bisa jadi adalah civitas akademika. Pemilik kewajiban menyusun dan memublikasi karya ilmiah. Gedung tua boleh dilihat sebagai perlambang sebuah kampus. Di dalamnya terdapat sumur berisi air pengetahuan berlimpah. Pompa air bisa kita anggap sebagai metafora untuk infrastruktur, gedung laboratorium, dan gedung perpustakaan. Dan air di dalam botol kaca adalah ibarat karya tulis,” lanjut sang fasilitator. “Kampus mesti menjadi tempat bertumbuhnya writing society. Sekelompok masyarakat yang menyusun gagasan dalam tulisan. Yang lalu menyampaikannya dalam pengajaran, seminar, rapat, bahkan sambutan.”
Ada hening sesaat sebelum terdengar peserta lain bertanya, “Terkait pesan di bidang botol kaca. Mungkinkah terbersit ragu dalam diri si musafir? Bagaimana jika setelah air dalam botol dituang, dan pompa tidak bekerja? Bukankah itu berarti ia mengambil resiko?”
Sang fasilitator menarik nafas dalam. Ada kesunyian yang cukup panjang. Ia ragu apakah harus memberi jawab. Terbayang, betapa sang musafir itu tidak egois. Tidak memilih meminum air dalam botol kaca lalu meninggalkan gedung tua.
“Mungkin sebaiknya saya tidak menjawab pertanyaan Saudara. Saya mohon maaf untuk itu. Semoga itu akan menuntun Saudara mencari jawabnya. Secara mandiri. Melalui permenungan dan pengalaman pribadi,” tukas sang fasilitator. “Namun demikian, patut diyakini bahwa menulis itu penting. Karena menulis adalah cara manusia mengawetkan pengetahuan dan peradabannya. Menulislah. Tak peduli betapa sepelenya tulisan itu. Karena, meski sebuah tulisan itu jauh dari sempurna, ia bisa menjadi ‘air dalam botol kaca’. Tidak banyak. Namun bisa menjadi penuntun menuju sumur pengetahuan. ‘alaa kulliy haal, menulislah. Karena imaamuna, Imam Syafi’i berpesan kepada kita semua. Bahwa pengetahuan itu seperti hewan buruan, dan tulisan adalah tali pengikat yang membuatnya menjadi tidak hilang.”