socio
eco-techno
preneurship

Dahsyatnya Peristiwa Hijrah

16. Cover Artikel Dahsyatnya Peristiwa Hijrah 5 Juli 2025 Ahmad SUpardi

metrouniv.ac.id – 5/07/2025 – 9 Muharam 1447 H

Dr. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A. (Kepala Biro AUAK IAIN Metro)

Hijrah adalah peristiwa yang ditandai dengan berpindahnya Nabi Muhammad SAW beserta sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Madinah pada tanggal 16 Juli 622 M. Kota Madinah kala itu masih bernama Yatsrib, yang berarti “tanah gersang berdebuh.” Tetapi begitu sampai di kota Yatsrib tepat pada tanggal 22 September 622 M, sesaat setelah Nabi SAW melakukan pematokan empat sudut kota Yatsrib, beliau kemudian mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah. Nama Madinah yang berarti “peradaban” dipilih, menurut para ahli, karena nama ini dianggap palingg tepat mewakili spirit perjuangan Nabi SAW di muka bumi, yakni membangun peradaban baru yang lebih manusiawi, menggantikan peradaban lama yang lebih jahili.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah Nabi Muhammad SAW memproklamirkan agama Islam di Makkah, kaum Quraisy merasa cemas kalau-kalau agama Islam yang baru muncul di kala itu berkembang pesat. Mereka khawatir kalau-kalau berhala mereka akan tumbang dan masa kejayaan mereka akan sirna, bertukar dengan cahaya Islam yang terang benderang. Untuk merintangi dakwah nabi itu, mulailah kaum Quraisy mengadakan teror di mana-mana terhadap para pengikut Muhammad SAW yang telah beriman. Untuk menghadapi kenyataan berat itu, melalui petunjuk Allah, Nabi Muhammad SAW bersama sahabatnya kemudian melakukan hijrah. Hijrah ini dimaksudkan untuk menata kembali strategi perjuangan yang lebih baik ke depan agar Islam lebih mudah diterima dan lebih cepat berkembang ke berbagai wilayah di Jazirah Arabiyah.

Peristiwa hijrah, oleh berbagai ahli, dipahami melalui dua dimensi, yakni hijrah fisik dan hijrah mental. Hijrah fisik adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik, seperti perpindahan Rasulullah SAW bersama sahabatnya dari Mekkah ke Madinah tersebut. Adapun hijrah mental adalah perpindahan dari satu situasi mental spiritual yang kurang produktif dan bermartabat menuju suatu situasi kehidupan yang lebih produktif dan bermartabat. Rupa-rupanya, hijrah dalam konteks terakhir inilah sejatinya yang ingin dibangun dan ditata kembali oleh Rasulullah saw melalui grand strategi (strategi besar) yang hendak diperjuangkannya.

Strategi Perjuangan

Putusan Nabi Muhammad SAW untuk hijrah ke Madinah membuka peluang untuk lahirnya masyarakat Islam, yakni masyarakat yang memiliki tatanan etik dan moral sesuai dengan ajaran Islam, atau sekarang secara amat populer dikenal dengan sebutan masyarakat madani.

Jika al-Qur’an menyebut istilah khairu ummah (umat terbaik) dan ummatan wasathan (umat moderat), maka nama Madinah mengandung arti “negeri beradab,” di mana penduduknya hidup secara beradab atau berkeadaban tinggi. Lebih indah lagi kalau dilengkapi dengan sebutan al-Munawwarah, maka maknanya menjadi “negeri beradab yang diterangi cahaya Ilahi.”

Karena itu, ada proses-proses logis yang harus ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dalam menegakkan pilar-pilar masyarakat Madinah di masa beliau membagun Negara Madinah. Melalui peristiwa hijrah ini, sesungguhnya Nabi saw ingin mengirim pesan kepada seluruh penantangnya bahwa, “perjuangan ini baru di- mulai.” Pesan penting ini disampaikan melalui langkah-langkah strategis sebagai berikut:

Pertama, membangun lembaga sosial-keagamaam semacam masjid sebagai tempat manusia berkumpul, bermusyawarah, berdakwah, belajar dan mengajarkan al-Qur’an,serta beribadah kepada Allah SWT, sebagai ikhtiar awal dalam membangun social trust (kepercayaan masyarakat) dan spiritual trust (kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa).

Kedua, memersaudarakan pengungsi Mekkah (Muhajirin) dengan penduduk asli Madinah (Anshar), sehingga kedua ke- lompok besar tersebut di sampiang kaum Yahudi dan Musyrik Arab tumbuh menjadi pilar utama atas tegaknya masyarakat Islam di Madinah.

Ketiga, mengatur tata pergaulan sosial dengan agama, baik dalam kehidupan rumah tangga (pernikahan dengan segala hal yang terkait dengannya) maupun kehidupan sosial (mu’amalah) secara umum.

Keempat, meneguhkan kedudukan dirinya (Rasul-Nya) sebagai pemimpin masyarakat, kemudian dalam menjalankan kebijakan selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabat besar (sebagai simbol aspirasi masyarakat).

Kelima, menjalin perjanjian perdamaian dengan semua kekuatan sosial yang ada di kota Madinah dalam satu common platform (disebut Piagam Madinah Mitsâqul Madînah). Piagam ini oleh Montgomery Watt, seorang pengamat Islam terkenal

 

(1968) disebut sebagai “Konsitusi Madinah.” Konstitusi ini oleh Muhammad Hamidullah disebut sebagai konstitusi negara tertulis pertama dalam catatan sejarah dunia.

Keenam, menegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu di tengah pluralitas masyarakat Madinah (sebagaimana tertuang dalam dokumen Piagam Madinah), seperti menghukum para pengkhianat perjanjian maupun para pelaku tindakan pidana lainnya yang melangkar isi perjanjian tersebut.

Ketujuh, memberikan keteladanan yang sangat tinggi (uswah hasanah) dalam kehidupan sosial, baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin agama serta pemimpin sosial.

Selama sepuluh tahun periode Madinah, Nabi Muhammad saw bukan saja berhasil membangun masyarakat madani di kota Madinah, tetapi juga berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung Arabiah dalam satu-kesatuan wilayah politik di bawah naungan Islam. Dan ketujuh hal inilah, menurut hemat saya, menjadi langkah-langkah strategis pada semua tahap dalam setiap strategi perjuangan beliau melalui hijrah.

Hijrah dan Umat Pilihan

Jika Anda sempat membaca sejarah perjalanan umat-umat terdahulu beserta para pemimpin besar dunia, rupa-rupanya mereka itu terpilih menjadi umat terbaik setelah mereka melakukan “hijrah” dalam kehidupan mereka. Tidak ada orang besar dan hebat di muka bumi ini tanpa melakukan hijrah, baik hijrah dalam pengertian fisik maupun dalam pengertian spiritual. Anda menjadi orang berhasil seperti sekarang ini, sedikit atau pun banyak, setelah Anda melakukan hijrah: baik dari kampung ke kota, dari kota tak terpelajar ke kota terpelajar, dari tanah gersang kehidupan ekonomi ke tanah subur kehidupan ekonomi. Sadar ataupun tidak, kita semua sebenarnya sedang berhijrah.

Karena itu, konsep hijrah dalam arti keinginan untuk berubah dan melakukan perubahan kehidupan dalam arti seluas-luasnya, telah dimulai oleh bangsa ini di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, di saat gerakan reformasi digulirkan sebagai jawaban atas kehilangan hakikat dan makna kehidupan yang direnggut secara paksa oleh rezim otoriter sebelumnya. Itulah penerapan hijrah secara hakiki. Hijrah dari hal-hal tidak baik menuju hal-hal yang lebih baik, hijrah dari prinsip-prinsip bernegara yang otoriter ke prinsip-prinsip bernegara secara demokratis. Reformasi adalah tafsir modern atas prinsip-prinsip “hijrah” yang pernah dilakukan Rasulullah SAW.

Namun, akhir-akhir ini, lebih banyak kita menyaksikan pene- rapan semangat jahiliyah pada elit negeri ini ketimbang semangat hijrah. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi “gaya hidup” para birokrat maupun wakil rakyat di perlemen. Semua kelakuan jahiliyah itu dipertontonkan dengan gagah tanpa rasa malu. Rupa-rupanya, urat malu mereka sudah putus, seakan-akan telah diangkat oleh Allah, membuat mereka tidak lagi merasa risih berbuat tak senonoh terhadap negeri sendiri. Perhatikan bagaimana para koruptor masih bisa tersenyum lebar di depan kamera setelah tertangkap tangan oleh KPK. Apa makna ini semua bagi bangsa ini? Agaknya, moral bangsa ini telah berada pada tubir kehancuran. “Sesungguhnya, kita sedang mempersiapkan diri menuju negara gagal,” kecam para pengamat.

Nilai-nilai ketidakpantasan dalam hidup yang diajarkan oleh agama dan diwariskan secara temurun oleh nenek moyang menjadi mubazir di tangan para pecundang yang lebih suka mengaku sebagai pahlawan ini, sambil dengan cerdas menjual negara dengan harga yang teramat murah. Mulut para “penjual obat” ini lebih lancar mengucapakan kata-kata reformasi, sementara kaki dan tangan mereka lebih cepat terseret ke rekreasi: masuk bui dan terkubur di sana. Kata-katanya manis tetapi hatinya pahit. Suatu tindakan yang dikecam dengan amat tandas oleh al-Qur- ’an, “Mengapa kamu menyuruh orang lain melakukan kebajikan sementara kamu melupakan diri kamu sendiri? Padahal kamu membaca Kitab Suci. Apakah kamu tidak berpikir?” (Qs. 2: 44). Ungkapan ini menjadi koreksi paling tandas dari al-Qur’an atas perilaku manusia yang bermuka dua (double standard). Lebih menyebalkan lagi adalah di saat mereka berada di atas podium kekuasaan yang hingar bingar, segera saja mereka menganggap diri mereka serba tahu, seraya meminta orang lain untuk menaati mereka tanpa banyak gugatan. Padahal di atas yang tahu itu masih ada yang lebih tahu (Qs. 12: 76 ), karena manusia hanya diberi ilmu sedikit sekali (Qs. 17: 85). Itulah sebabnya, manusia pun tidak boleh merasa sok suci (Qs. 53: 32), karena Allah lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa pula yang tercerahkan dari jalan-Nya (Qs. 16: 125 ).

Di sinilah harapan kita bahwa menjadi umat pilihan itu adalah tidak saja digdaya di bidang iptek tetapi digdaya di bidang imtak. Wujud paling pertama dan utama dari bidang terakhir ini adalah akhlakul karimah. Para pemimpin kita dewasa ini jatuh secara terhina karena tidak saja tergiur oleh “gratifikasi uang” tetapi juga “gratifikasi seks.” Uang dan seks adalah bumbu penyedap yang melekat dengan amat nikmat pada jabatan atau kedudukan seseorang. Jika ingin menjadi umat pilihan, tidak ada cara lain kecuali belajarlah dari sejarah umat-umat terdahulu. Sesungguhnya, merujuk pada apa yang sudah mereka lakukan itulah kita tahu bagaimana seharusnya menjadi “umat pilihan.”

Wallahu a’lam.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.