metrouniv.ac.id – 23/03/2022

Muhamad Nasrudin. M.H. (Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah /Muamalah)

Salah satu problem serius yang dihadapi mahasiswa di kampus adalah suasana akademik dan iklim kompetisi yang kering.

Padahal, kampus adalah jantung dunia akademik. Oleh sebab itu, menghidupkan suasana akademik dan iklim yang kompetitif adalah keniscayaan.

Salah satu caranya adalah dengan menghidupkan komunitas-komunitas kecil berbasiskan epistemik.

Di Fakultas Syariah sudah ada komunitas Sharia Media Center (SMC) yang fokus pada penguatan kapasitas literasi dan media.

Ada juga Moot Court Community (MCC) yang konsentrasi pada sidang semu. Juga Law Debate Community (LDC) yang memperkuat debat hukum.

Tak ketinggalan ada Turots Community yang tekun menyuntuki kajian kitab kuning klasik dan kesenian Islam.

Dan yang paling ragil, ada Falak Metro Community (FAMCO), yang fokus pada kajian dan inovasi astronomi Islam.

Selain itu, sudah ada tiga HMJ yang memperkuat basis kajian keprodian di tiga prodi yang ada. Kemudian ada SEMA di ranah legislatif dan DEMA di ranah eksekutif.

Di atas kertas, terdapat sepuluh organisasi kemahasiswaan di Fakultas Syariah. Jumlah yang tidak sedikit.

Jika masing-masing organisasi menyelenggarakan 3 kegiatan saja per bulan, maka ada 30 kegiatan per bulan. Dalam hitungan ini, setiap hari pasti ada kegiatan epistemik kemahasiswaan di kampus.

Betapa ramai kampus kita. Betapa hidup kampus ini.

Ketika kegiatan sudah banyak, pertanyaan selanjutnya adalah apakah mahasiswa mau mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut?

Ini adalah tugas kampus selanjutnya.

Kampus perlu menciptakan sistem reward and punishment mahasiswa dengan memberikan penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dan sanksi kepada mahasiswa pasif.

Hal ini bisa dimulai dengan menciptakan Sistem Kredit Kegiatan Kemahasiswaan (SK3).

Dengan sistem ini, semua mahasiswa wajib mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Setiap kegiatan yang diikuti memiliki angka kredit. Semakin besar skala kegiatan, makin besar pula angka kreditnya.

Kegiatan lokal tentu lebih kecil angka kreditnya dibanding kegiatan nasional. Menjadi partisipaan lomba tentu lebih kecil kreditnya dibanding juara 1. Begitu seterusnya.

Nah, angka kredit inilah yang dikumpulkan mahasiswa dan di akhir masa studi nilai diakumulasi dan menjadi syarat.

Untuk mengikuti seminar proposal, ujian komprehensif, dan munaqasah, mahasiswa diwajibkan memenuhi angka kredit tertentu.

Misalnya, saat hendak seminar proposal minimal 50 kredit, ujian komprehensif minimal 75 kredit, dan ujian munaqasah minimal 100 angka kredit.

Sistem reward bisa kita terapkan di sini. Nantinya, saat yudisium atau wisuda, kampus bisa menobatkan lulusan berprestasi dengan menghitung jumlah angka kredit yang ia kumpulkan.

Wisudawan dengan angka kredit tertinggi berhak menyandang gelar wisudawan berprestasi. Kampus bisa memberikan apresiasi yang pantas kepada mereka.

Tentu saja, predikat mahasiswa berprestasi ini memberikan kebanggaan bagi wisudawan dan keluarganya.

Yang lebih penting, memberikan semangat bagi mahasiswa, bahwa ada banyak cara untuk mendapatkan penghargaan saat wisuda, selain IPK tinggi dan lulus cepat.

Ini memberi semangat bagi mahasiswa untuk terus berprestasi dan berkompetisi.

Menurut Anda bagaimana?