metrouniv.ac.id – 19/11/2024 – 17 Jumadil Awal 1446 H
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro)
Ada pepatah lama yang mengatakan Ada Emas di Ujung Cemeti. Pepatah ini untuk menggambarkan sebuah proses mendidik yang dilakukan dengan ketegasan dan disiplin tinggi, bahkan sedikit keras. Guru menggunakan alat cemeti (cambuk) untuk mendisiplinkan siswa ketika belajar. Saat siswa tidak disiplin atau tidak berhasil dalam belajar maka cemeti akan digunakan oleh guru untuk menghukumnya. Dipukulkanlah cemeti itu ke punggung atau paha siswa, supaya siswa itu belajar kembali hingga sampai berhasil dalam belajar.
Generasi tahun enam puluhan sampai dengan delapan puluhan barangkali pernah mengalami situasi belajar seperti itu. Praktek pembelajaran dengan “cemeti” di tangan guru menjadi hal yang lumrah dan biasa baik pada pendidikan formal, lebih-lebih pada pendidikan non formal. Menariknya, banyak yang menceritakan pengalaman belajar seperti itu sebagai sesuatu yang sangat berkesan bahkan sebagian menyatakan bahwa proses pembelajaran seperti itu yang membuat mereka menjadi orang yang berhasil dalam menggapai cita-cita. Dahulu, kata mereka, kalau ada anak lapor ke orang tuanya bahwa ia telah dipukul penggaris oleh gurunya, maka orang tua bukan marah kepada gurunya, tetapi justru marah kepada anaknya. Anaknya dianggap nakal dan bodoh di sekolah sehingga sudah sepantasnya mendapat hukuman dari gurunya. Ada orang tua ketika mendapat laporan seperti itu, malah menambah hukuman kepada anaknya.
Pepatah yang mengatakan Ada Emas di Ujung Cemeti berawal dari pengalaman belajar tersebut. Maknanya adalah bahwa belajar itu dibutuhkan kedisiplinan, keseriusan dan kerja keras, serta harus rela menderita demi untuk memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan. Jika guru memukul murid dengan cemeti, penggaris, sapu lidi, rotan dan yang sejenisnya ketika murid tidak mengindahkan guru atau murid gagal dalam belajar, maka hal itu sebagai konsekuensi yang harus ditanggung. Semua harus diterima sebagai hukuman atas perilaku yang tidak baik dan kegagalan dalam belajar. Harapannya, setelah mendapat hukuman itu murid akan berperilaku yang baik, disiplin dan belajar lebih giat lagi supaya menguasai ilmu yang diajarkan.
Dunia berubah. Kesadaran akan arti pentingnya pendidikan yang humanis semakin tinggi. Lama kelamaan cara pembelajaran dengan cemeti dan rotan di tangan guru mendapatkan kritik habis-habisan. Pengajaran seperti itu dinilai tidak manusiawi. Kekerasan dalam lingkungan pendidikan dinilai memiliki dampak serius dan negatif pada perkembangan psikologis, emosional dan akademis siswa. Para pendidik sebagai pihak yang seharusnya memberikan bimbingan dan perlindungan kepada siswa, memiliki tanggungjawab yang besar dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, kondusif dan tanpa kekerasan baik kekerasan verbal (non fisik) maupun non verbal (fisik).
Paradigma pendidikan nir kekerasan ini kemudian menjadi parameter dan landasan bagi pelaksanaan pendidikan. Tidak ada emas di ujung cemeti, juga tidak ada emas di ujung rotan. Pendidikan dengan kekerasan adalah cara-cara lama yang tidak sesuai dengan dasar psikologi dan filosofi pendidikan. Setiap ada kasalahan atau ketidakmampuan murid, tugas guru adalah memberikan bimbingan, pengarahan dan penjelasan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Bukan menghukumnya dengan kekerasan fisik atau menghardiknya dengan umpatan atau kata-kata cacian.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, mengeluarkan regulasi berupa Permedikbudristekdikti Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dasar Pemikiran aturan ini adalah bahwa Peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan lainnya berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Untuk melaksanakan perlindungan dari kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan, maka dilakukan pencegahan dan penanganan kekerasan yang mempertimbangkan hak peserta didik dalam memperoleh lingkungan satuan pendidikan yang ramah, aman, nyaman, dan menyenangkan bagi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan warga satuan pendidikan lainnya.
Makna kekerasan dalam pendidikan itu sendiri diperluas, bukan hanya sekedar kekerasan fisik. Dalam Permendikbudristekdikti Nomor 46 tahun 2023 tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan, tindakan dan/ atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasai manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.
Dewasa ini hampir semua sepakat bahwa kekerasan di lingkungan pendidikan apapun itu alasannya tidak diperbolehkan. Meskipun masih juga ada sebagian kecil orang yang menilai bahwa sekali waktu sedikit kekerasan fisik kepada siswa bisa ditoleransi untuk mendidik dan mendisiplinkannya. Namun, sekali lagi secara umum sepakat bahwa praktek kekerasan dalam pendidikan adalah sebagai suatu yang harus dihindari.
Pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. Kasus terakhir yang mendapat perhatian luas adalah kasus guru Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito Kabupaten Konawe Selatan. Supriyani dilaporkan oleh orang tua murid atas tuduhan penganiayaan kepada anak si pelapor yang merupakan murid Supriyani. Ia dituduh telah memukul anak pelapor dengan sapu yang mengakibatkan luka di bagian paha belakang. Sempat ditahan oleh kejaksaan, namun akhirnya Supriyani dibebaskan karena desakan dari berbagai pihak. Namun kasus ini terus berlanjut dan sampai ke pengadilan. Lewat proses persidangan yang mendapatka atensi dari banyak pihak termasuk pemerintah pusat, akhirnya Supriyani diputus bebas, karena tindakan yang dilakukan Supriyani dinilai sebagai bagian dari proses pendidikan.
Dalam pendidikan memang ada alat pendidikan yang dinamakan Reward and Punisment atau pemberian hadiah dan hukuman. Reward diberikan kepada siswa yang berhasil dalam belajar atau atas prestasi yang diperoleh agar siswa tersebut semakin termotivasi dan tumbuh rasa percaya diri untuk lebih maju lagi. Reward diberikan dalam bentuk pujian atau hadiah berupa uanga atau benda yang bermanfaat bagi siswa. Sementara Punishment diberikan kepada siswa yang belum berhasil dalam belajar, atau melakukan pelanggaran yang tidak seharusnya. Punishment diberikan dalam bentuk teguran, atau bisa penugasan tambahan supaya dikerjakan atau belajar kembali, atau dalam bentuk fisik yang bersifat mendidik dan mendisiplinkan. Punishment bagian terakhir ini yang terkadang menimbulkan perdebatan. Wallahu a’lam Bishawab. (mh.19.11.24).