socio
eco-techno
preneurship

Budaya Hierarkis yang Membunuh Diskusi: Dosen Tak Selalu Benar, Mahasiswa Tak Selalu Salah

bg dashboard HD

metrouniv.ac.id – 19/04/2025 – 20 Syawal 1446 H

Dr. Buyung Syukron, S.Ag. SS., MA. (Ketua Lembaga Penjaminan Mutu/Dosen PPs IAIN Metro)

“Dunia akademik dihadapkan pada sebuah fenomena besar untuk menjawab secara logis, kritis, argumentatif bahkan ilmiah atas Kritik terhadap budaya akademik yang terlalu menjunjung otoritas tanpa membuka ruang dialog sejati”. Sejatinya kampus hadir bukan hanya sekedar menjadi ruang akademik, tapi

juga ruang pembebasan. Education must begin with the solution of the teacher-student contradiction, by reconciling the poles of the contradiction so that both are simultaneously teachers and students.” (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (1970). Pendidikan harus dimulai dengan menyelesaikan kontradiksi dengan menyatukan kedua kutub agar keduanya secara bersamaan menjadi pengajar dan pelajar.)

 

 

Refleksi Naratif

Judul yang penulis pilih di atas mungkin bahkan bagi sebagian orang khususnya akademisi dan mahasiswa memang agak kontroversi dan kontradiktif. Akan tetapi kalau kita jernih melihatnya, maka ada sesuatu yang hilang dalam sistem dan budaya mutu akademik kita saat ini. Dalam dunia pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang dialektika -pencarian kebenaran, dan pertumbuhan intelektual – seharusnya hidup kuat sebagai sebuah budaya yang sulit dipatahkan. Akan tetapi yang muncul dalam dunia pendidikan dan budaya akademik kita adalah budaya hierarki absolut antara dosen dan mahasiswa. Budaya ini pada akhirnya menjadikan diskusi bukan lagi sebagai arena saling belajar, melainkan panggung satu arah – di mana dosen dianggap pemilik kebenaran mutlak dan mahasiswa sekadar pendengar yang baik. Pernyataan bahwa “dosen tak selalu benar, mahasiswa tak selalu salah” bukanlah bentuk pemberontakan, melainkan seruan untuk menghidupkan kembali semangat belajar yang sejati. Sebab, dalam filsafat ilmu, kebenaran bukan milik individu, melainkan hasil dari dialektika, keraguan, dan keterbukaan pikiran.

Perlu diakui bahwa secara historis, institusi pendidikan tinggi memang lahir dari model hierarkis – dosen sebagai pemegang otoritas ilmu, mahasiswa sebagai penerima ilmu. Namun, dalam perkembangan paradigma pembelajaran kontemporer, pendekatan ini mulai dipertanyakan. Paulo Freire (dalam Pedagogy of the Oppressed:1970) menyebut model pengajaran lama sebagai “banking model”, di mana dosen seperti mesin ATM yang mentransfer pengetahuan, dan mahasiswa adalah tabungan kosong yang harus diisi. Model ini secara tak langsung menyingkirkan rasa ingin tahu, kritik, dan keterlibatan aktif dari mahasiswa. Alih-alih tumbuh menjadi pemikir, mahasiswa menjadi penghafal yang takut salah. Padahal, kesalahan adalah bagian alami dari pencarian makna. Banyak mahasiswa yang enggan berbicara, bukan karena tidak punya gagasan, tetapi karena takut dianggap “menantang” otoritas dosen. Pertanyaan sederhana bisa ditafsir sebagai bentuk perlawanan. Ketika keberanian mahasiswa untuk menyanggah dianggap sebagai ancaman, maka diskusi berubah menjadi formalitas – hampa makna, kehilangan denyutnya. Padahal dalam tradisi filsafat, mulai dari Socrates hingga Gadamer, diskusi adalah inti dari pencarian kebenaran. Socratic method sendiri adalah seni bertanya dan mempertanyakan, bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk membuka lapisan-lapisan makna yang tersembunyi. Dengan terminologi dan makna lain diskusi yang sehat bukan yang bebas dari ketegangan, tetapi yang mampu menjaga ketegangan itu dalam kerangka saling menghargai dan terbuka terhadap koreksi (Socrates, 470/469 SM – 399 SM).

Dosen dan Mahasiswa: Mitra dalam Pencarian Ilmu

Dalam dunia pendidikan tinggi, relasi antara dosen dan mahasiswa kerap terbingkai dalam struktur yang kaku: dosen sebagai sumber pengetahuan, mahasiswa sebagai penerima. Tapi apakah ilmu pengetahuan sesederhana aliran satu arah? Apakah belajar hanya tentang siapa yang memberi dan siapa yang menerima? Dalam pandangan yang lebih filosofis, ilmu bukan sesuatu yang diwariskan dari atas menara, melainkan sesuatu yang digali bersama dari tanah yang sama. Dosen dan mahasiswa bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua ujung tali yang saling menguatkan simpul pemahaman. Bahkan dalam realitas dan fakta akademik, Filsuf Paulo Freire ((dalam Pedagogy of the Oppressed:1968) ) menyebut relasi ideal dalam pendidikan sebagai “komunitas pencari” sebuah persekutuan antara pendidik dan peserta didik yang sama-sama belajar, sama-sama tumbuh. Dosen bukan dewa kebenaran, dan mahasiswa bukan wadah kosong. Keduanya adalah subjek yang aktif dalam proses pencarian makna.

Budaya akademik harus mensejajarkan diantara keduanya Dosen dan mahasiswa sebagai dua subyek yang berposisi sebagai ”pencari ilmu”. Dengan posisi sebagai pencari ilmu inilah akhirnya terbangun sebuah struktur kerendahan hati dari dua arah: dosen yang bersedia mendengar, dan mahasiswa yang berani bertanya. Dalam ruang kelas yang sehat, bukan hanya pengetahuan yang tumbuh, tapi juga keberanian berpikir, empati, dan penghargaan terhadap keragaman cara pandang. Kebersamaan ini bukan berarti menghapus peran atau tanggung jawab, tapi menata ulang cara kita melihat relasi: dari dominasi menuju kolaborasi. Perlu ditegaskan, menjadi mitra bukan berarti meniadakan peran. Dosen tetaplah fasilitator, pembimbing, dan narasumber yang memberikan arah, pengalaman, serta kedalaman. Mahasiswa tetaplah individu yang sedang mencari, bertumbuh, dan membangun fondasi berpikir. Namun kemitraan yang sejati dibangun di atas pengakuan akan martabat intelektual masing-masing. Karena hakikat ilmu bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi tentang proses berjalan bersama untuk melintasi keraguan, memperdebatkan makna, dan membuka kemungkinan baru. Jika dosen dan mahasiswa melihat satu sama lain bukan sebagai “atasan” dan “bawahan”, melainkan mitra dalam perjalanan intelektual, maka ruang belajar akan menjadi lebih dari sekadar tempat menghafal materi. Ia akan menjadi ruang tumbuh, ruang bertemu, ruang hidup di mana ilmu menjadi jalan pulang menuju kemanusiaan.

Mitra sejati dalam pencarian ilmu harus didasarkan pada pengakuan akan potensi berpikir dari kedua belah pihak. Dosen, betapapun berpengalaman dan terpelajarnya dia, tetap seorang pembelajar. Mahasiswa, seberapa pun mudanya, tetap seorang pemikir yang punya gagasan. Dalam relasi yang sehat, pengetahuan bukan milik siapa pun secara eksklusif. Ia adalah hasil pertemuan, percakapan, dan pembentukan bersama.  Dalam semangat yang sama, dosen dan mahasiswa mestinya hadir dalam kelas bukan untuk sekadar menyelesaikan RPS, Materi atau silabus semata, tetapi untuk membuka ruang tanya: mengapa ini penting? Apa implikasinya? Apa yang terabaikan? Dalam suasana demikian, pengetahuan tidak hanya dipelajari, tapi dipertanyakan; tidak hanya dihafal, tapi dimaknai; tidak hanya didapat, tapi juga dipertanggungjawabkan secara moral dan sosial. Kemitraan akan menciptakan ruang kepercayaan. Ketika mahasiswa merasa pendapatnya dihargai, mereka akan lebih berani bertanya dan bereksperimen. Ketika dosen bersedia mengakui keterbatasannya, mereka memberi teladan bahwa berpikir kritis dan rendah hati bisa berjalan berdampingan.

Menyadari bahwa dosen pun bisa keliru adalah bentuk kedewasaan intelektual, bukan pelecehan akademik. Demikian pula, mengakui bahwa mahasiswa bisa benar bukan bentuk ketidakpatuhan, tetapi penghormatan terhadap semangat belajar itu sendiri. Dosen bukan dewa ilmu, dan mahasiswa bukan keranjang kosong. Keduanya adalah subjek pembelajaran yang saling membentuk. Dalam pendekatan konstruktivistik, ilmu pengetahuan tumbuh melalui interaksi—bukan dari atas ke bawah, tetapi dari dialog horizontal. Hierarki fungsional tetap dibutuhkan untuk mengarahkan dan menjaga sistem pendidikan. Namun, hierarki epistemik, yang menjadikan satu pihak selalu benar dan yang lain selalu salah, adalah ilusi yang merusak. Ia membunuh rasa ingin tahu, membatasi ruang eksperimentasi, dan mematikan keberanian untuk berpikir. Sudah waktunya kita membangun budaya akademik yang lebih sehat dan bermitra. Pola kemitraan akademik ini tidak berarti menghapus substansi dan esensi serta peran dosen sebagai pembimbing, tetapi hanya mengubah substansi dan esensi serta peran peran tersebut menjadi peran yang dinamis dengan menjadikkannya sebagai fasilitator pertumbuhan, bukan penjaga kebenaran tunggal. Mahasiswa pun perlu diberi ruang untuk bersuara, berpikir, dan jika perlu—salah. Karena dari kesalahanlah tumbuh pembelajaran yang paling jujur.

Sudah saatnya pola dan budaya akademik yang bermitra dan kolabarotaif harus dihidupkan, karena sadar atau tidak saat ini kita hidup di era di mana akses terhadap informasi begitu mudah, namun pencarian makna terasa semakin sulit. Dalam situasi ini, pendidikan tinggi tidak boleh hanya menjadi tempat mencetak lulusan siap kerja, tapi juga pembentuk manusia yang utuh – yang berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran penuh. Hubungan dosen dan mahasiswa yang bersifat kolaboratif akan melahirkan ruang belajar yang hidup. Bukan sekadar ruang kelas, tetapi ruang dialog batin, tempat perbedaan menjadi kekayaan, dan keraguan menjadi pintu menuju pemahaman yang lebih dalam. Sudah saatnya menurut penulis dunia akademik kita diwarnai dengan paradigma pendidikan baru yang berani berterus terang untuk menolak sistem lama yang kaku serta menutup ruang kritis dalam pembelajaran. Budaya akademik harus berani memunculkan gaya pendidikan dalam ruang belajar yang bersifat relasi egaliter, dialogis dan kritis. Bukan lagi ruang belajar yang otoritatif yang akan menghilangkan gema nuraninya.

Penutup

Tulisan dengan judul atau tema di atas pada akhirnya ingin mengajak seluruh insan akademik untuk berfikir secara jernih dan modern bahwa pendidikan dengan seluruh proses yang ada di dalamnya adalah bicara tentang pencarian ilmu. Ini berarti menyadarkan kita semua bahwa belajar adalah proses kolektif. Tak ada satu pihak yang mutlak benar, dan tak ada yang sepenuhnya tahu. Kita semua sedang belajar: memahami dunia, memahami orang lain, dan pada akhirnya, memahami diri sendiri. Dosen dan mahasiswa bukan dua entitas yang saling berjauhan, tetapi dua insan yang dipertemukan oleh rasa ingin tahu yang sama meski dari tempat berpijak yang berbeda. Jika keduanya berjalan bersama, saling meneguhkan, saling mempertanyakan, dan saling membuka ruang, maka ilmu bukan hanya akan ditemukan, tapi juga dihidupkan. Dan bukankah itu tujuan sejati dari pendidikan? Akhirnya kalimat latin yang sangat bijak mengatakan: “Veritas non nascitur ex silentio, sed ex dialogo.”  Kebenaran tidak lahir dari keheningan, tetapi dari dialog. Semoga.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.