metrouniv.ac.id – 21/01/2025 – 21 Rajab 1446 H
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro)
Seberapa banyak dan seberapa besar dunia ini bisa dinikmati manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya? Tentu saja ada batasnya. Jika seseorang makan untuk memenuhi hasrat laparnya dan ia kemudian makan makanan yang menurut lidahnya terenak di dunia ini, maka ia tidak akan bisa melampau kapasitas lambung perutnya. Kalau ia berusaha mengisi terus perutnya dengan makanan yang terenak di dunia tersebut dengan tanpa batasan, bukan kenikmatan yang didapatkan tetapi justru malapetaka bagi hidupnya. Perut yang penuh makanan dengan tanpa menyisakan sedikitpun ruang untuk udara justru akan menimbulkan kematian. Berarti makan itu ada batasnya. Sekaya apapun seseorang, dia hanya akan membelanjakan hartanya untuk makan sebatas kapasitas lambungnya. Tidak lebih.
Begitu pula dengan pakaian yang digunakan. Semahal apapun pakaian yang dibeli, tujuan utamanya sebenarnya untuk menutupi tubuh dari hawa dingin dan panas. Desain dan model pakaian hanya sebagai pelengkap untuk kepantasan dan kepatutan serta nilai estetik dalam berpakaian. Kualitas bahan pakaian yang mahal hanya untuk kenyamanan ketika dipakai di badan. Demikian pula dengan rumah yang dibangun, tujuan utamanya adalah tempat berteduh dan istirahat menghilangkan penat setelah seharian bekerja. Disamping itu rumah juga dijadikan tempat berkumpul keluarga dan menerima tamu yang berkunjung untuk silaturahmi. Meskipun rumah bisa dibangun oleh orang yang kaya dan mampu bak istnana, namun tetap saja memiliki batasan. Apalagi bila tujuannya kenyamanan penghuninya. Belum tentu rumah yang mewah dan megah nyaman untuk ditinggali. Terkadang rumah yang sederhana justru merupakan hunian yang menentramkan dan mendamaikan.
Apa artinya? Artinya kehidupan dan kenikmatan dunia ini sungguh sangat terbatas. Tidak bisa dilampaui dari batas kepatutannya. Semampu dan sekaya apapun seseorang, katakanlah milyarder atau triliyuner, maka dia hanya akan bisa membelanjakan hartanya sebatas kebutuhan dan kepatutan itu. Kecuali jika ia memperturutkan hawa nafsu dan keinginannya yang tidak terbatas. Dia akan terjebak dalam konsumerisme, kemubaziran dan gaya hidup hedonisme. Apakah itu membahagiakan? Jawabanya seratus persen pasti tidak. Itu hanya ilusi kebahagiaan. Kepuasaan dalam keputusasaan.
Beberapa orang kaya, bahkan sangat kaya sering kita saksikan hidup dan dengan kisah hidupnya. Mereka hidup dengan apa adanya. Pakaiannya biasa saja, seperti yang digunakan oleh kebanyakan orang-orang tidak kaya. Bukan pakaian yang bermerk dan mahal. Ia makan dengan menu makanan yang juga biasa saja, malah terkadang mencari makanan tradisional yang orang lain sudah banyak menghindarinya. Namun ia menikmati semuanya dengan gembira dan tanpa beban. Jika mau, orang kaya ini bisa membeli baju dan makanan yang paling mahal. Namun ia memilih yang sebaliknya atau setidaknya memilih gaya hidup rata-rata yang dilakukan orang. Orang lain yang tidak kaya mungkin berpikir, untuk apa uang yang banyak itu kalau tidak digunakan untuk membeli pakaian yang mewah dan makanan yang mahal. Jika nanti matipun juga tidak akan dibawa.
Cara hidup dan memenuhi kebutuhan hidup adalah pilihan, bukan keharusan atau kewajiban. Makan adalah keharusan, namun apa yang akan dimakan adalah pilihan. Berpakaian adalah kebutuhan, namun jenis, merek dan harga suatu pakaian adalah pilihan. Begitulah cara hidup, apakah seseorang memilih bersahaja atau bermewah-mewah dan berlebihan adalah soal pilihan. Karena pilihan, maka bisa terjadi orang yang tidak kaya memilih hidup yang mewah dan berlebihan, meskipun itu harus dibayar dengan kebangkrutan karena besar pasak daripada tiang. Bisa juga terjadi Si kaya memilih hidup mewah dan berlebihan karena itu memungkinkan baginya. Namun bisa terjadi Si kaya memilih hidup yang sederhana, dan yang tidak terlalu kaya memilih bersahaja.
Seseorang yang memilih hidup dengan bermewah-mewah dan berlebihan akan terjebak dalam perilaku yang boros dan membuang manfaat dari apa yang dimiliki. Hal-hal yang semestinya berguna bagi orang lain, namun dibuang begitu saja dan tidak memberikan manfaat karena sudah berlebih bagi kebutuhan hidupnya. Karena itu Islam melarang perilaku yang boros dan mubazir, bahkan orang yang bertindak boros dan mubazir dicap sebagai temannya setan. Hal itu difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Isra ayat 26-27: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang terdekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghamburkan-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dahulu, telah menjadi kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah mengumpulkan dan menumpuk harta yang mereka dapatkan dari rampasan perang dan penyamunan. Harta itu kemudian mereka pakai untuk berfoya-foya supaya mendapatkan popularitas dan kemasyhuran. Peringatan dalam surat Al-Isra di atas mengingatkan kaum muslimin dari kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah tersebut supaya tidak diikuti dan diulangi. Larangan hidup boros itu bertujuan agar kaum muslimin bisa mengatur pengeluarannya dengan perhitungan yang secermat-cermatnya, agar apa yang dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan dan pendapatan mereka.
Nabi Muhammad sendiri mencontohkan cara hidup yang bersahaja dan sederhana kepada para pengikutnya. Para sahabat menyaksikan secara langsung kehidupan Nabi. Kamar tempat tinggal dan tidur Nabi hanya berisikan tempat tidur yang sederhana beralaskan tikar dari daun kurma, selembar baju menggantung yang digunakan sebagai ganti. Padahal jikapun Beliau kehendaki lebih dari itu bisa dilakukan dan para sahabat siap untuk menfasilitasi. Beliau adalah Nabi sekaligus sebagai kepala pemerintahan dan seorang Panglima perang yang fasilitas semewah apapun bisa dimiliki. Namun Nabi memilih hidup bersahaja, bahkan mungkin lebih dari bersahaja.
Para sahabat Nabi, juga dikenal sebagai orang-orang yang hidup secara bersahaja. Abu Bakar yang merupakan saudagar kaya memilih menginfaqkan sebagian besar hartanya untuk perjuangan dakwah Islam. Abu Bakar hidup dengan secukupnya saja untuk bisa makan dan minum. Umar bin Khatab, mungkin terlalu sangat sederhana. Apa lumrah seorang kepala negera dari suatu imperium besar dengan kekuasaan yang juga sangat besar berpakaian dengan baju yang penuh tambalan sampai-sampai tidak dikenali oleh rakyatnya karena ia tidak sediktpun menampakkan dirinya sebagai seorang pembesar sebagaimana kebanyakan pembesar saat itu. Dia pikul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada satu keluarga yang kelaparan setelah ia melakukan sidak pada suatu malam. Apa ada penguasa seperti Umar bin Khatab setelahnya hingga sekarang ini. Sukar ditemukan atau mungkin malah belum ditemukan.
Gaya hidup Nabi dan para sahabatnya tersebut di atas, dikalangan ahli sufi dan asketik Islam disebut dengan gaya hidup Zuhud. Orang yang hidup zuhud itu bukan orang memilih menjadi miskin, akan tetapi orang zuhud adalah orang yang memiliki dan menggengam dunia di tangan, namun ia hanya mempergunakan sebatas keperluannya. Karena itu menjadi zuhud tidak perlu menjadi miskin dahulu baru berzuhud. Namun orang yang memiliki kekayaan dalam waktu yang sama bisa menjadi Zahid (orang yang memilih hidup zuhud). Dikalangan sufi berkembang suatu pandangan yang menyatakan jika ada orang miskin berperilaku zuhud itu tidak istiemewa, namun jika ada orang kaya yang dunia berada dalam genggamannya lalu ia hidup zuhud, maka itulah zuhud yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bishawab (mh.21.01.25)