INTELEKTUALISME NGASONG
Mukhtar Hadi
Wakil Rektor 2 IAIN Metro
Persoalan fenomena kaum intelektual dan akademisi menurut hemat penulis menarik untuk selalu diwacanakan dan didiskusikan, setidaknya untuk membangun kesadaran betapa pentingnya posisi para akademisi itu dalam dinamika perubahan dan kemajuan sebuah bangsa. Mereka para akademisi adalah kaum terdidik yang telah tercerahkan secara intelektual dan biasanya berada pada posisi-posisi strategis di pemerintahan maupun di masyarakat. Mereka adalah kaum kelas menengah yang sangat menentukan perubahan dan dalam masyarakat dan pendorong kemajuan suatu negara. Di Eropa, kelas menengah terdidik diakui sebagai kelas penting yang memegang kendali perubahan dan menjadi jembatan antara masyarakat kelas bawah (kaum proletar/marhein) dan kelas pemilik modal ( kaum borjuis/para pengusaha dan tuan tanah). Karena itu, jika para akademisi atau kaum intelektual sebagai representasi kelas menengah dalam masyarakat tidak bekerja dengan baik, tidak berperan sesuai dengan kapasitasnya secara memadai, maka bisa dipastikan perubahan dan kemajuan suatu bangsa akan terhambat bahkan akan tertinggal oleh bangsa lain.
Penulis memiliki kegelisahan yang sama terhadap fenomena kaum intelektual saat ini. Dari kacamata otokritik, saya beranggapan bahwa di tubuh kaum intelektual sekarang ini telah mewabah suatu penyakit yang sangat kronis, yang penyakit itu telah ditularkan kemana-mana dalam institusi pendidikan formal maupun dalam institusi non formal. Entah penyakit apa itu namanya, anda boleh menyebut penyakit feodalisme intelektual, penyakit intelektual narsis, dan sebagainya. Tetapi saya lebih suka menyebutnya sebagai penyakit Intelektualisme Ngasong.
Apa itu Intelektualisme Ngasong ?
Istilah “Ngasong” dianalogkan seperti kegiatan para pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai jualannya di perempatan-perempatan jalan lampu merah, di bis-bis kota, dan di jalan-jalan ketika macet. Pendeknya jualan mengasong berarti menawarkan jualan kepada para pembeli di tempat-tempat yang ramai dengan memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada. Jika pedagang asongan menjajakan minuman ringan, tisu, makanan ringan dan gorengan, rokok, dan macam-macam lainnya, maka pengasong intelektual adalah mereka yang menjajakan gelar akademik, menawarkan pengetahuan dan mensorongkan tingkat pendidikan untuk dibeli oleh mereka yang membutuhkan. Mereka yang membutuhkan dan membeli jualan pengasong intelektual bisa saja partai politik, pemilik jabatan dan kekuasaan, LSM, atau para intelektual itu sendiri yang membeli dirinya sendiri untuk kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek.
Kaum intelektual yang semestinya memiliki tanggungjawab untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dimiliki dengan karya-karya akademiknya dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemaslahatan masyarakat dalam intelektualisme ngasong terjebak dalam kepentingan-kepentingan kekuasaan yang sesaat dan kepentingan pragmatisme jangka pendek. Akibatnya. banyak sarjana baru yang lahir, magister baru yang lulus, dan doktor-doktor baru yang segar, tidak memiliki orientasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan tetapi malah menjadi pemburu rente kekuasaan.
Kami orang-orang perguruan tinggi, sering menyaksikan dan merasakan kenyataan itu. Tuntutan profesi para akademisi di perguruan tinggi mendorong mereka ramai-ramai menempuh pendidikan sampai pada tingkat Strata tiga atau Program Doktor. Perguruan tinggipun memanen para doktor baru. Ucapan selamat atas keberhasilan doktor baru pun dipajang dimana-mana di dalam kampus maupun di luar kampus. Tapi apa dinyana, hanya satu dua orang saja doktor baru itu yang kemudian bersikap istiqomah dengan menghasilkan karya-karya akademik bermutu, selebihnya bergerombol, kasak-kusuk di “lorong-lorong sempit” untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan di kampus. Pertemuan dan pembicaraan bukan lagi berbicara bagaimana mengembangkan konsorsium keilmuan yang kuat atau menghasilkan karya ilmiah bermutu, tetapi menjadi ajang untuk mengkritik pimpinan, menyalahkan rektor dan pembantunya bahkan keinginan untuk mendongkel kekuasaan.
Para birokrat yang menempuh pendidikan lanjut, banyak yang diniatkan bukan untuk menambah pengetahuan agar pelayanannya kepada masyarakat menjadi lebih baik lagi, tetapi agar supaya memudahkan kenaikan pangkat dan jabatan serta menaikkan posisi tawar secara politik. Para politisi, melanjutkan pendidikan bukan lagi untuk menaikkan kualitasnya sebagai calon pemimpin politik agar menjadi negarawan, tetapi hanya untuk menaikan citra pribadi di mata konstituen. Karena itu lazim, jika mereka ingin melanjutkan pendidikan bukan memilih perguruan tinggi yang kredibel secara akademik, tetapi memilih perguruan tinggi yang memberikan jaminan studi dengan waktu yang cepat, lulus secara massal, dan gelar akademik segera didapat.
Itulah intelektualisme Ngasong, yang menghambakan inteletualisme bukan kepada ilmu pengetahuan dan kemanfaatannya pada masyarakat banyak, tetapi menghambakan diri kepada kepentingan pragmatis, kepentingan jabatan, kepentingan politik, dan kepentingan pada kekuasaan ansich. Ali Syariati, salah seorang pemikir Iran yang sangat berpengaruh, pernah menyatakan bahwa para Ulul Albab atau Intelektualis adalah mereka yang tidak hanya memiliki pendidikan tinggi, tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan, tetapi para intelektual adalah mereka yang juga peduli kepada kehidupan masyarakat, memanfaatkan ilmunya untuk kepentingan orang banyak dan mereka yang senantiasa megembangkan kapasitas keilmuannya.
Tidak Semuanya
Kita tentu tidak boleh memukul rata atau menggebyah uyah (bahasa jawa), bahwa semua intelektual dan akademisi adalah kaum feodal secara akademik atau menjadi intelektual ngasong seperti gambaran di atas. Masih banyak saya kira akademisi dan para intelektual yang konsen pada pengembangan akademik, mampu menghasilkan karya-karya akademik bermutu dan bila toh diberikan kepercayaan jabatan dan kekuasaan betul-betul menjadi orang yang amanah dan tidak melepaskan jatidirinya sebagai akademisi yang memegang teguh nilai-nilai ilmiah seperti kejujuran, terbuka, toleran, mau menerima kritik, dan sebagainya. Dalam hal ini kita tidak boleh kehilangan harapan.
Namun, kesadaran kolektif terutama pada kalangan akademisi, bahwa kita sedang berada dalam jebakan feodalisme dan zona merah tradisi akademik hendaknya menjadi perhatian dan kegelisahan bersama. Sekarang ini budaya plagiarisme telah menjadi massal di banyak perguruan tinggi, apalagi di era penggunaan internet sebagai sumber pengetahuan, orang dengan mudah sekali melakukan copy paste tulisan dan karya orang tanpa mau bersusah payah merangkai pengetahuan lewat tulisan sendiri. Orang beramai-ramai menyerbu perguruan tinggi abal-abal hanya untuk sekedar mendapatkan gelar dan pengakuan akademik secara instan tanpa mau bersusah payah belajar dan melewati kontemplasi ilmu pengetahuan yang tiada bertepi. Semua dengan tujuan instan, mendapat ijazah dan gelar akademik secara cepat. Kita tidak mungkin berharap besar bahwa negara kita akan dapat maju dan berkembang pesat jika kaum intelektualnya bermental instan secara akademik, hoby melakukan plagiarisme dan mengukur pendidikan untuk kepentingan pragmatis sesaat. Wallahua’lam bishawab.