socio
eco-techno
preneurship

INTOLERANSI: SENTIMEN (GHIRAH) DAN FANATISME KEAGAMAAN?

bg dashboard HD

INTOLERANSI: SENTIMEN (GHIRAH) DAN FANATISME KEAGAMAAN?
Buyung Syukron
Dosen Prodi PAI IAIN Metro
Email: buyungsyukron@gmail.com 
Perbedaan teologis maupun praktek ritual itu menjadi bagian dari "theological discourse"
yang memang akan abadi. Hingga akhir zaman akan ada yang menerima
tauhid dan masih akan banyak yang tidak menerima. Dalam perspektif agama
Islam, Allah menegaskan: “ilaallahi marji'ukum fayinnabiukum bimaa
kuntum ta'malun". Intinya, keyakinan seseorang biarlah menjadi tanggung
jawabnya masing-masing di akhirat kelak. Bahkan konsep dakwah dalam
Islam tidak pernah bertujuan mengislamkan seseorang. Karena toh juga
secara teologis dan keyakinan Islam, yang bisa memberikan hidayah itu
hanya DIA yang mencipta langit dan bumi.
Beberapa pemberitaan online dan cetak serta elektronik beberapa
hari ini menampilkan informasi yang kurang sedap untuk dikonsumsi
sebagai sebuah berita yang menyejukkan, menyegarkan, dan mencerahkan
pikiran, perasaan serta harapan akan sebuah keniscayaan terhadap
terbentuknya toleransi keberagaamaan. Ya, toleransi keberagamaan. Kita
kembali dihadapkan pada sikap “penelanjangan dan vulgaritas” terhadap
rendahnya sikap kita memaknai sekaligus menghargai pola kehidupan
beragama makhluk (baca: ummat) yang lain. Kasus pertama, terjadi dalam
institusi pendidikan di Yogyakarta. Kota yang men-claim sebagai Kota
Toleransi. Bagaimana tontonan “intoleransi” dipertunjukkan oleh
sekelompok orang/massa/ormas yang menuntut lembaga Universitas Kristen
Duta Wacana (UKDW) menurunkan baliho yang menggunakan gambar wanita
berjilbab sebagai sarana media sosialisasi. Sekelompok orang/massa/ormas
tersebut  merepresentasikan jilbab adalah simbol Islam, dan tidak boleh
dipergunakan oleh agama lain untuk dalih dan kepentingan apapun. Dengan
argumentasi, menghindari konflik yang lebih besar, akhirnya UKDW
menurunkan baliho tersebut. Kasus kedua, terjadi di Kota Bandung. Sikap
intoleransi keberagamaan yang kedua ini lebih frontal bahkan terkesan
sadis. Lagi-lagi, sekelompok orang/massa/ormas membubarkan prosesi
ibadah yang sedang dilaksanakan oleh ummat Kristiani. Serupa dengan di
Yogyakarta, atas dasar menghindari munculnya konflik yang luas, akhirnya
proses ibadah tersebut tidak dilanjutkan. Fakta dan realitas ini tentu
membuat miris kita semuanya. Betapa sikap menghargai kehidupan beragama
ummat lain mulai luntur. Pada akhirnya, kekhawatiran yang sangat mungkin
terjadi adalah resistensi terhadap proses dan rangkaian kehidupan
beragama ummat, berujung pada sebuah konflik keberagamaan.
SENTIMEN DAN FANATISME AGAMA : EKSKLUSIVITAS PEMAHAMAN
Tulisan ini ingin mengajak kita pada sebuah alur berfikir yang realistis
tentang toleransi beragama yang sebenarnya dengan melihat apa akar yang
menjadi sumber pemicu sehingga begitu mudahnya ummat lain melakukan
kekerasan, ancaman, kejahatan, bahkan balas dendam kepada ummat beragama
lainnya. Penulis melihat, latarbelakang terjadinya intoleransi  yang
berkembang saat ini bukan lagi hanya menyangkut tentang pemahaman,
pengetahuan, ataupun sikap keagamaan yang dimiliki ummat tertentu.
Tetapi lebih kepada “sentimen” (ghirah) keagamaan. Munculnya sentimen
keagamaan ini lebih didominasi oleh faktor subyektif, dimana unsur
ketidaksukaan, unsur mayoritas, dan unsur kekuatan yang berlindung
dibalik agama lebih cenderung bermain. Bahkan cenderung menjadi “stigma”
yang melihat pola kehidupan dan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh
ummat lain salah menurut asumsi dan persepsi mereka. Inilah sebenarnya
yang menjadi sumber “intoleransi” saat ini. Dan ini semua berubah
menjadi sebuah sentimen (ghirah) berdalih agama. Penulis meyakini,
apabila sentimen (ghirah) tersebut tidak dikelola dengan baik, maka
Fenomena  kekerasan atasnama agama akan senantiasa terjadi dan
meluluhlantahkan banyak hal terutama kerugian fisik dan psikis. Yang
lebih fatal lagi adalah, sentimen (ghirah) yang liar dan buta, bisa
meluluhkan ikatan kekerabatan, persaudaraan dan mencederai solidaritas
sosial keagamaan. Sehingga, nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya mulai banyak terkikis di
dalam lingkungan budaya masyarakat sekitar. Sekali lagi, ini semua
disebabkan dan harus dipahami karena sentimen (ghirah) agama begitu
gampang “beresonansi” menjadi kekuatan yang menyebar ke segala penjuru
bumi dengan besaran yang tak terkirakan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa Isu kekerasan atas nama agama adalah
fenomena transnasional yang ibarat dua sisi mata uang berpotensi
menciptakan harmoni dan konflik (Kegley and Witkopf: 1997). Dan ketika
sentimen (ghirah) sudah terkooptasi dan menjadi stigma dengan
mengatasnamakan kebenaran dan agama, maka atas dasar itu semua, fungsi
Tuhan digunakan untuk alat pembenaran kejahatan, kekerasan, ancaman dan
balas dendam. Proyeksi manusia, di satu sisi seolah-olah kekerasan Tuhan
tampil sebagai bagian dan kesucian-Nya sehingga kekerasan Tuhan menjadi
paling benar dan tampil sebagai alat utama penegakan keadilan. Di sisi
lain kekerasan atas nama Tuhan disamakan dalam bentuk pembebasan dalam
rangka mengajak ke pertobatan. Padahal kalau kita mau sedikit berfikir
secara komprehensif dan terintegratif, perbedaan dalam bentuk pemahaman
keagamaan bisa juga menjadi kekuatan membangun kebersamaan guna mencapai
tujuan keutuhan serta kemajuan umat manusia. Sayangnya, kekuatan itu
(pada banyak kasus) hanya difungsikan untuk merusak serta penyingkiran
terhadap orang lain; ha-hal tersebut sangat mudah digunakan oleh para
pemimpin serta tokoh masyarakat, agama, politik, dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.
 
Dengan itu, agaknya, sentimen (ghirah) keagamaan bisa dijadikan kendaraan yang paling ideal untuk mencapai tujuan dimaksud. 
Sentimen (ghirah) keagamaan sebagai perasaan tidak menyukai hadirnya
orang yang beragama lain disekitarnya atau bahkan dalam kehidupannya
merupakan sikap kekanak-kanakan dan sangat tidak familiar. Sikap seperti
ini pada akhirnya akan selalu menimbulkan kebencian yang mudah sekali
meledak menjadi konflik agama (Religious conflict) tatkala
tercipta kondisi yang tidak menyenangkannya. Hal serupa juga terjadi
pada fanatisme, sebagai sebuah perasaan cinta yang berlebihan terhadap
agamanya. Ada perdebatan panjang di antara para ahli tentang apa yang
secara umum diipersepsikan sebagai "konflik agama" (religious conflicts).
Benarkah ada konflik agama? Atau agama sekedar terseret ke dalam
konflik dengan motif yang berbeda?Saya menilai keduanya memungkinkan.
Ada konflik yang memang terpicu dan berdasarkan sentimen agama. Tidak
harus berdasarkan ajaran agama. Tapi sentimen beragamalah yang menjadi
dasar konflik tersebut.Sejarah panjang mengajarkan bahwa persentuhan
antara sentimen agama dan berbagai kepentingan kerap kali tidak
terhindarkan. Bahkan pada komunitas-komunitas maju dan (merasa) terdidik
(educated),bahkan di zaman di mana manusia merasa lebih modern dan beradab (civilized).
 
Kita ambil saja contoh bagaimana resistensi umat lain atau komunitas
lain kepada Rasulullah SAW di Madinah. Umumnya bukan karena agama. Tapi
lebih kepada "social jealousy" atau kecemburuan sosial.Contoh
terdekat barangkali adalah resistensi komunitas Yahudi di Madinah kepada
Rasulullah SAW. Mereka sesungguhnya menentang karena apa yang Al-Quran
sebutkan: "hasadan min anfusihim" (kedengkian yang ada pada mereka).
Kedengkian (hasad) ini sebenarnya lebih dipicu oleh kecemburuan sosial
karena minimal dua hal: 1) karena nabi terakhir ini terlahir bukan dari
kalangan mereka. 2) karena Muhammad SAW segera mendapat dukungan
maksimal dari masyarakat Arab yang sebelumnya sangat menghormati
komunitas Yahudi.
SENTIMEN DAN FANATISME: BASIS INTOLERANSI ?
 
Sentimen dan fanatisme keagamaan banyak memberi andil atas terciptanya
setiap adegan kerusuhan dan terjadinya konflik.Seyogyanya, sentemen
agama tidak mengaburkan tujuan agama tersebut. Charles Caleb Colton
(1825) dalam Pencarian Manusia Akan Allah, ia mengatakan: “Manusia akan
bergumul demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi
itu, berbuat apa saja kecuali hidup demi itu. Apabila agama yang sejati
mencegah satu kejahatan, agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan
kejahatan”. Hal ini diamini pula oleh Dr. Hamim Ilyas (2007), dengan
mengatakan: “agama menjadi keras lantaran adanya suatu tradisi
interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan doktrin  sebagai
sutatu pembenaran bertindak dengan mengembangkan dokrin-doktrin
ideologis”.
 
Preposisi di atas memberikan kejelasan bahwa relasi agama dan kerukunan
sesungguhnya memiliki satu tujuan, yaitu perdamaian. Kerukunan
menegasikan konflik sosial dan merupakan cita-cita setiap umat manusia.
Sedangkan agama juga mengharuskan rekonsiliasi demi membangun kerukunan
antarumat beragama agar tercapai hidup dalam suasana damai, saling
menghormati dan menghargai walau berbeda agama. Hal inilah yang
dikatakan oleh Abdul Aziz Ustman Altwaridji, (2003), bahwa ada 4 (empat)
cara untuk mencegah intoleransi yang mengatasnamakan sentimen dan
fanatisme keagamaan. Pertama, sukarela. Kedua, adanya tujuan bersama
demi melahirkan kerukunan yang praktis. Ketiga, kerja sama untuk
mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati sesuai dengan
rencanarencana kerja yang telah ditetapkan semua pihak. Keempat,
kerukunan dipelihara dengan menjunjung tinggi saling menghormati dan
mempercayai untuk menghindari penyelewengan tujuan dan mengendalikan
kepentingan individu atau kelompok agama tertentu.
 
Ajaran agama itu adalah ajaran yang berasal dari sumber agama yang
otentik. Untuk agama Islam tentu ajaran Islam itu bersumber dari dua
sumber utamanya. Yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Insya Allah selama ajaran
itu murni dari sumber tersebut maka akan dijamin kebenaran dan nilai
kebaikan yang dikandungnya. Yang menjadi dilema kemudian memang adalah
ketika dua sumber itu diwarnai kemudian oleh "warna tafsiran" pengikut
agama. Di sinilah kemudian kerap ajaran itu mengalami pergeseran bahkan
distorsi. Karena sesungguhnya tafsiran sumber agama (religious texts)
itu seringkali terpengaruh oleh keterbatasan penafsirnya. Termasuk di
dalamnya keterbatasan pemahaman, pengalaman, dan juga dibatasi oleh
kecenderungan kejiwaan di saat menafsirkannya. Sentimen agama lain lagi.
Sentimen agama lebih kepada perasaan berdasarkan kepada ikatan batin.
Paham atau sadar itu benar atau bahkan tahu kalau itu tidak benar akan
tetap dipertahankan karena sudah ada ikatan batin yang tidak
tergoyahkan.
 
Sebagaimana yang penulis uraikan di atas, sentimen agama ini lebih
banyak ditentukan oleh faktor subyektif, salah satunya yang turut
memainkan peran adalah faktor lingkungan sekitar. Sentimen (ghirah) dan
fanatisme keagamaan seringkali bukan karena pengaruh "ilmu agama" atau
pemahaman seseorang tentang agama itu. Perasaan atau sentimen beragama
inilah yang berbahaya ketika tidak diimbangi oleh pemahaman yang akurat
tentang agama. Di saat apa yang dipersepsikan sebagai agama tertantang
maka yang pertama akan mendominasi pada diri seseorang adalah "rasa" dan
bukan "rasionalitas". Akibatnya respon negetif, bahkan destruktif kerap
didahulukan. Situasi dan kondisi inilah yang seringkali dilabelisasi
sebagai "konflik agama". Padahal sejatinya adalah konflik yang
diakibatkan oleh sentimen dan fanatisme agama dan bukan karena agama itu
sendiri. Pemahaman yang kurang pas seperti itulah yang membawa kepada
kesimpulan bahwa “agama itu harus konflik”. Padahal agama-agama itu
tidak konflik karena memang sejatinya secara sosial semua agama
mengajarkan "nilai-nilai karamah, ihsan, khariyat, dan lain-lain".
 
Perbedaan teologis maupun praktek ritual itu menjadi bagian dari "theological discourse"
yang memang akan abadi. Hingga akhir zaman akan ada yang menerima
tauhid dan masih akan banyak yang tidak menerima. Dalam perspektif agama
Islam, Allah menegaskan: “ilaallahi marji'ukum fayinnabiukum bimaa
kuntum ta'malun". Intinya, keyakinan seseorang biarlah menjadi tanggung
jawabnya masing-masing di akhirat kelak. Bahkan konsep dakwah dalam
Islam tidak pernah bertujuan mengislamkan seseorang. Karena toh juga
secara teologis dan keyakinan Islam, yang bisa memberikan hidayah itu
hanya DIA yang mencipta langit dan bumi. 
KESIMPULAN
 
Kesimpulannya adalah mari jeli dalam menilai intoleransi yang ada dalam
dunia kita. Berhati-hati mengaitkan intoleransi dengan ajaran agama.
Walaupun mungkin intoleransi itu kemudian didasari oleh sentimen dan
fanatisme agama. Tapi sekali lagi sentimen dan fanatisme agama belum
tentu terjustifikasi oleh ajaran agama itu sendiri. Apalagi sampai
bermuara pada muncul dan tumbuhnya sikap intoleransi kehidupan ummat
beragama. Agama tidak boleh lagi diposisikan sebagai alat pendukung dan
pembenaran terhadap perilaku kekerasan, self fulfilling prophecy atas
kekerasan berbau agama. Penerapan standar ganda yang sempit dan
cenderung keliru yang menganggap, agamanya yang paling sempurna dan
paling benar, sementara agama lain tidak sempurna, karena itu salah dan
sesat.Dengan menempatkan standar ganda semacam ini-yang kemudian
terkonstruksi pada masing-masing penganut agama-terjadi saling
mengklaim, kebenaran hanya ada dalam agamanya; agama orang lain tidak
mengajarkan kebenaran. Karena tidak ada kebenaran maka tidak ada pula
keselamatan. Berpijak pada truth claim ini, maka pemahaman keagamaan mengarah pada segregasi-segregasi antarumat beragama.
 
Pada aspek lain, dakwah atau misi sudah seharusnya sejak sekarang
digerakkan arahnya pada proses pembentukan dan peningkatan kualitas
keimanan seseorang, bukan lagi berorientasi pada jumlah jemaah. Dakwah
atau misi digerakkan untuk lebih banyak memupuk solidaritas umat
antaragama dan kerja sama. Harus dihindari, adanya paradigma keselamatan
tunggal yang dikonstruksikan lewat dakwah/misi agama, karena ini akan
mengakibatkan munculnya cara beragama dan berparadigma lama, yaitu
paradigma "superior-inferior", yang di dalamnya mengandaikan adanya
"persaingan". Paradigma ini tidak memberi ruang pada umat beragama untuk
berdialog dan kerja sama. Umat beragama tidak boleh lagi terjerat dalam
segregasi eksklusif-inklusif yang berpangkal sentimen-sentimen
parokialisme. Untuk mempersempit ruang despotic agama-agama, agaknya
membuka mata bagi terjalinnya dialog dan kerja sama antaragama-bahkan
antar-elemen masyarakat untuk merespons banyak masalah kemanusiaan-harus
menjadi pilihan utama. Semoga.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.