metrouniv.ac.id – 3/02/2025 – 4 Sya’ban 1446 H
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro)
Belakangan ini di beberapa negara ada kecenderungan generasi mudanya atau pasangan muda yang baru menikah memilih untuk tidak memiliki anak. Diantara mereka bahkan tidak mau menikah dan memilih hidup membujang atau unmarried. Sementara yang menikah dengan kesepakatan pasangannya tidak mau memiliki anak (childfree). Dalam kacamata hak dan kebebasan tentu tidak ada yang salah, karena merupakan pilihan hidup masing-masing. Namun demikian dalam kacamata sosiologis mengenai keberlangsungan kehidupan manusia dan masyarakat akan menimbulkan dampak-dampak sosial yang sangat serius. Dalam kacamatan agama, jika motiv pilihan hidup seperti itu oleh karena kekhawatiran biaya hidup atau lari tanggungjawab dari kewajiban melestarikan keberlangsungan kehidupan manusia, maka ada resiko teologis yang harus ditanggung.
Kecenderungan childfree dan unmarried di banyak negara sangat mengkhawatirkan. Menurut statistik dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Jepang adalah salah satu negara dengan jumlah wanita berusia 50 tahun yang tidak memiliki anak tertinggi di antara negara-negara maju. 27 persen wanita yang lahir pada 1970 belum pernah melahirkan hidup saat mereka berusia 50 tahun.Menurut perhitungan The National Institute of Population and Social Security Research yang berbasis di Tokyo (IPSS), 31,6 hingga 39,2 persen wanita Jepang yang lahir pada tahun 2000 tetap tidak akan memiliki anak sepanjang hidup mereka. Peneliti senior IPSS Rie Moriizumi menuturkan pemicu hal tersebut adalah kesulitan menikah, pilihan pribadi, menunda, hingga karena infertilitas atau masalah kesehatan (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7217005/fakta-fakta-anjloknya-angka-kelahiran-di-jepang-)
Sementara di Korea Selatan,Dilansir dari The Korea Herald, tercatat sebanyak 249 ribu bayi lahir pada 2022. Pemerintah Korsel mengatakan, angka kelahiran tersebut menunjukkan penurunan sebesar 4,4 persen bila dibandingkan dengan 2021. Menurut data Statistik Korea, rata-rata jumlah anak yang dimiliki perempuan berusia 15-49 tahun turun menjadi 0,78 persen. Angka itu menurun 0,03 persen ketimbang periode sebelumnya yang mencapai 0,81 persen. Kecenderungan tersebut juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, persentase perempuan yang memilih childfree di Indonesia mencapai 8,2%. Angka ini merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu 7% pada 2019 dan 6,5% pada 2021. Bahkan untuk saat ini, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), 15% Gen Z memutuskan untuk childfree.
Banyak alasan seseorang atau pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Dirangkum dari beberapa pendapat, faktor-faktor penyebab pilihan itu adalah: Pertama, karena alasan masa lalu, yaitu pengalaman traumatik yang dimiliki tentang masa lalu tentang keluarganya. Ia tumbuh dan melihat apa yang terjadi di dalam keluarganya, sehingga apa yang ia lihat semasa kecil pun akan memengaruhi pilihannya ketika ia dewasa. Begitu pula tentang kenangan yang kurang baik, serta perasaan kecewa yang didapatkan selama masa anak-anak, perasaan dan kenangan tersebut pun bisa menjadi alasan terbesar, kenapa pasangan atau seorang perempuan memilih untuk childfree.
Kedua, Isu Lingkungan. Sebagian individu, baik yang telah berpasangan atau bahkan masih single pun menyadari isu tersebut, sehingga mereka merasa prihatin dengan isu tersebut dan memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree. Harapannya, tentu saja mereka tidak ingin menambah populasi yang telah ada. Dunia ini dirasa sudah sarat dengan beban populasi sehingga beban itu harus dikurangi dengan tida adanya penambahan penduduk baru.
Ketiga, Keadaan finansial seseorang menjadi salah satu faktor seseorang memutuskan untuk childfree. Membesarkan serta merawat anak, bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan persiapan mental serta finansial yang matang. Pada umumnya, pasangan atau individu cenderung memiliki kekhawatiran, bahwa mereka tidak mampu membesarkan anak dengan baik.
Keempat, Beberapa dari perempuan merasa khawatir, bahwa mereka tidak memiliki atau mengalami masalah dengan maternal instinct, serta tidak yakin bahwa mereka akan menjadi seorang ibu yang baik sesuai dengan harapan anak atau dirinya. Mereka merasa tidak mampu menjadi orang tua yang baik dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka, sehingga mereka memilih untuk tidak memiliki anak.
Kelima, Beberapa mungkin memiliki kondisi fisik tertentu yang membuat dirinya tidak bisa atau tidak mampu memiliki seorang anak termasuk didalamnya karena infertilitas atau ketidak suburan. Keenam, Alasan terakhir adalah karena alasan personal dari seseorang atau pasangan. Tidak ada alasan khusus, hanya saja mereka memilih untuk childfree, sebab mereka merasa nyaman dengan kondisi tersebut.
Dari berbagai alasan pasangan untuk tidak memiliki anak sebagai tersebut ada alasan-alasan yang bisa dipahami, misalnya karena kondisi fisik dan ketidakmampuan untuk melahirkan karena alasan kesuburan. Namun alasan-alasan lainnya lebih karena pilihan gaya hidup dan rasa khawatir yang berlebihan tentang masa depan anak dan kesejahteraanya, atau alasan ekonomi karena khawatir penghasilannya tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup keluarga jika ada tambahan anak, tentu saja perlu mendapatkan “perlawanan”.
Islam memandang bahwa salah satu tujuan penciptaan Laki-laki dan Perempuan atau hidup berpasangan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah untuk mengembangkan keturunan. Dari perkawinan dua anak manusia itu dimaksudkan oleh Allah untuk memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak (QS. An-Nisa: 1). Penegasan yang sama juga difrimankan oleh Allah SWT dalam ayat lain yaitu bahwa Allah menjadikan pasangan suami istri dari jenis manusia sendiri adalah untuk melahirkan anak dan cucu dari pasangan itu serta memberikan rezeki yang baik. (QS. An-Nahl; 72). Dengan demikian jika ada pasangan yang menikah kemudian memilih dengan sengaja untuk tidak memiliki keturunan berarti yang bersangkutan telah menyelisihi tujuan penciptaan manusia yang secara kodrati terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Terhadap berbagai alasan untuk tidak memiliki anak karena alasan finansial atau khawatir tidak bisa menghidupi anak dan keuarga dengan baik, maka Allah SWT menjanjikan bahwa setiap orang yang berkeluarga dan mau berusaha mencari nafkah dengan sungguh-sungguh, maka akan dicukupkan rezekinya untuk memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Orang-orang yang menikah dan telah memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap yang mapan kemudian mereka memilih kehidupan tanpa anak disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang membunuh anak-anaknya karena takut miskin. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surat Al-Isra: 31 :
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.(QS.Al-Isra:31)
Para ahli Tafsir memaknai kalimat Khosyata Imlaq (karena takut terjatuh dalam kemiskinan) pada ayat di atas yaitu dengan makna orang tua yang berada dalam kondisi mampu dan kaya lalu membunuh anaknya karena takut terjatuh dalam kemiskinan. Gaya hidup childfree sesungguhnya hampir sama dengan makna ayat ini, yaitu seseorang yang sebenarnya mampu dan kaya secara ekonomi akan tetapi takut kalau jatuh dalam kemiskinan jika harus menghidupi atau memelihara anak. Perbedaanya, yang satu ada orang mampu atau kaya yang sudah punya anak kemudian karena takut miskin lantas membunuh anak-anaknya. Yang kedua ada orang yang kaya dan mampu tapi tidak mau memiliki anak karena takut nantinya akan menjadi miskin atau kesusahan.
Dalam ayat yang lain Allah SWT mengingatkan bahwa jika toh seandainya ada orang yang benar-benar miskin atau kekurangan secara ekonomi, lalu memilih membunuh anak dengan alasan kemiskinan tersebut juga tidak dibenarkan. Allah SWT menjanjikan untuk memberikan rezeki dan kemudahan dalam memelihara anak-anaknya. Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151 menjelaskan hal tersebut:
۞ قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.(QS. Al-An’am: 151).
Kata Min Imlaq (karena sebab kemiskinan) dalam surat Al-An’am ayat 151 di atas bermakna bahwa orang tua dari anak tersebut memang betul-betul dalam keadaan miskin, kurang sandang, pangan dan papan. Setelah itu Allah memberikan kabar gembira bagi para orang tua yang tidak mampu tersebut, bahwasanya kemiskinannya akan diangkat oleh Allah SWT dan akan memberi rezeki kepada mereka dan anak-anaknya.
Demikianlah larangan dan pengharaman seseorang membunuh anak karena takut menjadi miskin atau kesusahan. Larangan itu berlaku baik bagi orang yang sudah mampu dan kaya secara ekonomi karena khawatir akan jatuh miskin maupun bagi mereka yang memang dalam keadaan miskin yang takut akan menjadi semakin miskin. Pilihan hidup childfree sama saja dengan orang yang “menghilangkan nyawa” anak bahkan sebelum anak itu lahir hanya karena takut menjadi miskin dan sengsara. Wallahu’alam bishawab. (mh.03.02.25).