metrouniv.ac.id – 28/04/2025 – 29 Syawal 1446 H
Dr. As’ad, S.Ag., S.Hum., M.H., C.Me. (IAIN Metro)
“Sampai stasiun kereta. Pukul setengah dua. Duduk aku menunggu. Tanya loket dan penjaga. Kereta tiba pukul berapa…”
(Sepenggal lagu Iwan Fals)
Namanya Stasiun Tugu. Stasiun kereta api terbesar yang ada di Kota Yogyakarta. Stasiun legendaris ini menyimpan kenangan bagi saya. Kenangan indah. Dulu waktu kuliah di Undip (Universitas Diponorogo) Stasiun Tugu adalah salah satu tempat persinggahan manis kala berkunjung ke Jogyakarta.
Tapi pengalaman medio tahun lalu, membuat saya kembali mengkoleksi kenangan yang berbeda. Kenangan yang asam, manis dan pahit. Bercampur menjadi satu. Seperti nano-nano. Permen yang pernah terkenal pada masanya.
Kisah ini bermula dari rencana perjalanan saya menuju Bandara Yogyakarta Internasional Airport (YIA) di Kulon Progo. Dari seorang kolega asal Kalsel – yang saat ini menjadi Dosen di UIN Jogya – saya diberitahu bahwa moda transportasi yang paling kompatibel menuju YIA adalah Kereta Api Bandara. Jarak tempuhnya hanya 30 menit. Start berangkat dari stasiun Tugu Jogya. Stasiun kereta yang penuh kenangan tadi.
Singkat cerita, berbekal informasi berharga itu saya bergegas mencari informasi tiket di web resmi PT. KAI. Cek and ricek sebentar. Booking lalu issued. Saya ingat betul waktu itu saya mendapatkan seat nomor 18 A.
Esoknya – karena penerbangan ke Jkt scheduled pukul 10.00–, pukul 06.00 saya sudah tiba di stasiun Tugu. Saat itu, memori lama saya menuntun masuk melalui pintu utara. Kelak saya baru tahu kalau renovasi besar-besaran stasiun tugu membuatnya juga bisa diakses melalui pintu selatan.
Setelah menunjukkan e-ticket di pintu masuk, petugas mengarahkan untuk scan barcode mandiri. Saya scan tiket itu. Terdengar bunyi ti nit. Palang elektronik pun terbuka secara otomatis. Saya melangkah masuk.
Mungkin karena penampilan saya –yang hanya menjinjing tas kecil—dianggap customer yang cukup familiar atau biasa naik kereta, maka tidak ada instruksi khusus. Saya hanya diarahkan secara umum menuju ruang tunggu atau peron. Di stasiun Tugu sendiri terdapat 9 jalur lintasan. Karena masuk melalui pintu utara, maka automatically lintasan terdekat dari arah itu adalah lintasan terakhir . Lalu sayapun berbaur dengan ‘para-para” penumpang lain.
Kesalahan saya adalah, tidak bertanya di mana tepatnya letak jalur kereta api bandara. Saya hanya waspada dengan selalu mengecek jam, baik jam yang menempel di dinding. Namanya jam dinding. Maupun jam yang menempel di tangan saya. Namanya arloji.
Kenapa? Karena yang saya tahu, sejak dipimpin oleh Ignatius Jonan, moda transportasi kereta api di Indonesia telah mengalami transformasi bahkan revolusi.
Jika dahulunya, Kereta api –sebagaimana yang digambarkan dalam lirik lengkap lagu Iwan Fals—yang sebagiannya saya kutip di bagian pertama tulisan ini– dicap sebagai moda transportasi tradisional yang ngaret, jorok dan kumuh, kini berubah secara radikal menjadi sarana transportasi yang modern, on time dan bersih. Ketepatan waktu kereta api (on tim performance atau OTP) mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan melebihi moda transportasi udara. That’s why, detik perdetik –sambil sesekali scroll tiktok dan medsos lainnya—saya selalu melihat jam dan menajamkan pendengaran. Untuk sekedar memastikan supaya tidak luput dari informasi kedatangan dan keberangkatan kereta api menuju Bandara YIA.
Lalu, sekonyong-konyong tragedi itu terjadi. Dalam durasi yang sangat singkat, petugas mengumumkan bahwa Kereta Api Bandara telah tiba di peron 1. Dan akan segera diberangkatkan. Saya kaget. Karena posisi saya ada di peron 9. Maka tanpa menunggu lama saya bergegas menuju peron dimaksud. “Sialnya” langkah saya tertahan oleh lokomotif tujuan Malang di lintasan 3. Pada bagian inilah yang membuat posisi saya di “atas angin”. Keterlambatan bukan karena faktor saya sendiri –yang tadi tidak mencari informasi akurat– tapi juga terdapat andil pihak KA. Alhasil, diperlukan effort lebih –dengan seizin security dan pengawas kereta– saya menaiki lokomotif itu lalu melompat turun. Dan Ya Allah, begitu kaki saya menjejak di muka bumi, perlahan-lahan Kereta Bandara tadi berangkat tanpa perasaan bersalah. Sebenarnya, masih bisa saya kejar. Tapi tidak mungkin saya berhentikan.
Sayapun langsung menggunakan hak konstitusional saya. Protes. Kenapa tidak ada petugas yang mengarahkan penumpang tujuan bandara untuk menunggu di ruang tunggu khusus yang ada peron 1. Memang ibarat filosofi hukum. Begitu sebuah regulasi ditetapkan, maka semua orang dianggap tahu dan terikat dengan regulasi itu. Tapi ini bukan persoalan tahu atau tidak tahu. Tapi lebih ke sikap profesionalisme petugas –khususnya yang berjaga di pintu masuk. Yang tadi mengarahkan untuk scan barcode. Yang tadi (hanya) secara random meminta untuk menunggu kedatangan kereta tanpa keterangan spesifik di lintasan mana. Saya ingat betul, karena saya sejak awal datang waspada dan selalu mengecek jadwal keberangkatan kereta. Okelah, mungkin itu juga kesalahan saya, tapi lokomotif yang menghalangi saya itu di luar kemampuan saya untuk mengatasi problem yang insidentil tadi.
Singkatnya, saya diarahkan menuju ruang tunggu bandara lalu dijanjikan kompensasi trip kereta berikutnya. Namun mengingat jadwal kereta berselang satu jam kemudian sementara penerbangan ke Jakarta cukup mepet. Saya menolak tawaran itu dan memilih mencari moda transportasi lain menuju bandara.
Singkat cerita, Alhamdulillah sayapun tiba di Bandara YIA meski harus spot jantung dan dengan tergopoh-gopoh.
Selesaikah cerita ini? Belum.
Selama menunggu boarding, saya membuka aplikasi X (Twitter). Saya menulis tweet dan tak lupa mention akun resmi PT. KAI. Tak dinyana tweet itu viral, dan langsung ditindaklanjuti oleh admin yang begitu responsif dan kooperatif. Tidak cukup membalas tweet, mereka aktif menghubungi via DM dan bahkan menelfon. Intinya, permohonan maaf setulusnya dari PT KAI atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat ketidakprofesionalan petugas mereka yang menjaga pintu peron. Dan terhalangnya saya menuju lintasan kereta karena saat bersamaan terdapat lokomotif yang sedang berhenti tadi. SOP-nya, semua penumpang harus diarahkan menuju ruang tunggu kedatangan masing-masing rute/tujuan. Sayapun akhirnya memahami penjelasan itu.. Tidak selesai di situ, PT KAI juga mengirim saya voucher berupa discount jika saya akan menggunakan rute perjalanan yang sama. Bahkan, tidak berhenti di situ, CS PT KAI beberapa kali menelfon saya untuk meminta informasi siapakah (ciri-ciri) petugas yang berjaga saat itu. Bagi mereka SOP di lingkungan perusahaan adalah suatu yang tidak bisa ditawar-tawar dan berjanji akan mengenakan sanksi bagi petugas yang lalai. Lalu, bersediakah saya memberikan ciri-ciri petugas tersebut? Tidak. Saya minta case closed. Saya hanya berharap tweet saya di X yang sempat viral itu—menjadi pelajaran kedua belah pihak –termasuk saya sendiri—agar kejadian serupa tidak menimpa customer yang lain. Bukan dengan niat menghukum atau balas dendam. Apalagi sampai mengakibatkan orang lain berpotensi kehilangan pekerjaan.
So, dari admin PT KAI kita belajar bagaimana bersikap responsif dan komunikatif kepada customer dan memastikan semua SOP berjalan dengan baik. Sehingga tidak ada hak konsumen yang terabaikan.
Sebagai lembaga Publik, pelayanan prima dalam segala aspek wajib ditunaikan. Agar tingkat kepercayaan terus menerus mengalami peningkatan. Bukan penurunan.
Tapi ini bukan tentang Kereta Api.