socio
eco-techno
preneurship

KURBAN : MERAWAT KESALEHAN SOSIAL

IMG-20250609-WA0001(1)

Oleh:

Muhammad Fauzhan ‘Azima

(Ketua Prodi Ilmu Hadis UIN Jurai Siwo Lampung)

 

Islam merupakan agama yang mengatur kehidupan insan secara paripurna. Islam tidak hanya mengatur urusan ukhrawi seorang insan, tetapi juga mengatur urusan duniawinya. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Qs. al-Qashash: 77).

Dalam ayat yang lain, Al-Qur’an memotivasi untuk mencapai kehidupan yang hasanah di dunia dan hasanah di akhirat (Qs. al-Baqarah: 201). Kehidupan yang baik, maju, tenteram, dan penuh keberkahan. Kehidupan yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Rahardjo.

Islam juga tidak hanya mengatur seorang muslim secara pribadi (secara individual). Akan tetapi Islam juga mengajarkan bagaimana komunitas muslim menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bukankah di antara varian fiqh, ada fiqh mu’amalah dan fiqh siyasah yang menjadi landasan, pondasi, nilai, dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selain itu, ajaran Islam juga tidak hanya berada pada dimensi rohani, tetapi juga pada dimensi jasmani dan dimensi sosial. Dalam diskursus tasawuf, dikenal konsep Insan Kamil, yakni insan yang mampu mengoptimalkan, memaksimalkan, dan menyeimbangkan tiga dimensi dalam dirinya, yaitu dimensi rohani, dimensi jasmani, dan dimensi sosial. Sesuai juga dengan pesan Nabi saw., “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan” (H.R. Muslim). Artinya, mukmin yang kuat (yakni kuat rohaninya, kuat akidahnya, kuat spiritualitasnya, kuat fisiknya dan sehat jasmaninya, serta kuat jiwa sosial dan kuat finansialnya) lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.

Muslim yang ideal bukan hanya memiliki kesalehan individual, tetapi juga mempunyai kesalehan sosial. Kesalehan sosial merujuk pada bagaimana ia mau dan mampu berbuat yang terbaik untuk orang lain dan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam sekitar (ekologis). Tidak hanya itu, mereka yang memiliki kesalehan sosial juga mau dan mampu menjauhi segala bentuk kedzaliman, baik kepada sesama manusia maupun kepada hewan dan tumbuhan. Insan yang saleh secara sosial juga memiliki kepekaan, empati, dan kemauan membantu saudaranya yang membutuhkan uluran tangan. Kesalehan sosial berarti memiliki sikap rahmah. Rahmah, dalam konteks suami istri, adalah kemampuan ikut merasakan perih dan pedih yang dialami oleh pasangannya yang dilanjutkan dengan usaha menghilangkan keperihan dan kepedihan tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, rahmah berarti kemampuan ikut merasakan perih dan pedih yang dialami orang lain atau yang dialami saudaranya, serta dilanjutkan usaha menghilangkan keperihan dan kepedihan itu. Mengangkat duafa dari kelemahannya. Memberdayakan orang-orang yang masih hidup dalam keprihatinan.

Merujuk pada petunjuk al-Qur’an dan hadis, tidak jarang ditemukan bahwa kesalehan sosial menjadi ukuran bagus tidaknya kualitas keislaman dan keimanan seseorang. Ambil contoh pada shalat yang notabene tiang agama atau tiang utama keberislaman seseorang. Orang yang shalatnya baik, adalah orang yang tingkah laku dan perbuatannya kepada sesama juga baik. Jika seseorang melaksanakan shalat, tetapi tingkah laku dan perbuatannya kepada sesama tidak baik, berarti shalatnya belum mencapai kualitas ideal atau belum mencapai kualitas sebagaimana yang diharapkan. Hal ini karena shalat sejatinya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (Qs. Al-‘Ankabut: 45). 

Kesejatian Islam seseorang juga ditentukan oleh kesalehan sosialnya, oleh bagaimana sikap dan perlakuannya kepada sesama. Muslim sejati adalah muslim yang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan gangguan tangannya (H.R. al-Bukhari). Gangguan lisan adalah simbol kekerasan verbal. Sementara gangguan tangan merupakan simbol kekerasan fisik. Orang Islam sejati adalah orang Islam yang tidak mengganggu orang lain, baik dengan kekerasan verbal maupun kekerasan fisik. Dalam hadis yang lain, Nabi saw. berpesan, “Siapa yang beriman kepada Allah swt. dan hari akhir, maka hendaklah ia berbicara yang baik atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah swt. dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah swt. dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Hadis tersebut menjadikan kemampuan berkata dan berperilaku yang baik, mulai dari orang terdekat yakni tetangga dan tamu, sebagai karakter keimanan kepada Allah dan hari akhir.

Tidak sedikit juga hadis-hadis Nabi saw. yang mengaitkan kesempurnaan iman dengan kesalehan sosial. “Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kamu, sehingga ia suka memberikan sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia suka diberi sesuatu itu” (H.R. al-Bukhari). Hadis tersebut mengajarkan bahwa orang yang sempurna imannya adalah orang yang senang berbagi kepada saudaranya dan peduli terhadap saudaranya, sama seperti pedulinya ia terhadap dirinya sendiri. Dalam hadis yang lain, Nabi saw. juga mengingatkan, “Bukanlah mukmin sejati, orang yang kekenyangan, sementara tetangganya merintih kelaparan” (H.R. al-Bukhari).

Tidak hanya itu, ritual vertikal dan ibadah personal kepada Allah, juga dikaitkan dengan kesalehan sosial. Perintah membayarkan zakat misalnya, senantiasa digandengkan dengan perintah mendirikan shalat. Hal ini mengisyaratkan bahwa zakat, yang merupakan salah satu bentuk kesalehan sosial, merupakan ibadah yang penting, sebagaimana pentingnya shalat. Demikian juga dengan perintah berkurban yang terdapat dalam surah al-Kautsar, juga digandengkan dengan perintah shalat, “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Hal ini sekali lagi memberikan isyarat bahwa berkurban, yang juga merupakan bentuk kesalehan sosial, merupakan perkara yang penting, sama seperti pentingnya shalat. Agama Islam sangat mementingkan kesalehan sosial, rasa peduli terhadap sesama, saling berbagi kepada sesama.

Ibadah kurban juga menjadi ciri ketakwaan kepada Allah swt. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa yang sampai kepada Allah swt. bukan darah ataupun daging hewan kurban. Akan tetapi yang sampai kepada Allah swt. adalah ketakwaan pelaku kurban (Qs. al-Hajj: 37). Ketakwaan itu tercermin, antara lain, ketika daging kurban itu dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Ketakwaan itu tercermin ketika saling berbagi kepada sesama. Kesalehanan sosial menjadi ciri dan cerminan ketakwaan.

Ibadah Kurban memang hanya setahun sekali. Namun spirit kurban seyogianya diekspresikan sepanjang tahun. Kesalehan sosial tersebut mesti diperlihatkan setahun penuh. Kemauan dan kemampuan untuk membantu dan mengayomi kaum duafa, fakir miskin, dan anak yatim, tidak boleh hanya diekspresikan pada momen dan waktu tertentu saja. Tidak sedikit saluran filantropi yang menunggu diisi. Sebutlah di antaranya gerakan orang tua asuh, korps penyantun yatim piatu, gerakan sedekah subuh, kegiatan Jumat berkah, wakaf uang, dan lain sebagainya.

Akhirulkalam, Bung Karno, dalam salah satu kalimat bijaknya, mengatakan, “Tuhan bersemayam di gubuk orang miskin.” Tentu kalimat Bung Karno ini merupakan bahasa metafora, kalimat majazi, atau kata kiasan, yang tidak boleh dipahami secara hakiki. Tuhan bersemayam di gubuk orang miskin, artinya Tuhan selalu dekat dan sayang dengan orang-orang yang menyantuni dan mengayomi fakir miskin. Allah swt. selalu dekat, sayang, dan membersamai hamba-hamba-Nya yang menolong dan memberdayakan kaum duafa.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.