metrouniv.ac.id – 30/10/2024 – 27 Robilul Akhir 1446 H
Prof. Dr. Dedi Irwansyah, M.Hum. (Wakil Dekan 3 FUAD/Guru Besar Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di IAIN Metro)
‘Membaca lebih dari sekedar kemampuan membunyikan aksara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana.’
Belum lama berselang, kami bersua dengan para guru inspiratif sebuah Sekolah Menengah Pertama, dan berdiskusi tentang literasi. Tentang pentingnya kemampuan membaca dan menulis. Tentang kemampuan membaca yang harus lebih dari sekedar kemampuan membunyikan aksara. Lebih dari sekedar kemampuan mengingat fakta sederhana. Juga tentang kemampuan menulis sebagai pintu masuk untuk melejitkan daya analisa, daya evaluasi, dan daya kreasi. Long story short, dalam suasana yang akrab serta dialogis, kami memulai perjumpaan dengan membaca kisah terjemahan bertajuk Angin dan Matahari.
‘The Wind and the Sun’ adalah sebuah cerita populer di dunia Barat. Ia berkisah tentang Angin dan Matahari yang berdebat untuk membuktikan siapa lebih kuat. Dan begitulah, pada suatu hari di musim gugur, Angin mengklaim dirinya lebih kuat dari Matahari. Matahari menolak klaim sepihak tersebut. Keduanya lantas beradu argumen. Sedang keduanya berdebat, seorang pria berjalan menuju ke arah mereka. Si pria terlihat mengenakan mantel. Lalu, Matahari mengajukan tantangan kepada Angin: siapa yang bisa membuat si pria melepas mantelnya, dialah yang lebih kuat. Angin setuju dan kemudian mengambil kesempatan pertama untuk mencoba. Angin lantas bertiup kencang menerpa si pria. Bukannya melepas mantel, si pria justru semakin memegang erat mantelnya. Angin gagal. Kini, giliran Matahari yang mencoba. Matahari bersinar hangat dan mendekat ke arah si pria yang, di ujung cerita, akhirnya melepas mantel secara sukarela.
Angin terlebih dahulu memantik perdebatan; mendeklarasi-diri sebagai yang lebih kuat; dan memaksa pihak lain menyetujui klaim yang dianggapnya benar. Matahari mungkin tidak mau berdebat. Ia barangkali telah terlalu jenuh mendengar klaim sang Angin. Matahari berinisiatif membantu sang Angin melihat lapisan lain sebuah realita. Untuk itu, ia men-challenge Angin untuk mengukur kekuatannya melalui mantel si pria. Faktanya, sang Angin gagal membuktikan hipotesanya sendiri setelah mengira kekuatan fisik bisa mengubah pikiran dan prilaku orang lain.
Sementara itu, Matahari telah menerapkan cara inspiratif untuk memenangkan perdebatan. Matahari lebih memilih bersinar hangat alih-alih berhembus kencang seperti Angin. Matahari rupanya belajar dari kesalahan yang dibuat oleh Angin. Karenanya, Matahari tidak datang dengan gemuruh, melainkan dengan kehangatan perlahan nan bersahabat. Nyatanya, di ujung kisah Matahari membuktikan bahwa kehangatan lebih mampu mengubah pikiran dan prilaku pihak lain.
Angin dan Matahari bukanlah yang pertama dalam berdebat. Perdebatan adalah fenomena abadi (perennial phenomenon) karena telah ada sejak dahulu kala; ada di hari ini; dan akan selalu ada hingga kelak nanti. Angin dan Matahari boleh jadi simbol perdebatan antara dua insan, untuk membuktikan mana yang lebih hebat, lebih cemerlang, atau lebih kuat. Angin dan Matahari juga bisa merupakan representasi diri yang tunggal, yang bertarung untuk memenangkan ego atau logika. Angin dan Matahari mungkin saja adalah potensi destruktif dan potensi konstruktif dalam diri, yang selalu berlaga sebelum pengambilan sebuah keputusan.
Syahdan, jika kita adalah Matahari, kita barangkali akan mendatangi Angin dan merangkulnya. Kita akan berterima kasih kepada Angin karena telah menunjukkan the love of power, sebuah kecenderungan untuk menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan dalam merespon tantangan dan permasalahan. Karena dari Angin, Matahari bisa melihat sebuah alternatif-tindakan lain secara lebih jelas. Sebuah alternatif yang berlawanan arah dari yang telah dipertontonkan oleh Angin. Di ujung hari, Matahari akan bertutur hangat kepada Angin, “Terima kasih, telah menunjukkan kami strategi the love of power, yang menginspirasi kami untuk mencoba the power of love, sebuah strategi untuk menggunakan kehangatan yang tulus dalam merespon sebuah permasalahan.” Tabiik.