socio
eco-techno
preneurship

MUADZIN

bg dashboard HD

metrouniv.ac.id
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur
PascasarjanaIAIN Metro)

 

Ini soal pengalaman pribadi. Kebetulan
penulis tinggal dekat sebuah musholla kecil. Tidak terlalu dekat  sebenarnya. Jangan dibayangkan dekatnya hanya
berjarak satu lima meter dari rumah atau berbatasan dengan musholla. Kurang
lebih seratus lima puluhan meter dari rumah. Dulu musholla ini kurang terawat
atau lebih tepatnya belum ada yang mau mengurusi. Maklum mengurusi musholla
tentu tidak mudah. Kalau hanya mengurusi kebersihannya semua kita bisa, tetapi
jika mengurusi musholla itu sampai dengan menghidupkan musholla agar ada
aktivitas keagamaan seperti shalat berjamaah, pengajian, shalat tarawih, dan
lain sebagainya tidak semua orang bisa dan mau. Harus sedikit banyak punya ilmu
agama dan yang lebih penting tanggungjawab moralnya besar, karena pengurus
tempat ibadah juga harus jadi teladan dan contoh dalam perilaku dan moral.

Singkat cerita, karena melihat sebuah
tempat ibadah kurang terurus, rasanya 
sebagai muslim malu jika tinggal dekat musholla tetapi mushollanya tidak
terurus. Jadilah kemudian penulis tergerak untuk mengurusinya. Sebuah musholla
kecil minimal ada aktivitas shalat jamaah dan shalat Tarawih. Dua hal utama itu
harus dilakukan. Bersyukur, dalam beberapa tahun ini, dua kegiatan ibadah itu
berjalan. Kuncinya sederhana. Jika sebuah tempat ibadah mau ada aktivitas
shalat jamaah, maka harus ada tukang adzan atau muadzin yang setiap masuk waktu
shalat mengumandangkan adzan, memanggil orang untuk shalat jamaah. Jika adzan
dikumandangkan di musholla maka dipastikan ada orang yang mau ke musholla,
minimal satu atau dua orang. Namun jika tidak ada muadzin yang adzan maka
jangan berharap ada jamaah yang datang.

Justru disitulah persoalannya, penulis
tidak selalu ada di rumah pada jam-jam masuk waktu shalat sehingga tidak selalu
bisa menjadi muadzin. Terkadang ada satu dua jamaah yang mau menjadi muadzin,
namu sering tidak ajegnya. Musholla jadinya terkadang ada adzan dan terkadang
tidak ada adzan. Tidak ada adzan artinya tidak ada shalat jamaah di musholla. Ada
adzan pun, namun jika tidak ajeg dan kontinu ternyata membuat jamaah jadi
enggan ke musholla.

Pelajaran yang dapat dipetik dari
pengalaman ini adalah : Pertama, memiliki muadzin tetap di rumah ibadah
seperti musholla, lebih-lebih masjid adalah kunci hidupnya tempat ibadah. Maka
kita perlu berterimakasih kepada para marbot yang tinggal dan menunggui masjid
dan senantiasa mengumandangkan adzan, memanggil orang untuk shalat pada setiap
masuk waktu shalat lima waktu. Karena atas jasa merekalah, masjid dan musholla
menjadi makmur. Masjid-masjid yang memiliki dana rutin dan tetap tidak ada
salahnya menggaji seorang marbot untuk mengurusi kebersihan dan sarana masjid
sekaligus mejaga aktivitas keagamaan tetap berjalan.

Pelajaran kedua, ternyata tidak
mudah mencari orang yang mau dan bersedia berkhidmat khusus menjadi muadzin. Di
masjid yang besar atau punya dana tetap mungkin tidak ada kendala muadzin,
namun di musholla yang kecil dengan kesadaran keagamaan jamaah sekitar yang
rendah serta keterbatasan ilmu agama, mencari seorang muadzin yang mau
mengumandangkan adzan pada setiap waktu shalat ternyata tidaklah mudah. Tidak
semua orang bisa dan yang lebih penting lagi tidak semua orang mau. Ada yang
sedikit bisa dan mau seperti penulis ini, namun tidak bisa rutin dan ajeg,
banyak tidak bisanya, juga tidak banyak membantu menghidupkan jamaah.

Pelajaran ketiga, setiap usaha untuk
menghidupkan jamaah membutuhkan kesungguhan dan kontinuitas. Usaha yang terus
menerus dan berkelanjutan. Tidak boleh anginan-anginan, kadang ada kadang
tidak, kadang semangat kadang berhenti. Akhirnya seperti musholla dekat rumah
saya, terkadang ada muadzin terkadang tidak ada, akibatnya jamaahnya juga
angina-anginan. Rupanya jamaah itu membutuhkan kepastian dan keberlanjutan.
Mereka, para jamaah itu butuh kepastian bahwa setiap waktu shalat ada panggilan
adzan dan dengan panggilan adzan itu dipastikan ada shalat jamaah.

 

Adzan dalam  Sirah Nabi

 

Dahulu di zaman Nabi sallallahu alaihi
wassallam
, Rasulullah menunjuk sahabat Bilal bin Raba’ah sebagai muadzin
tetap. Tugas Bilal  mengumandangkan adzan
pada setiap masuk waktu shalat fardhu. Hal itu yang menyebabkan sampai sekarang
seorang muadzin itu terkadang disebut juga dengan sebutan seorang Bilal.
Sahabat Bilal bin Raba’ah dipilih karena dinilai memiliki suara yang bagus dan
memiliki napas yang panjang.

Di zaman Nabi, sebelum ada ketentuan adzan,
ketika umat Islam semakin banyak dan memiliki berbagai kesibukan muncul
persoalan tentang bagaimana cara memberitahu kaum muslimin bahwa waktu shalat
sudah masuk. Sekaligus memberitahu supaya mereka datang ke masjid untuk shalat
berjamaah. Lalu muncul usul dari para sahabat agar pemberitahuan waktu shalat
dilakukan dengan cara membunyikan terompet seperti kebiasaan kaum Yahudi. Ada
yang mengusulkan dengan cara membunyikan lonceng sebagaimana kaum Kristen
Nasrani. Sebagian lagi mengusulkan memberitahunya dengan cara naik di atas
bukit yang tinggi agar bisa terdengar dan terlihat. Namun dari sekian banyak
usul itu, belum ada yang sreg dan bisa diterima oleh Nabi SAW.

Hingga pada suatu saat Abdullah bin Zaid
bin Abi Rabbih, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Darda, Ibnu Majah,
Ibnu Hizaimah dan Tirmidzi, menyampaikan perihal tata cara adzan. Riwayat ini
sebagaimana dinukil oleh Sayid Sabiq dalam Kitab Fikih Sunnah (1973: 263-264).
Dalam riwayat itu Abdullah bin Zaid bin Rabbih menyatakan bahwa tatkala
Rasulullah menyuruh menyediakan lonceng untuk dipukul guna menghimpun
orang-orang untuk shalat, sementara Beliu sebenarnya tidak suka karena sama
dengan orang-orang Nasrani – tiba-tiba waktu tidur Abdullah bin Zaid bermimpi
dikelilingi oleh seorang laki-laki yang membawa sebuah lonceng di tangannya.

Maka Abdullah bin Zaid berkata kepada
laki-laki itu, apakah dia bersedia menjual lonceng itu kepadanya. Laki-laki itu
menjawab apa gunanya lonceng itu buat anda. Buat memanggil orang untuk shalat
kata Abdullah bin Zaid. Laki-laki itu kemudian berkata lagi, maukah aku
tunjukkan cara memanggil orang shalat yang lebih baik dari memukul lonceng.
Baiklah, kata Abdullah bin Zaid. Maka kemudin laki-laki itu mengucapkan
kalimat-kalimat sebagaimana yang orang lantunkan ketika adzan hingga yang
sekarang ini. Yaitu kalimat-kalimat yang berisi takbir, syahadat, seruan untuk
shalat dan bacaan tahlil. Laki-laki itu juga mengajarkan tentang bacaan-bacaan
iqomah sebagai tanda shalat hendak didirikan.

Tatkala hari telah pagi, Abdullah bin Zaid
pun datang menemui Rasulullah dan menceritakan mimpi yang dialaminya. Maka
Rasulullah saw menyatakan: “Insya Allah sesungguhnya itu adalah mimpi yang
benar. Berdirilah dengan Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau dengar itu
supaya diserukannya, karena suaranya lebih baik dan lebih lantang daripada
suaramu”.

Ketika Bilal mengumandangkan suara adzan
dengan bacaan yang diajarkan Abdullah bin Zaid, suara itu kedengaran oleh Umar
bin Khatab yang sedang berada di rumahnya. Ia pun keluar dan berkata: “Demi
Allah yang telah mengutus Engkau dengan kebenaran, saya juga bermimpi
sebagaimana yang Engkau impikan!”. Rasulullah bersabda: “Maka bagi Allah segala
puji”.

Demikianlah riwayat awal mula adzan dan
bacaannya dikumandangkan. Hingga saat ini kita senantiasa mendengarkan suara
adzan itu dari masjid dan mushalla di saat-saat masuk waktu shalat. Suara adzan
itu bersahut-sahutan dan berkumandang tidak pernah berhenti dan sambung
menyambung terus menerus. Menurut para ahli ilmu alam, karena bumi kita
berbentuk bulat dan mengakibatkan adanya perbedaan waktu antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya, maka masuknya waktu shalat bisa bergantian dan sambung
menyambung tidak berhenti terus menerus. Jika satu wikayah mengumandangkan
adzan, begitu selesai maka akan disambung oleh wilayah lainnya, begitu
seterusnya hingga akhir zaman. Dengan syarat masih ada orang yang mendirikan
shalat lima waktu dan masih ada muadzin yang mengumandangkan adzan. Semoga
Allah senantiasa memberikan rahmat dan barokah kepada para Muadzin. Wallahu
a’lam bishawab
. (mh.03.09.21)

 

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.

socio, echo, techno, preneurship
[radio_player id="1"]
"Ayo Kuliah di IAIN Metro"

Informasi Penerimaan Mahasiswa Baru.